Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

Xander melepaskannya, menggandeng tangan Karin dan berjalan pergi. Fernando menggosok pergelangan tangan yang sakit, menatap punggung kedua orang itu, giginya sampai berdarah karena menggertaknya terlalu keras. Dia belum pernah merasa begitu hina seumur hidupnya! Sherin memegang tangannya dengan sedih dan berkata, "Kak Karin benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa dia melakukan hal itu padamu?" Fernando memandang dengan tatapan serius, tidak berkata apa-apa. Di seluruh Kota Nolin, belum ada satu orang pun yang berani menantang Keluarga Suntaro. "Karin, kali ini kamu yang mencari masalah!" batin Fernando. Di sisi lain. Setelah keluar dari area kompleks, Karin melepaskan genggamannya dengan halus dan berkata dengan nada bersalah, "Sebenarnya aku bisa saja meminta maaf pada mereka, nggak akan menyakitkan. Tapi sekarang kamu malah terlibat, Keluarga Suntaro nggak akan membiarkan kita begitu saja." Xander secara tidak sadar mengepalkan telapak tangannya yang kosong, dia tersenyum. "Nggak apa-apa, aku punya teman pengacara, dia sangat hebat, bisa memenangkan kasus ini." Karin menghela napas, dunia orang kaya mana mungkin sesederhana itu? Grup Suntaro memiliki banyak orang hukum, masing-masing dari mereka adalah ahli dalam setiap kasus, bagaimana mungkin seorang pengacara biasa bisa mengalahkan mereka? Namun, keadaan sudah seperti ini, tidak ada gunanya berdebat lagi, apalagi Xander sudah membantunya. Karin menoleh dan bertanya pada Xander, "Belum makan siang, 'kan? Aku akan mentraktirmu, mau makan apa?" Xander berkata, "Makanlah apa saja, kamu masih harus balik ke kantor nanti." Karin mengangguk, mereka berdua masuk dan masing-masing memesan kwetiau goreng. Kedai ini sangat kecil, hanya ada beberapa meja dan dekorasinya sederhana. Xander dengan aura mulianya berdiri di dalam kedai, seolah-olah membuat tempat itu bersinar. Dia berdiri mengambil segelas air dan mendorongnya ke arah Karin. "Minumlah." Karin mengucapkan terima kasih. Dia belum minum sepanjang pagi, ditambah berdiri di bawah terik matahari selama dua jam, bibirnya sudah kering dan mengelupas. Dia mengambil gelas dan minum dengan perlahan. Keduanya terdiam sejenak, suasana agak canggung. Xander menyantap kwetiau dengan sumpit, gerakannya sangat elegan, seolah-olah sedang menyantap hidangan mewah. Pandangan Karin tanpa sadar tertuju pada jam tangan di pergelangan tangannya. Dia ingat, Fernando juga memiliki jam yang sama persis, edisi terbatas merek mewah yang sulit didapat. Fernando harus meminta bantuan orang lain dan membayar lebih untuk mendapatkannya. Barang dengan harga miliaran jelas bukan sesuatu yang bisa dibeli oleh seorang sales biasa. Karin dengan ragu-ragu mulai berbicara, "Jam tanganmu ini ... " "Pinjam dari teman, jasnya juga," jawab Xander dengan santai. "Kamu seharusnya tahu profesiku ini terkadang butuh aksesori untuk penampilan." Mendengar ini, keraguan di hati Karin langsung menghilang. Berbeda dengan profesi lain, sales butuh "batu loncatan" untuk masuk ke suatu pertemanan. Xander sudah selesai makan, dia menyeka mulutnya menggunakan tisu, lalu meletakkan kedua tangan di meja sambil bertanya dengan santai, "Bagaimana kamu bisa kenal Fernando?" Karin terdiam, dia tidak berkata apa-apa. Xander menatapnya. "Nggak ingin membicarakannya?" "Bukan begitu." Karin menggelengkan kepala, matanya memancarkan kelegaan yang menyakitkan, lalu menjelaskan, "Tiga tahun lalu, orang tuaku mengalami kecelakaan mobil. Ibuku meninggal seketika, sedangkan ayahku mengalami cedera tulang belakang dan kedua kakinya lumpuh. Pelakunya kabur, di saat paling putus asa, aku bertemu dengannya. Dia membantuku menemukan pelakunya dan mencari spesialis terbaik untuk ayahku, sehingga kedua kakinya bisa diselamatkan." Tatapan mata Xander terlihat dalam. "Nggak heran pernikahan ini membuatmu begitu terluka, ternyata dia memanfaatkan kelemahanmu." Karin terkejut, dia tersenyum pahit, lalu menundukkan kepala. "Aku bukan orang yang nggak bisa menerima kekalahan, tapi ... " Baginya Fernando itu tidak hanya sekadar cinta, bertemu dengannya dua tahun lalu itu seperti bertemu penolong, sandaran dan cahaya di dunianya yang gelap. Tidak ada yang abadi, setiap orang ada musimnya. Namun, yang paling menyakitkan adalah ketika orang yang paling dia sayangi malah menyakitinya, tidak hanya menyakitkan, tapi juga memberinya trauma, pelajaran dan luka yang selalu terasa sakit saat disentuh. Suara Karin tersendat, dia tidak bisa melanjutkannya lagi. Karena dia menunduk, dia juga tidak melihat emosi kompleks yang sekilas terlihat di mata pria di seberangnya ini. Xander mengulurkan tisu, suaranya rendah seolah-olah menyiratkan sesuatu. "Ada yang menganggapmu nggak cukup baik, ada juga yang menganggapmu sempurna. Jangan menyia-nyiakan hidupmu untuk orang yang nggak layak." Karin mengangguk, menahan isak tangisnya, menyelesaikan makannya dengan menangis. Xander menatapnya lekat. "Mungkin ke depannya akan bertemu yang lebih baik." Karin tersenyum melalui air mata, sudut bibirnya melengkung. "Bertemu atau nggak itu nggak penting, tapi terima kasih atas doamu." Setelah makan, Karin hendak berpamitan pada Xander, tapi pria itu berkata, "Aku akan naik taksi kembali ke kantor, kebetulan searah, mau ikut?" Karin terkejut sejenak, dia tidak menolak, "Kalau begitu nanti aku bayar ongkosnya." Xander tidak menjawab. Sesampainya di kantor, setelah turun dari mobil, dia mentransfer uang 60 ribu ke rekening Xander. Dua detik kemudian, uang itu dikembalikan. [Nggak perlu.] Mungkin karena tidak ingin Karin merasa tidak enak, Xander mengirim pesan lagi. [Saling membantu sudah semestinya sebagai tetangga.] Karin mengingat kebaikan ini di dalam hati. Sore hari masih ada pelatihan. Setelah pulang kerja, Karin membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi, tiba-tiba dia menerima telepon dari Novia yang terdengar agak kasar. [Karin, pulanglah sebentar, ada hal yang ingin aku dan ayahmu bicarakan denganmu!] Karin tahu kalau Novia tidak akan membiarkan masalah perceraiannya begitu saja, jadi lebih baik pulang hari ini untuk menyelesaikan masalah ini. Dia menjawab, "Oke, aku akan segera ke sana." Ayahnya tinggal di rumah tunjangan yang diberikan oleh perusahaan lamanya. Ada beberapa orang yang sedang bermain kartu di lantai bawah menyapanya dengan ramah, "Karin, kamu pulang untuk menjenguk ayahmu?" Karin tersenyum dan berkata, "Ya, aku pulang untuk melihatnya." Karin naik ke lantai atas, beberapa wanita saling bertukar pandang, maksud mereka sudah terlihat jelas tanpa perlu diucapkan. Dulu ketika Karin menikah dengan keluarga kaya, dia langsung naik pangkat, siapa yang tidak iri dengan keluarganya bisa punya anak perempuan seperti Karin? Namun hari ini, Novia pulang sambil mengumpat dari luar. Semua orang tahu Karin diusir dari keluarga kaya itu, jadi mereka mulai menduga-duga bahwa dirinya yang tidak benar, kalau tidak mana mungkin dibuang, bukan? Lihatlah penampilannya, memang bukan tipe wanita yang bisa tenang di rumah, tidak heran dia diusir. Keluarga Norman sudah dipermalukan oleh anak perempuannya ini. Dengan ekspresi wajah yang menyeringai, mereka menyusun berbagai rumor dan mendapatkan kesimpulan darinya. Karin tidak tahu tentang gosip-gosip itu. Saat sampai di rumahnya, begitu masuk, dia melihat Novia sedang mengemas dua koper sambil memandangnya dengan kesal. "Pas sekali kamu pulang, aku mau cerai dengan ayahmu!" Andi duduk di kursi roda dengan wajah putus asa. Karin tidak menyangka akan menghadapi situasi seperti ini begitu pulang. Dia terdiam selama beberapa detik, lalu bertanya pelan, "Apakah karena perceraianku?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.