Bab 3
Mengingat bahwa setelah ini Nia akan pergi ke tempat yang lumayan berbahaya, dia pun memutuskan untuk memakamkan abu neneknya.
Dia membeli sebuah liontin yang dia isi sedikit dengan abu serta rambut neneknya. Sementara sisanya akan dia makamkan di pemakaman.
Dia berlutut di depan makam neneknya sambil memegang liontin di dadanya. "Nek, jangan cemas, aku mau pergi melakukan apa yang memang aku mau. Aku akan jaga diri baik-baik."
Hari sudah sore saat Nia pulang ke rumah. Segera setelah dia masuk rumah, dia bisa mendengar suara tawa dan canda dari dalam.
Nia membeku seketika saat Toni sudah menyadari kedatangannya.
Pria itu segera menghampirinya dan menariknya masuk. "Sini, aku kenalkan ke dua orang temanku."
Pria dan wanita yang duduk di sofa itu pun langsung berdiri dan menatapnya. Mereka menatap Nia dengan tatapan meremehkan.
Dua orang itu adalah Winda dan Satya.
Nia sontak gemetar pelan. Tubuhnya selalu bereaksi seperti itu setiap kali bertemu dengan Winda.
Toni dengan riang memperkenalkan mereka sambil tersenyum, "Winda ini teman baikku, kami tumbuh bersama dari kecil. Lalu ini Satya, adik kembarku. Mereka baru pulang dari kuliah di luar negeri. Mereka sengaja pulang karena mau menghadiri pernikahan kita."
Winda melambaikan tangan sambil tersenyum. "Aku sudah kenal dengan Nia, kami teman sekamar waktu kuliah."
Winda berkata demikian sambil menghampiri Nia, kemudian merangkul lengannya dan berkata, "Ya 'kan, Nia?"
Ada banyak ingatan buruk di masa lalu, berkelebat di kepala Nia. Dulu, setiap kali Winda puas menindasnya, wanita itu juga akan berbisik padanya, "Nia, ini cuma bercandaan sesama teman sekamar, 'kan?"
Nia mendorong Winda secara refleks.
Winda sampai jatuh terduduk ke sofa, lalu sengaja memasang wajah sedih. "Nia, kamu masih benci padaku? Aku kan cuma mau dekat denganmu saja."
Ekspresi dua pria yang ada di sana sontak berubah. Toni bergegas menghampiri dan membantu Winda berdiri. Tatapan mata pria itu sudah berubah kelam.
Satya sendiri tampak mengernyitkan kening, merasa tidak terima. "Kak, sepertinya tunanganmu ini memang emosian, ya. Belum juga resmi jadi Nyonya Muda Keluarga Gunardi, tapi malah sudah sombong begini?"
Toni berdiri di depan Winda, berusaha melindunginya. Dengan marah dia berkata, "Nia, cepat minta maaf!"
Nia menatap tiga orang di depannya dengan kedua tangan yang diam-diam mengepal erat.
Pembicaraan yang dia dengar semalam, kembali terngiang di kepalanya, membuat hatinya terasa dicabik-cabik.
Nia lalu berbalik badan dalam diam, hendak pergi dari rumah ini.
Baru dua kali melangkah, pergelangan tangannya sudah ditarik secara tiba-tiba. Tarikan keras itu membuatnya sampai terhuyung-huyung.
Nia mendongak dan menatap kedua mata Toni yang tampak marah. "Siapa yang membolehkanmu pergi begitu saja?"
Satya juga ikut berkata dengan sinis, "Keluarga Gunardi itu keluarga kaya raya dan sangat mementingkan tata krama. Kak, tunanganmu ini harus diajari dan didisiplinkan."
"Kamu benar." Tatapan Toni terasa sedingin es. "Nia, sebentar lagi kamu akan jadi Nyonya Muda Keluarga Gunardi, kamu harus jaga sikap dan bicaramu. Kamu harus bisa mengendalikan dirimu dengan baik."
"Pikirkan baik-baik kesalahan apa yang sudah kamu lakukan hari ini."
Sambil berkata demikian, Toni menarik paksa Nia ke ruang bawah tanah. Dia mendorong wanita itu masuk ke salah satu ruangan.
Sebelum Nia sempat bereaksi, pintu ruangan itu sudah tertutup rapat.
Pintu itu terbuat dari besi dan sama sekali tidak bercelah. Cahaya di luar sama sekali tidak bisa masuk ke dalam. Saat itulah, Nia sadar kalau ruangan kecil gelap gulita ini juga tidak punya jendela.
Napasnya jadi makin memburu di dalam ruangan yang gelap gulita ini. Nia juga terus menggedor pintu dengan panik.
Tapi, mau berteriak sekeras apa pun, sama sekali tidak ada respons dari luar.
Dia tenggelam dalam kepanikan.
Waktu kuliah, Winda juga pernah mengurungnya dalam ruangan kecil yang gelap gulita selama tiga hari. Di ruangan itu tidak ada cahaya ataupun suara. Waktu terasa begitu lama di sana.
Waktu itu, mental Nia sampai terguncang. Sejak saat itu pula dia jadi takut gelap dan fobia ruang sempit yang tertutup.
Beberapa tahun terakhir, dia harus menyalakan semua lampu bahkan saat tidur malam.
Toni awalnya tidak nyaman, tapi setelah mendengar pengalaman traumatisnya, pria itu memeluknya penuh kasih. "Nggak apa, mulai sekarang, lampu di rumah akan terus nyala meski kita tidur. Kamu nggak usah takut lagi."
Dulu, Toni juga jadi susah tidur karena lampu yang masih menyala. Dia juga gampang terbangun di tengah tidurnya.
Tapi setiap kali Nia menyarankan untuk mematikan lampu, pria itu selalu menolak, "Nia, kamu nggak perlu memaksakan diri. Aku bisa kok menyesuaikan."
Pria itu tahu betul soal fobia Nia, mereka semua ... tahu itu.
Namun, Toni malah mengurungnya seperti sekarang. Semua hanya karena Nia mendorong pelan Winda.
Nia masih sakit hati, dia meringkuk di pojok ruangan sambil memeluk erat dirinya sendiri yang gemetaran.
Benar, kehangatan Toni sebelumnya hanyalah pura-pura. Mereka sengaja berakting menipunya.
Ruangan gelap dan sempit ini, mungkin juga sudah dirancang khusus untuk Nia.