Bab 8
Nara terkulai di lantai yang dingin. Tubuhnya dilalap perih menyengat, seakan terbakar dari dalam, sementara hatinya terasa seperti diterpa angin dingin tanpa henti.
Dia mengatupkan gigi, menahan rasa sakit dan pusing yang datang bergelombang. Dengan tangan yang tidak terluka, dia merogoh saku dengan gemetar, lalu menelepon layanan gawat darurat sendiri.
...
Saat kembali keluar dari rumah sakit, kebetulan bertepatan dengan pesta ulang tahun Sandra.
Rumah Keluarga Yalvaro dipenuhi dekorasi dan cahaya, suasananya meriah dan ramai.
Sebagai putri sulung secara nama, Nara tidak punya pilihan selain hadir.
Dia berdiri sendirian di sudut yang nyaris tak diperhatikan siapa pun, menatap Hendra yang wajahnya berseri-seri. Pria itu menggandeng Sandra, memamerkannya kepada para tamu sebagai putri kebanggaannya, bahkan dengan lantang mengumumkan bahwa sebagian besar aset atas namanya akan dialihkan kepada Sandra.
Di sekeliling mereka terdengar pujian dan decak kagum yang bertubi-tubi.
Nara menatap pemandangan itu dengan hati sedingin es.
Selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah sekali pun merayakan ulang tahun yang benar-benar utuh.
Ibunya telah lama meninggal, dan ayahnya acuh tak acuh. Setiap ulang tahun, dia selalu melewatinya sendirian, menghadapi kue yang dingin, lalu diam-diam mengucapkan harapan yang tak pernah didengar siapa pun.
Saat pesta mencapai puncaknya, para tamu mulai memberikan hadiah.
Hadiah berupa harta dari Hendra saja sudah cukup mengejutkan. Namun ketika Arkan mengeluarkan sebuah kotak beludru, lalu memperlihatkan kalung berlian yang jelas bernilai fantastis, dan dengan tangannya sendiri memakaikannya di leher Sandra, seluruh ruangan pun kembali bergemuruh oleh seruan kagum.
Wajah Sandra dipenuhi senyum bahagia bercampur kemenangan, matanya sesekali melirik ke arah Nara seolah tanpa sengaja.
Nara malas menatap lebih lama. Dia berjalan ke area hidangan, mengambil segelas minuman keras, lalu menenggaknya sekaligus, berharap alkohol bisa meredam kekacauan di dadanya.
Namun, saat dia ingin tenang, keadaan justru mencari masalah.
Beberapa sahabat Sandra datang bergerombol, sengaja menabraknya.
"Eh, bukannya ini Nona Besar Keluarga Yalvaro?" ejek salah satu dari mereka. "Di hari ini ulang tahun Sandra, semua orang senang. Kenapa wajahmu malah seperti orang berduka? Apa kamu nggak rela lihat Sandra bahagia?"
Nara tidak ingin membuat keributan. Dia meletakkan gelasnya dan berbalik hendak pergi.
"Hei! Kami sedang bicara sama kamu!" seru gadis lain sambil menarik lengan Nara. "Kamu tuli ya? Nggak dengar?"
Kesabaran Nara akhirnya habis.
Dia menghentakkan tangan dan menepis pegangan itu dengan keras, membuat gadis tersebut terhuyung mundur.
Tanpa ragu, Nara meraih botol minuman di meja terdekat, yang masih setengah penuh, lalu menatap tajam mereka satu per satu dengan sorot mata dingin dan berbahaya.
"Aku sudah beri kamu kesempatan," katanya rendah namun tajam. "Kalian sendiri yang memilih nggak menghargainya."
Belum sempat kata-katanya menghilang di udara, Nara sudah mengayunkan botol itu tanpa ragu ke kepala gadis yang berdiri paling dekat dengannya.
"Brak!"
Botol pecah seketika. Cairan alkohol bercampur darah mengalir turun.
"Ah!"
Jeritan panik langsung memenuhi ruangan, suasana berubah kacau dalam sekejap.
Namun Nara seolah tidak merasakannya sama sekali. Tangannya bergerak cepat dan brutal, menghantam satu demi satu tanpa ampun, sampai akhirnya pergelangan tangannya dicengkeram kuat dari belakang oleh Itu Arkan.
"Nara! Kamu lagi-lagi bertingkah gila seperti ini?" bentak Arkan, dia menatap lantai yang berantakan dan beberapa gadis dengan kepala berdarah, wajahnya mengeras luar biasa.
Nara menyeringai dingin. "Bukannya kamu sudah lihat sendiri? Mereka menghina aku, dan aku hanya membalasnya."
"Membalas?" Mata Arkan dipenuhi kekecewaan dan amarah. "Ini bukan balasan, ini penganiayaan sengaja! Dan kalau mereka berani bicara begitu, pasti ada yang salah dari diri kamu. Kamu seharusnya introspeksi, bukan melampiaskan amarah! Sekarang, minta maaf pada mereka!"
"Mimpi!" jawab Nara tanpa ragu.
Melihat sikapnya yang sama sekali tidak mau mengalah, sisa kesabaran di mata Arkan akhirnya lenyap sepenuhnya.
Dia tahu Nara paling takut akan kegelapan dan ruang tertutup.
"Kalau kamu nggak mau mengakui kesalahan, maka gunakan waktu ini untuk benar-benar merenung," katanya dingin sambil memberi perintah pada para pengawal di belakangnya. "Bawa dia ke ruang tahanan di basement. Kurung dia di sana. Tanpa izinku, jangan biarkan dia keluar."
Dia menatap Nara dengan tatapan sedingin es. "Hanya kalau kamu merasakan takut, kamu akan benar-benar belajar."
Nara diseret keluar dari aula pesta dan dimasukkan ke sebuah ruangan bawah tanah yang sempit, gelap, dan tanpa jendela.
Begitu pintu besi itu tertutup, kegelapan pekat langsung menelan segalanya seperti gelombang dingin yang menyergap dari segala arah.
Ingatan masa kecil saat dikurung di kamar gelap kembali menghantamnya tanpa ampun. Tubuh Nara meringkuk di sudut ruangan, gemetar hebat, punggungnya basah oleh keringat dingin.
Di dalam kegelapan, waktu terasa seolah berhenti.
Lapar, haus, dingin, dan ketakutan yang menyesakkan terus-menerus menggerogoti kewarasannya.
Hari ketiga. Saat batas kesadarannya hampir runtuh, pintu ruang tahanan itu akhirnya terbuka.
Seberkas cahaya menembus kegelapan. Di ambang pintu, berdiri Sandra, dengan senyum puas dan penuh kemenangan terukir di wajahnya.
"Aku kira Arkan akan menghukummu dengan lebih kejam," ujar Sandra sambil tersenyum tipis penuh ejekan. "Nggak kusangka hanya dikurung di ruang gelap saja. Hukuman segitu ... terlalu ringan." Dia menepukkan tangan pelan. Dua pria berpakaian hitam dengan wajah dingin segera masuk dari belakangnya.
"Apa yang ingin kamu lakukan?" Nara menatapnya waspada. Suaranya serak dan lemah karena terlalu lama terkurung.
"Memberi tambahan supaya kamu benar-benar ingat," jawab Sandra, senyumnya berubah bengis. "Ikat dia ke kursi setrum."