Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1

Sepuluh tahun lalu, aku membocorkan rahasia perusahaan, yang akhirnya membuat ayah dan ibuku meloncat dari gedung untuk bunuh diri. Aku bahkan membuat dua kakakku masuk penjara untuk menggantikanku menanggung kejahatan dan dijatuhi hukuman sepuluh tahun. Setiap tahun, aku mengirimkan satu kaset rekaman ke penjara. Pada tahun pertama, aku berdiri di vila megah dan mentertawakan keadaan mereka yang menyedihkan, lalu memberi tahu mereka bahwa aku sengaja membocorkan rahasia itu. Pada tahun kedua, aku berdiri di depan makam ayah dan ibu, mentertawakan bahwa kematian mereka pantas dan menyebut mereka pengecut. Pada tahun ketiga, sambil mengangkat dua lembar tiket pesawat, aku memberi tahu mereka bahwa kedua kakak ipar telah kuasingkan ke daerah kumuh di luar negeri, hidupnya lebih menderita daripada mati. Hingga masa hukuman sepuluh tahun mereka berakhir, rekaman itu pun terhenti begitu saja. Tiga hari sebelum pembebasan, seorang sipir tiba-tiba berkata pada Lindro. "Pulanglah dan perbaiki dirimu baik-baik. Ingat untuk memperlakukan adik kalian dengan lebih baik. Gadis kecil itu memikirkan kalian setiap tahun." Lindro menarik ujung bibirnya, tatapannya gelap. "Dia datang setiap tahun?" "Ya, bukan juga. Dia itu ...." Tepat saat itu ponselnya berdering. Sipir buru-buru pergi. "Sudah, nggak usah dibahas. Ingat untuk memperbaiki diri dengan baik." ... Sipir membuka pintu sambil membawa beberapa dokumen. "Nomor 1103 dan 1104, tiga hari lagi masa hukuman selesai. Silakan datang untuk menandatangani dokumen." Lindro dan Rivano melangkah maju dengan kepala cepak, tak ada lagi jejak keanggunan para pewaris Keluarga Gunawan seperti dulu. Yang tersisa pada mereka hanyalah kebas dan sikap dingin yang ditempa oleh sepuluh tahun kehidupan di penjara. Melihat keduanya menandatangani dokumen, sipir menghela napas panjang. "Kalian berdua sudah berperilaku cukup baik. Setelah keluar nanti, jalani hidup yang baik. Keluarga kalian masih menunggu kalian." Tangan Lindro, kakak tertua yang memegang pena tiba-tiba berhenti, meninggalkan noda tinta pada kertas. Dia menarik ujung bibirnya, tersenyum sinis. "Keluarga ...." "Hehe." Rivano, kakak kedua seolah teringat sesuatu, dia memejamkan mata sejenak, menekan segala kegalauan yang memenuhi pandangannya. Jika diperhatikan saksama, sudut matanya tampak memerah. Sipir itu telah bekerja di sini selama sepuluh tahun, menyaksikan mereka yang sejak awal begitu angkuh dan tak mau diatur. Hingga akhirnya dipaksa tunduk oleh sesama narapidana, dia hanya bisa menghela napas pilu. "Oh iya, kalian masih punya seorang adik perempuan bukan? Dia ...." "Jangan sebut dia." Lindro berbicara dengan dingin, suaranya serak. "Dia bukan adikku. Dia musuh." Pak Ritno tampak terkejut, tapi tidak melanjutkan pembicaraan. Pada saat yang sama. Aku, musuh mereka, hanya berdiri di samping. Melihat rasa benci mereka terhadapku, pandanganku dipenuhi dengan kesedihan. Tahun ini adalah tahun kesepuluh sejak kematianku, sekaligus tahun kesepuluh aku menemani kedua kakakku menjalani hukuman penjara. Meskipun hati ini terasa perih. Jalan yang kupilih sendiri ini tidak pernah kusesali. Asalkan .... Mereka bisa hidup dengan baik. Pada waktu istirahat, Rivano menatap Lindro. "Setelah keluar nanti, apakah kita harus mencari Keluarga Soen untuk membalas dendam terlebih dahulu, atau mencari kakak ipar dan istriku, atau ...." Dia terdiam sejenak, suaranya terdengar kering, "Mencari adik untuk menanyakan dengan jelas kenapa dia mengkhianati kita." Lindro diam, tidak berkata apa pun. Namun, tangannya yang terkepal erat telah menunjukkan betapa besar amarahnya. "Semuanya harus dilakukan. Adapun Linza, ingat baik-baik. Vano, dia bukan Keluarga Gunawan, apalagi adik kita!" Tubuhku menegang seketika dan hatiku tetap saja dipenuhi rasa pedih. Meski telah berlalu bertahun-tahun, menghadapi kebencian mereka, aku tetap tidak mampu benar-benar bersikap acuh. Lindro mengambil beberapa kaset rekaman dari bawah bantal, matanya dipenuhi kebencian. Dan juga terselip keterpurukan dan luka yang disembunyikan jauh di dasar tatapan mata. "Ini semua sudah kita tonton entah berapa kali, Vano. Jangan pernah lupa bagaimana Linza memperlakukan kita!" Pandangan Rivano menggelap. Dia masih ingat saat pertama kali masuk penjara, sepanjang hari dia berteriak mengaku tak bersalah, tapi di dalam penjara, sekalipun dia memohon pada langit atau bumi, tidak ada yang menggubris. Hingga saat aku mengirimkan rekaman pertama. Saat itu mereka masih mengira itu tanda kerinduan atau kasih sayangku. Namun ketika diputar, ternyata isinya adalah pengakuan bahwa aku membocorkan rahasia perusahaan, serta membuat ayah dan ibu terpaksa mengakhiri hidup mereka. Rivano mengangkat sedikit pakaiannya, memperlihatkan pergelangan tangannya. Goresan-goresan yang berjejal di dalamnya adalah bukti jelas atas penderitaannya. "Aku ingat, aku ingat semuanya ...." Aku berjongkok di samping, jari-jariku bergetar. Aku ingin menyentuh luka-luka itu, tapi jemariku menembusnya begitu saja, tanpa meninggalkan sedikit pun jejak. "Maaf ..." bisikku lirih, sudut mataku memerah. "Tapi aku tak menyesal." Tiga hari kemudian, mereka berdua bebas dari penjara dan menyewa sebuah kamar kecil. Kebetulan, kamar sebelah dihuni oleh sipir yang dulu mengantar kaset rekaman ke penjara. "Bagus, penampilan dan semangat kalian cukup baik." Sipir itu menepuk bahu mereka. "Kalau ada kesulitan, datang saja cari aku." Dia teringat sesuatu. "Oh ya, adik kalian menitipkan satu kaset lagi padaku." Dia menyerahkan benda itu pada mereka. "Menurut kesepakatan, seharusnya aku menyerahkannya pada kalian sebulan lagi. Tapi karena kalian sudah bebas, rasanya nggak pantas menyimpannya di tempatku." Lindro menundukkan kepala, menatap kaset itu selama dua detik tanpa berniat mengambilnya. Rivano menekan bibirnya, raut wajahnya penuh pergulatan. "Buang saja, Pak Ritno. Terima kasih untuk bantuanmu selama ini, tapi kami nggak butuh barang-barang kotor milik Linza." Ritno menghela napas. "Baiklah. Kalian benar-benar nggak mau melihatnya? Aku lihat ada selembar catatan tempel di atasnya." Dia berhenti sejenak. "Tertulis kata, kebenaran."
Previous Chapter
1/8Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.