Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

"Apa yang kamu tertawakan!" bentak Hendra, terusik oleh tawa itu hingga amarahnya kian memuncak. Nara mengangkat kepala. Tatapannya dingin setajam pisau, lurus mengarah pada Sandra yang masih berpura-pura lemah. "Suka sekali berakting, ya? Baik. Akan kubuat kamu tampil sampai puas." Dalam sekejap, sebelum siapa pun sempat bereaksi, Nara meraih sebuah pulpen logam di atas meja rias. Dengan gerakan secepat kilat, ujungnya dihujamkan keras ke punggung tangan Sandra yang menopang tubuhnya di lantai! "Ah!" Jeritan melengking memecah ruangan. Ujung pulpen itu menembus telapak tangan Sandra, menancapkannya ke lantai, sementara darah segar langsung mengalir deras. "Kamu ... kamu keterlaluan! Kamu gila!" Hendra gemetar hebat menahan murka. Dia menunjuk ke arah pintu sambil berteriak, "Pergi! Enyahlah dari rumah ini! Aku nggak punya tempat untukmu di sini!" Dia langsung memanggil para pelayan dan tanpa belas kasihan menyuruh mereka menyeret Nara keluar dari vila. Bersamaan dengan itu, koper kecil miliknya ikut dilempar ke luar gerbang. Tubuh Nara terhuyung sesaat sebelum akhirnya berdiri tegak. Dengan wajah datar, dia mengusap lengannya yang terasa nyeri akibat tarikan kasar tadi. Lalu dia membungkuk, membuka koper, dan mengambil kembali kalung safir peninggalan ibunya yang sempat direbut. Dia menggenggam benda itu erat di telapak tangannya, seolah menjadi satu-satunya pegangan. Dia menoleh sekali lagi ke arah rumah megah yang tampak indah di luar namun dingin dan kejam di dalam. Tanpa ragu sedikit pun, dia berbalik dan melangkah pergi. Belum jauh dia melangkah, langit tiba-tiba mencurahkan hujan deras tanpa peringatan. Butiran hujan menghantam tubuhnya, membuat pakaiannya seketika basah kuyup. Udara yang dingin merembes melalui kain basah, menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya gemetar hebat, memaksa dia berlari dengan langkah kacau menuju sebuah toko di pinggir jalan, berlindung di bawah atapnya untuk menghindari hujan. Air hujan menetes dari ujung rambutnya. Nara memeluk kedua lengannya, menatap tirai hujan yang kabur di hadapan mata, sementara perasaan hampa dan sunyi merayap di dadanya. Saat itulah sebuah Rolls-Royce hitam yang sangat dikenalnya melambat dan berhenti tepat di depannya. Kaca jendela turun, menampilkan wajah tegas Arkan. Begitu melihat Nara berdiri di bawah atap, basah kuyup dan tampak menyedihkan, alisnya langsung berkerut. Dia membuka pintu dan melangkah cepat menghampirinya. "Masuk mobil." "Nggak perlu ikut campur," balas Nara, memalingkan wajah. Arkan tidak menanggapi. Dia langsung mencengkeram lengan Nara dengan kuat, membuatnya sama sekali tak bisa melepaskan diri, lalu memaksanya duduk di kursi penumpang depan. Pemanas mobil menyala penuh, perlahan mengusir dingin yang melekat di tubuhnya. Arkan menyodorkan handuk bersih padanya, lalu tanpa berkata apa pun, menyalakan mobil dan membawanya kembali ke kediamannya. Arkan mengambil kemeja bersih dan celana panjang miliknya, menyuruh Nara berganti pakaian. Setelah itu, dia mencari kotak P3K dan dengan telaten mengoleskan obat pada bekas tamparan di wajah Nara yang sudah mulai membiru. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan suara rendah. Pandangannya tertuju pada pipi Nara yang bengkak, juga rambutnya yang masih basah, membuatnya tampak rapuh tanpa pelindung. Nara menekan bibirnya rapat-rapat, sama sekali tidak ingin menjawab. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Arkan bangkit dan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang berdiri di luar membuatnya tertegun. Dia adalah Sandra, dengan tangan dibalut perban tebal dan wajah pucat. "Arkan ... " Mata Sandra langsung memerah saat melihatnya. "Kakak diusir Ayah, aku sangat khawatir. Walaupun sebelumnya kakak hampir mencelakaiku, dan kali ini bahkan menusuk tanganku dengan pulpen besi ... tapi bagaimanapun juga kami saudari kandung. Aku tetap nggak tenang, jadi aku datang mencarinya, dan ingin membawanya pulang ... " Kata-kata itu terdengar jelas sampai ke ruang tamu, membuat Nara merasa mual mendengarnya. Dia melangkah ke depan, menatap Sandra dengan dingin. "Sandra, kalau kamu masih berani main sandiwara menjijikkan seperti ini di depanku," suara Nara tajam seperti pisau, "Percaya atau nggak, sekarang juga aku bisa merobek mulutmu." "Nara!" wajah Arkan menggelap, nadanya penuh amarah. "Sampai kapan kamu mau terus membuat masalah? Menampar orang, mendorong orang, menusuk telapak tangan dengan pulpen besi! Perbuatan mana yang pantas dilakukan seorang putri keluarga terhormat? Sandra sudah cukup besar hati untuk nggak mempermasalahkannya, bahkan datang dengan niat baik menjemput kamu pulang. Begini caramu memperlakukannya?" Sandra segera melangkah maju, menarik lengan jas Arkan, suaranya lembut dan penuh toleransi. "Nggak apa-apa, Arkan. Asal Kakak mau pulang bersamaku, itu sudah cukup ... " "Mintalah maaf padanya," perintah Arkan sambil menatap Nara dingin. "Nggak mungkin," jawab Nara tegas tanpa ragu. Pertengkaran pun pecah di depan pintu. Arkan mencoba menarik Nara, sementara Nara dengan kasar menepis tangannya. Dalam tarik-menarik itu, lengan Arkan tanpa sengaja menyenggol termos air panas yang diletakkan di atas lemari dekat pintu masuk. "Brak!" Termos itu jatuh dan pecah, air mendidih langsung muncrat ke segala arah. Dalam sepersekian detik, hampir secara refleks, Arkan memutar tubuhnya dan memeluk Sandra yang berdiri lebih dekat, melindunginya erat-erat, menggunakan punggungnya sendiri untuk menahan sebagian besar cipratan air panas. Di sisi lain, Nara sama sekali tak sempat menghindar. Air mendidih itu menyiram sebagian besar tubuhnya, dari betis hingga lengan, dan rasa panas yang menyayat langsung menghantam, membuatnya nyaris tak bernapas karena perihnya. Dia tertekuk menahan sakit, wajahnya pucat pasi seperti kertas. Arkan dengan cepat memeriksa Sandra yang ada dalam pelukannya. Hanya beberapa titik di punggung tangan yang terkena percikan, tampak sedikit kemerahan. Arkan pun segera melepaskannya. Barulah saat itu, dia melihat Nara di sisi lain. Tubuhnya hampir meringkuk kesakitan. Kulit yang terbuka sudah memerah dan membengkak dengan pemandangan yang mengerikan. Ekspresi Arkan berubah. Secara refleks dia hendak melangkah mendekat. "Arkan ... " Sandra tiba-tiba menarik lengannya, suara bergetar seolah menahan tangis. "Aku nggak apa-apa, cuma sedikit perih ... tapi Nara ... sepertinya lukanya cukup parah. Kamu mau nggak melihat kondisinya dulu?" Langkah Arkan tertahan. Pandangannya bergantian jatuh pada wajah Nara yang menahan sakit dan ekspresi Sandra yang tampak penuh pengertian. Namun bayangan tentang semua "kesalahan" Nara sebelumnya melintas di benaknya, membuat sorot matanya perlahan mengeras, dingin tanpa sisa. Dia menarik kembali pandangannya, lalu membungkuk dan langsung mengangkat Sandra dengan posisi menggendong. Suaranya datar, tanpa sedikit pun kehangatan. "Nggak perlu memedulikannya. Biar dia merasakan sedikit penderitaan juga, supaya ke depannya ... dia nggak lagi bertindak sembarangan dan melukaimu." Usai berkata demikian, Arkan membawa Sandra pergi dengan langkah lebar, tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.