Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Langkah Lindro terhenti sejenak, setelah mengingat sesuatu, dia menampilkan senyum sinis. "Kebenaran? Setiap tahun, semua kaset itu selalu ditempeli dua kata itu." "Lalu hasilnya apa?" Dia memejamkan mata, menekan getir yang menusuk di dada. "Hasilnya, semua itu hanya untuk memamerkan prestasinya dalam mengkhianati Keluarga Gunawan!" Rivano mengambil kaset itu dan melemparkannya ke tong sampah. "Tak perlu dilihat. Hubungan kami dengan dia sudah putus sejak lama." Jari-jariku menggenggam erat. Bahkan kuku yang menancap ke telapak tangan tidak terasa sakit, karena lebam samar di hati adalah sumber luka yang sesungguhnya. Aku ingin berkata. Kak, isi dalam kaset rekaman ini benar-benar seluruh kebenarannya. Aku ingin kalian melihatnya, tapi juga tak ingin kalian tahu. Karena itu aku menuliskan dua kata itu pada setiap kaset. Daripada semua menanggung penderitaan itu, lebih baik aku saja yang memikulnya seorang diri. Pak Ritno tertegun sejenak. "Benarkah? Padahal saat pertama kali aku melihat gadis itu, aku sama sekali nggak merasa dia seperti yang kalian gambarkan." Lindro mencibir pelan. "Sebelum dia menyebabkan kematian ayah dan ibu, menghancurkan Grup Gunawan, dan membuat kami menanggung kesalahan itu, aku juga nggak tahu kalau dia sebegitu hinanya!" Mendengar itu, mataku memerah. Melihat emosi Lindro makin naik, Pak Ritno tidak melanjutkan. "Baiklah. Tapi ada satu hal yang harus kusampaikan pada kalian, semua kaset rekaman ini diserahkan sekaligus padaku oleh gadis itu." "Jadi, terakhir kali aku melihatnya, sebenarnya sepuluh tahun yang lalu." Lindro dan Rivano saling menatap. Rasa sesak dan panik yang seketika menghantam dada mereka begitu cepat hingga tak sempat mereka tangkap sepenuhnya. Mereka hanya menanggapi dengan ejekan dan senyum sinis. "Dia sekarang hidup berkecukupan dan berstatus tinggi. Mana mungkin dia datang setiap tahun ke tempat terpencil dan miskin seperti ini." "Benar-benar kejam. Sudah pergi pun masih sempat merekam sesuatu hanya untuk membuat kami muak!" Setelah berkata demikian, Lindro berbalik dan pergi. Rivano segera menyusul, namun saat orang lain lengah .... Dia mengambil kembali kaset yang tadi dibuang. Aku tertegun menyaksikan itu dan seberkas harapan muncul di hatiku. Mungkin Rivano tidak membenciku sedalam itu bukan? Menjelang senja. Pak Ritno mengundang Lindro dan Rivano makan malam di rumahnya. Setelah beberapa putaran minuman. Mereka mulai banyak bercerita. "Jangan keras kepala begitu. Meskipun aku hanya pernah melihat gadis itu sekali, aku percaya pada penilaianku terhadap seseorang." Pak Ritno mengingat hari ketika pertama kali kami bertemu. Saat Lindro dan Rivano baru masuk ke penjara. Dia melihatku berjalan terpincang, wajah pucat, mata bengkak karena menangis. Sambil mengingat, dia berkata. "Kalian nggak tahu, gadis itu menangis sampai seluruh penjara bisa mendengarnya. Bahkan aku, seorang pria dewasa pun ikut merasa sedih." Lindro dan Rivano terdiam, jemari mereka yang menggenggam gelas anggur menegang begitu kuat hingga memucat. "Apa haknya bersedih? Bukankah semua ini terjadi karena ulah dia!" Dia melemparkan gelas anggur itu dengan keras, gelas tersebut pecah tepat di dekat kakiku. "Maaf." Aku berbisik lirih, tapi isak tangis arwah sepertiku takkan pernah sampai ke telinga manusia. Pak Ritno mabuk berat, menggelengkan kepala. "Bukan begitu. Saat gadis itu datang menyerahkan sepuluh kaset rekaman padaku, aku melihat salah satu jarinya putus!" "Pergelangan tangannya penuh lebam." Aku mengangkat tangan dan menundukkan pandangan. Melihat jari kananku yang telah hilang, bibirku terangkat, tersenyum getir. Dalam benakku, tergambar adegan ayah, ibu dan kedua kakakku mengelilingiku, menyaksikan aku bermain piano. Sayangnya, semua itu kemudian dihancurkan oleh kenangan-kenangan kejam setelahnya. Rivano tersentak. "Apa katamu?" Dia berdiri, sebagian besar kesadarannya kembali dari mabuk. Sesaat kemudian, matanya kembali dipenuhi ejekan. "Yang kamu maksud bukan Linza. Orang yang egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri seperti dia, mana mungkin membuat hidupnya menjadi seperti itu!" "Dia pasti sedang hidup mewah di vila mewahnya!" Saat dia berbicara, lengannya terus bergetar tanpa henti. Dia berusaha menekan derasnya kebencian yang bergolak di hatinya dan sisa-sisa kesedihan yang tak mampu disingkirkan. Lindro mendengarnya dan sudut matanya memerah. "Pak Ritno, kenal wajah belum tentu kenal hati. Apa pun kebejatan Linza, tak ada seorang pun yang lebih mengetahuinya selain aku!" Pada saat itu, Pak Ritno sudah mabuk berat dan tergeletak di sofa. Namun bibirnya masih terus bergumam. "Nggak, bukan begitu, aku sempat mendengar gadis itu berkata sesuatu. Dia bilang, membuat kalian masuk penjara adalah demi ...." "Apa ya, aku lupa." Lindro dan Rivano berdiri dalam bayang-bayang suram. Setelah menyelimuti Pak Ritno, mereka pun meninggalkan tempat itu. Ketika pintu tertutup, pria yang terbaring di sofa itu tiba-tiba berbisik lirih. "Benar, dia bilang, semua itu demi melindungi kalian ...."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.