Bab 4
Chelsea menahan dorongan untuk bertengkar hebat dengannya. Dia berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Tiga hari ini Jason sibuk, dia pun tidak menganggur.
Foto-foto Jason dan Jesslyn keluar masuk apartemen yang sama terus mengalir ke ponselnya.
Menjelang hari pernikahan, Jason malah tinggal bersama wanita lain dengan santai dan menganggap itu sebagai pesta bujang sebelum masuk kubur perkawinan.
Jason mengikuti Chelsea masuk, mengambil kotak P3K dari lemari, mengeluarkan betadine dan kapas, lalu berjalan ke depannya.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya dengan wajah tegas langsung meraih tangannya dan membantunya mengobati luka.
"Kamu paling sayang dengan tangan ini. Jangan lukai diri sendiri karena marah padaku."
Chelsea tersenyum dingin, "Bukankah orang yang menyakitiku itu kamu?"
Dia tidak melanjutkan perdebatan, mengambil sebuah dokumen dan menyerahkannya ke Jason.
"Lihat syaratnya. Kalau nggak ada masalah, tanda tangan."
Jason menerima dokumen itu, alisnya berkerut begitu membaca isinya.
"Perjanjian pembagian harta?"
Chelsea hanya menjawab, "Hmm."
Jason menaruh dokumen itu dan tertawa pelan, "Kita sudah mau menikah. Untuk apa tanda tangan dokumen ini?"
Baginya, ucapan Chelsea tempo hari hanya karena emosi.
Mereka sudah tujuh tahun bersama, Chelsea tidak mungkin meninggalkannya.
Chelsea mendongak menatapnya, tidak berkomentar, hanya mengikuti kata-katanya.
"Justru karena mau menikah, maka perlu ada perjanjian. Bagaimanapun juga harta sebelum menikah adalah milik pribadi."
Chelsea tahu, hanya dengan sungguh-sungguh meninggalkan Jason, barulah pria itu paham, ucapan hari itu bukan emosi belaka.
Pria itu menatapnya dengan dingin, bibirnya terangkat dengan senyum tipis penuh ejekan dan setuju tanpa ragu.
"Baik."
Chelsea menyerahkan pulpen.
Jason menatapnya sejenak, menekan rasa tidak senang, lalu menandatangani dokumen dan mengembalikannya.
"Amarahmu sudah reda, 'kan?"
Dia mengulurkan tangan hendak memeluknya.
Chelsea mengambil dokumen itu, menghindari gerakan mesra itu.
"Nanti aku bawa ke kantor notaris untuk dilegalisasi. Kalau ada yang menghubungimu, tolong kerjasama."
Wajah Jason seketika menegang, "Kamu bahkan nggak percaya padaku?"
Chelsea tidak menjawab, hanya menyimpan dokumen itu ke dalam map dokumen dengan hati-hati.
Perbuatannya sudah menjelaskan segalanya.
Wajah Jason tampak dingin, melihatnya dengan sombong sambil tersenyum dingin.
"Chelsea, kamu sadar nggak sekarang kamu jadi terlalu materialistis?"
Chelsea menatap mata hitamnya, tidak peduli julukan yang dia berikan dan menjawab dengan tenang.
"Sekarang bukan lagi zaman makan cinta saja sudah cukup. Kekuasaan dan uang adalah vitamin kehidupan."
Cinta pria penuh perubahan, hanya harta dan uang yang tidak akan berkhianat.
Raut wajah Jason sepenuhnya menggelap.
Chelsea mengambil dokumen dan berjalan naik ke lantai atas. Saat melewati sisinya, dia berhenti sebentar, "Aku nggak masak makan malammu di sini. Urus saja sendiri."
Habis bicara, dia naik tanpa menoleh.
Wajah Jason sangat jelek dan membanting pintu dengan keras saat keluar.
Chelsea tidak peduli. Setelah menyimpan dokumen di brankas, dia pergi menemui nenek. Dia ingin membicarakan rencananya pindah ke Kota Dustin.
Tidak lama setelah bercerai, ibunya meninggal karena kanker. Waktu itu Chelsea masih SMA, hidupnya hanya bergantung pada nenek.
Di halaman yang tua itu, cahaya matahari senja menembus samar.
Orang tua itu berbaring di kursi malas dari anyaman bambu sambil menikmati pemandangan senja. "Chelsea sudah datang? Jason mana?"
Biasanya Jason selalu menemaninya menjenguk nenek, hampir tiap minggu tanpa absen.
Chelsea tidak mau membuat nenek khawatir. Dia menunduk, pura-pura tenang dan menjawab.
"Dia sedang sibuk."
Nenek terdiam sejenak, lalu mulai berceloteh panjang. Pada akhirnya, dia tetap bersikeras ingin ketemu Jason, katanya ada hal yang mau disampaikan.
Chelsea tidak bisa menolak, akhirnya menelepon Jason.
Tapi teleponnya tidak diangkat dan dia tidak memaksa lagi.
Setelah menenangkan diri, dia tersenyum dan berbalik
"Nenek, dia ...."
Namun, nenek yang barusan masih bicara dengannya kini sudah memejamkan mata dengan tenang dalam cahaya senja. Tangannya terkulai di sisi kursi, tampak damai seakan hanya tertidur.
Hati Chelsea tiba-tiba bergetar, teringat momen saat ibunya meninggal dulu.
"Nenek ...." Suaranya bergetar, dia meraih tangan nenek, terasa hangat tapi tak ada respons.
Ketika tim medis datang, mereka bilang itu kematian secara alami dan menyarankan Chelsea supaya tabah.
Seseorang yang sedetik lalu masih bicara dengannya, kini telah pergi. Chelsea refleks menelepon Jason.
Namun begitu tersambung, suara Jesslyn yang terdengar.
"Kak Chelsea ada apa? Aku dan Pak Jason lagi di jalan menuju kota sebelah ...."
Hampir di saat dia mendengar suara itu, wajah Chelsea memucat dan langsung memutuskan panggilan.
Lalu dia menelepon kakaknya yang jauh di Kota Dustin. Begitu tersambung, Chelsea menahan suaranya dan berkata.
"Kak, nenek sudah meninggal."
Kezia di seberang sana menjawab, "Aku segera ke sana."
Begitu telepon ditutup, Chelsea menutupi wajahnya, berjongkok di depan jasad nenek dan menempelkan wajahnya pada tubuh yang perlahan membeku. Bahunya bergetar hebat.
Chelsea belum pernah merasa sebegitu menyesal dalam hidupnya.
Demi pria seperti Jason, dia rela meninggalkan keluarga yang mencintainya.