Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Lima menit kemudian, Julian menggendong Aurora naik ke tepi dek. Melihat Aurora yang pucat bersandar dalam pelukannya, tatapan Julian pada Aruna semakin sulit menyembunyikan rasa muaknya. "Aruna, sebenarnya apa yang sudah Aurora lakukan sampai membuatmu mencelakainya seperti ini?" "Sudah kubilang bukan aku! Aku nggak melakukannya!" Dia bahkan tidak tahu di mana letak sambungan proyektornya. Bagaimana mungkin melakukan hal seperti itu! "Di vila ini hanya ada empat orang! Kalau bukan kamu, apakah Aurora melakukannya sendiri?" Aruna baru saja hendak mengatakan mungkin saja itu rekayasa Aurora sendiri, tapi Julian tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. Dengan sorot mata sedingin baja, dia menatap Aruna sekejap sebelum memberi perintah pada para pengawal di sampingnya. "Lempar dia ke laut dan biarkan di sana! Selama aku belum bilang berhenti, siapa pun nggak boleh membawanya naik!" Aruna meronta seperti orang gila, tapi apa pun yang dia lakukan tak mampu menandingi kekuatan para pengawal itu. Dia ditekan kuat-kuat ke lantai, tangan dan kakinya diikat, lalu tubuhnya dilemparkan dari dek kapal ke laut. Tubuhnya jatuh menghantam laut dalam. Air laut yang dingin menyapu dan menenggelamkannya, sementara rasa dingin menusuk tulang merayap ke seluruh tubuh, seolah jarum-jarum tajam menembus hingga ke ujung jemari. Sejenak, Aruna merasa dirinya akan mati. Hingga detik berikutnya, pengawal menyeretnya keluar dari air dan menggantungnya di atas dek kapal. Dengan susah payah dia mengangkat kepala, melihat punggung Julian yang menggendong Aurora. Dalam sekejap, hatinya terasa mati dan hampa. Dia digantung selama tiga hari penuh. Selama tiga hari itu, tubuhnya diguyur air dan dijemur matahari. Bagian atas tubuhnya hampir mengering, sementara bagian bawah yang terus terendam air laut asin membengkak dan memucat hingga tampak mengerikan. Pada saat yang sama, kedua kakinya penuh dengan luka-luka akibat gigitan ikan, yang bagian terdalam bahkan hampir memperlihatkan tulang. Begitu tubuhnya diturunkan ke dek, dia tak lagi mampu bertahan dan langsung pingsan. Saat sadar kembali, satu hari satu malam telah berlalu. Hidungnya langsung disergap bau menyengat dari cairan disinfektan. Julian menjaga di sisi tempat tidur. Saat melihat Aruna terbangun, dia tak terlihat menghela napas lega. "Kak Lucian memang melakukan kesalahan kali ini. Aku sudah bertengkar dengannya." "Tapi, Runa, bagaimana bisa kamu melakukan hal seperti itu? Kamu tahu nggak, seluruh kota sedang heboh, semua orang menertawakan Aurora sekarang!" "Aku sudah bilang pada kakak, setelah kamu keluar dari rumah sakit, kamu harus berlutut dan meminta maaf pada Aurora." Aruna menatap bibirnya yang terus bergerak, hati yang sudah mati rasa kembali tersayat oleh rasa sakit yang menusuk. Dia memalingkan wajah, memejamkan mata, membiarkan air matanya jatuh. Suaranya lirih seakan retak. "Julian, apakah ini menyenangkan?" Menggunakan wajah Lucian untuk menyakitinya. Menggunakan wajahnya sendiri pun tetap menyakitinya. Sebenarnya kesalahan apa yang pernah dia lakukan hingga Julian memperlakukannya seperti ini? Julian mengira dia tidak bersedia. Tatapannya mendingin dan nada suaranya mengeras. "Runa, dengarkan aku. Jangan membuatku serba salah." Aruna tersenyum tanpa suara dan mengangguk pelan. "Baik. Aku akan menurutimu." Barulah Julian merasa puas, mengeluarkan obat tetes mata. "Baguslah. Sini, biar aku teteskan obat matamu." Jika bukan karena sudah mengetahui kebenarannya, Aruna pasti akan sangat terharu. Namun kini, yang dia rasakan hanyalah dingin menusuk di hatinya. Aruna menatapnya sekilas tanpa mengucapkan sepatah kata pun, membiarkan pria itu meneteskan obat mata itu. Karena jauh sebelumnya, Aruna sudah menukar obat tetes itu. ... Aruna dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Tiga hari kemudian, dia kembali ke vila. Aurora sedang menangis tersedu-sedu di pelukan Lucian. Alis Julian tersirat rasa sakit hati yang penuh iba. Dia menarik Aruna dan melemparnya ke hadapan Aurora. "Runa, seperti yang sudah dibicarakan, berlutut dan minta maaf pada Aurora." Aruna terjatuh dengan menyedihkan. Luka di betisnya yang belum sembuh menimbulkan rasa sakit menusuk. Sorot mata Aurora melintas kepuasan, lalu menangis tersengal-sengal. "Reputasiku sudah hancur. Apa gunanya permintaan maaf?" Tanpa sadar Julian melunakkan suaranya, di antara alisnya tersirat kasih sayang yang sulit disembunyikan. "Kalau begitu, menurutmu harus bagaimana?" Lucian mengangguk ringan. "Aurora ingin bagaimana?" Mata Aurora berkilat penuh rasa puas. Dia mengecupkan bibir dengan manja, "Aku mau mahkota phoenix milik Kak Aruna." Mahkota phoenix itu adalah mahar yang Julian berikan pada Aruna, sebuah pusaka turun-temurun, barang antik yang tak ternilai harganya. Pernah diunggah ke internet oleh staf Keluarga Stanley, mahkota itu membuat banyak warganet iri luar biasa. Aurora telah menginginkannya sejak lama. Tanpa berpikir panjang, Julian memerintahkan, "Runa, ambilkan untuk Aurora." Dia mengira Aruna akan menolak karena mahkota itu pemberiannya sendiri, sesuatu yang selalu Aruna hargai. Saat dia sedang berpikir bagaimana membujuknya, Aruna justru berkata dengan ringan. "Baik, akan kuambilkan." Julian tertegun. Menatap punggung Aruna yang entah sejak kapan menjadi begitu kurus, hatinya tiba-tiba terselip rasa tak nyaman. Dia menganggapnya hanya ilusi.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.