Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 4

Dua hari kemudian, Toni datang membukakan pintu ruangan tersebut sambil tersenyum kecil. "Winda nggak menyalahkanmu soal kejadian terakhir kali. Kamu siap-siap sana, kita mau pergi mencoba gaun pengantin dan cincin nikah." Nia dibawa ke toko gaun pengantin. Begitu dia turun dari mobil, dia melihat Winda dan Satya yang sudah menunggu di dalam toko tersebut. Winda menyambut dengan gembira, "Nia, akhirnya kamu datang juga. Waktu itu aku nggak sempat mengucapkan selamat padamu. Aku dan Toni ini sahabat baik, jadi ayo kutemani cari gaun pengantin yang bagus hari ini." Wanita itu tersenyum ramah, tapi sebenarnya sedang menantikan momen Nia panik dan ketakutan. Namun, Nia sama sekali tidak menunjukkan rasa muak dan takut yang dia rasakan. Sebaliknya, dia justru balas tersenyum dan berkata, "Terima kasih, maaf merepotkan." Raut wajah Winda menggelap sesaat, tapi dia segera tersenyum kembali. Dia merangkul Toni dan Satya di lengan kiri dan kanannya, lalu berkata dengan penuh makna, "Kalau begitu, ayo kutemani mencoba gaun. Nia, sebentar lagi aku juga akan jadi pengantin." Nia tersenyum kecil. "Selamat, ya." Semangat di mata Winda seketika meredup. Lalu, begitu Nia terlihat tertarik pada sebuah gaun, Winda segera memanggil pegawai toko dan mencoba gaun itu duluan. Setiap kali keluar dengan gaun pengantin yang dicobanya, Winda akan menggenggam tangan Toni dan berkata, "Toni, bagaimana? Bagus nggak?" Dan setiap kali Toni melihatnya, pria itu selalu memujinya. Satya juga mendekati Winda, kedua pria itu benar-benar mengabaikan Nia. Seorang pegawai toko terlihat iri sekaligus kagum. "Calon pengantin yang itu beruntung sekali ... " Winda pura-pura berseru, "Aduh." Dia lalu menoleh ke Nia yang ada di sampingnya, dan menganggap kalau wanita itu hanyalah orang asing. "Maaf ya, Nia. Kan kamu yang mau jadi pengantin, seharusnya kamu yang coba gaunnya duluan." Dia lalu menepuk-nepuk dada Toni dengan manja. "Toni, kamu ini apa-apaan sih? Masa calon pengantinmu dibiarkan begitu saja!" Para pegawai toko tampak canggung, sementara Satya malah tersenyum mengejek. Baru setelah itu Toni menoleh ke arah Nia. "Ada gaun yang kamu suka?" Nia asal memilih sebuah gaun lalu mencobanya. Saat keluar, tiga orang tadi malah sudah pergi duluan. Pegawai toko dengan penuh simpati berkata, "Nona, Nona Winda bilang kalau dia mau memilih cincin, makanya mereka berdua pergi menemaninya, sementara Nona di sini ... " "Nggak apa." Nia melepas gaun pengantinnya dan mengembalikannya, lalu pergi begitu saja. Segera setelah itu, Winda mengunggah sesuatu di Facebook. Dia menyertakan foto cincin berlian yang dihiasi permata indah. [Cincin berlian yang Toni menangkan dari lelang berlian.] Nia hanya melihatnya sekilas, lalu mematikan layar ponselnya. Dia lanjut merapikan barang-barangnya. Selain baju ganti, dia juga perlu membawa perlengkapan sehari-hari. Dia mengeluarkan semua barangnya yang tersisa, termasuk hadiah yang dulu pernah dia berikan ke Toni. Dia membuang semua hadiah itu dan memusnahkannya. Sementara semua barang dari Toni, dia sama sekali tidak menyentuhnya. Ketika baru saja beres menata barang-barang di koper dan meletakkannya di lemari, Toni masuk ke kamar sambil membawa sebuah kotak beludru biru. "Ini, aku belikan cincin di pelelangan." Nia tahu itu adalah hadiah dari teman-teman Winda. Dia menerima kotak cincin itu dan meletakkannya di samping. Reaksi dinginnya membuat Toni mengerutkan kening. Pria itu lalu mengalihkan pandangannya ke tong sampah. Dia melihat cangkir pasangan mereka yang sebelumnya sangat Nia suka, malah ada di sana. Hal ini membuatnya kesal tanpa sebab. Dia mengernyitkan kening dan bertanya, "Kenapa cangkirnya dibuang? Kamu marah?" Nia menjawab singkat, "Nggak." Toni malah makin yakin kalau dia marah. "Apa karena masalah saat mencoba gaun tadi? Winda kan sahabatku, kami sudah bertahun-tahun nggak ketemu, wajar kalau aku jadi lebih perhatian ke dia." Dia lalu merangkul Nia. "Kamu nggak usah cemburu ke dia. Kalau memang kami saling suka, pasti sudah dari dulu jadian, 'kan? Nia, kamu yang akan jadi istriku. Masa kamu masih belum tahu seperti apa perasaanku untukmu?" Jantung Nia seolah diremas saat mendengarkan sederet kalimat barusan. Rasanya luar biasa menyakitkan. Kedua matanya memerah, Toni pun langsung membelai kepalanya. "Nia, maafkan aku, kamu jadi tersakiti begini." Ujung jari Nia gemetar pelan saat mendengarnya. Dia mengepalkan tangan sampai kukunya menusuk telapak tangannya sendiri. Di saat seperti sekarang, dia ingin sekali bertanya pada Toni, apakah pria itu tulus atau hanya pura-pura. Dia ingin tahu apakah selama tiga tahun mereka bersama, pria itu pernah tulus padanya. Tapi saat pertanyaan itu sudah di ujung bibir, Nia malah menelan lagi kata-katanya. Ponsel Toni berdering, pria itu segera menjawab, "Winda ... aku akan segera ke sana ... " Setelah menutup telepon, dia mengacak lembut rambut Nia. "Aku masih ada urusan, kamu istirahat saja duluan. Sebentar lagi, kamu akan jadi pengantin paling cantik." Usai berkata begitu, Toni berbalik badan dan pergi. Nia duduk di tepi ranjang sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Dua jam kemudian, dia sudah cuci muka dan siap-siap mau tidur. Nia berbaring di ranjang dan mencoba terlelap. Dalam keadaan setengah sadar, pintu kamar tiba-tiba terbuka dari luar. Toni yang seharusnya menemani Winda berpesta di bar, malah datang masuk ke kamar. Aroma alkohol menguar dari tubuh Toni saat dia melepas baju, lalu membuka selimut yang menutupi Nia. Rasa kantuk Nia langsung lenyap saat kulit mereka bersentuhan. Dia sadar bahwa ... Pria yang bersamanya sekarang adalah Satya.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.