Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 8

Andi memalingkan wajahnya, suaranya terdengar tidak wajar. "Apa hubungannya denganmu? Jangan berpikir macam-macam, hubunganku dengannya memang sudah nggak bisa dilanjutkan." Novia melotot dengan marah, menaruh tangan di pinggang, menunjuk Andi dengan kesal. "Kamu masih berani berkata seperti itu! Aku sudah melayanimu dengan setia selama tiga tahun, bukankah aku pantas mendapat pengakuan? Aku hanya memintamu untuk menasihati putrimu, apa salahku? Bukankah ini juga demi kebaikannya? Kalau dia bercerai begitu saja, maka bagaimana dia bisa membiayai keluarga ini?" Andi adalah pria yang jujur dan baik hati, dia tidak bisa mengucapkan kata-kata kasar, wajahnya menjadi pucat karena marah, tangannya mencengkeram erat pegangan kursi roda. "Tadi kamu nggak bilang begitu!" Perkataannya yang tadi begitu keterlaluan, tidak ada seorang ayah pun yang tahan putrinya dikatai seperti itu. Karin tidak ingin membuat ayahnya ikut susah, dia berjalan mendorong kursi roda. "Ayah masuk ke kamar dulu, aku mau berbicara dengan Bibi Novia." Andi memegang tangan Karin, sorot matanya yang biasanya penuh kasih sayang terlihat tegas. "Karin, jangan merasa terbebani, ayah bisa merawat diri sendiri. Kalau dia nggak mau tetap di sini biarkan saja dia pergi. Ayah nggak ingin melihatmu mengalah terus." Genggaman tangannya yang kasar justru memberinya kehangatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Karin pura-pura bersikap santai sambil tersenyum. "Ayah, nggak apa, tenang saja. Siang tadi ada sedikit salah paham antara aku dan Bibi Novia, dia juga kesal padaku. Kalau sudah dibicarakan nanti pasti akan baik-baik saja." Andi menghela napas dalam-dalam, tidak berkata apa-apa lagi, dia membiarkan putrinya mendorongnya kembali ke kamar. Karin menutup pintu dan berjalan keluar, Novia dengan wajah sinis berkata, "Memohon padaku nggak ada gunanya, kamu harus meminta maaf pada Keluarga Suntaro dan memohon untuk rujuk kembali atau kamu bisa menggugat mereka untuk mendapatkan uang yang banyak. Kalau nggak, aku nggak akan tinggal di rumah ini lagi!" Karin memandangnya dan berkata, "Cara berpikirmu terlalu sederhana. Fernando nggak mungkin menikahiku lagi, karena itu akan membuat Keluarga Suntaro terlihat memalukan. Bagi keluarga kaya seperti mereka kehormatan lebih penting daripada nyawa." Novia mengerutkan kening dan masih bersikeras. "Kalau begitu, minta uang dari mereka! Harta Keluarga Suntaro adalah harta bersama kalian berdua, senggaknya beberapa ratus miliar bagi mereka bukan masalah!" Karin menggelengkan kepala. "Nggak mungkin. Sebelum menikah, kami sudah membuat perjanjian pra-nikah, Fernando sudah mengambil gaji sepuluh tahun sebelumnya. Di masa depan, pendapatannya hanya 200 ribu per tahun." Ini adalah syarat yang diajukan Siska untuk menyetujui pernikahan mereka, tujuannya adalah untuk mencegah Karin berbuat seenaknya. Jadi dari segi hukum, dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari perceraian. "Dan juga." Karin menatap Novia. "Kamu tahu apa yang terjadi pada orang yang sempat membuat keributan di depan gedung Grup Suntaro? Dia digugat oleh Grup Suntaro dan harus membayar ganti rugi 2,4 miliar." Wajah Novia langsung memucat. Dirinya tidak punya uang sebanyak itu! Baru saat ini, Novia menyadari bahwa perceraian Karin sebenarnya adalah jalan buntu. Wajahnya menjadi suram, dia memandang Karin dengan tatapan tajam. "Jangan salahkan aku nggak tahu diri, selama tiga tahun ini bagaimana aku merawat ayahmu, kamu sendiri bisa melihatnya. Sekarang kamu sudah bercerai, nggak punya pekerjaan tetap, biaya berobat ayahmu lebih dari 10 juta sebulan, biaya sekolah Kurnia butuh delapan juta sebulan, totalnya sudah hampir 20 juta, belum termasuk biaya kebutuhan di rumah, minimal perlu 30 juta sebulan, dengan apa kamu akan membayarnya? Aku nggak mau terkubur hidup-hidup di keluargamu ini!" Karin mengerti kenapa Novia begitu panik. Putranya, Kurnia sekarang bersekolah di SMA swasta, rankingnya paling bawah, anak itu setiap hari hanya bermalas-malasan, suka berbuat onar. Novia harus memikirkan kuliahnya, pekerjaannya, pernikahan dan cucunya, semuanya membutuhkan uang. Sementara Keluarga Norman sekarang jelas tidak bisa memberikannya semua itu. Dulu dia berpikir memanfaatkan Keluarga Suntaro, sekarang Keluarga Suntaro juga sudah tiada. Namun, Karin tidak punya pilihan lain, dia tidak punya kartu truf, tapi dia masih membutuhkan Novia untuk merawat ayahnya. Dia hanya bisa bernegosiasi dengan Novia. "Aku akan memberimu 30 juta per bulan tepat waktu, beri aku waktu tiga bulan, bagaimana? Dalam waktu tiga bulan ini, kamu bisa mencari pria baru, aku hanya butuh tiga bulan. Kalau setelah tiga bulan nggak ada kemajuan, aku akan memberimu tambahan 20 juta, kamu bisa pergi kapan saja." Bagaimanapun juga ini adalah transaksi yang menguntungkan. Novia menghitungnya dalam hati, 30 juta per bulan, dia bisa menyisihkan 14 juta untuk dirinya sendiri, tiga bulan berarti 42 juta, ditambah ada tambahan 20 juta dari Karin, totalnya 62 juta. Apalagi Karin tidak melarangnya mencari pria lain sambil bekerja. Dia sudah tertarik, tapi mengingat permintaan orang tua murid di sekolah siang tadi, dia menguatkan hati dan berkata, "Aku harus tahu dulu kamu serius nggak, berikan aku jaminan 200 juta, tiga bulan kemudian akan kukembalikan!" Karin mengerutkan kening. "200 juta? Terlalu banyak." Syarat yang dia berikan pada Novia sudah merupakan jumlah maksimal yang bisa dia keluarkan. Ekspresi Novia berubah masam, dia menyilangkan tangan dan berkata dengan kesal, "Kalau nggak bisa memberikan 200 juta, maka nggak perlu dibahas lagi!" Karin menggertakkan giginya dan memohon, "Bibi Novia, tolong bantu aku kali ini ..." Ucapannya terpotong oleh Novia yang menyeringai dingin. "Membantumu? Aku bukan lembaga amal! Kalau aku membantumu, siapa yang akan membantuku?" "Bibi Novia ... " Karin meremas jarinya, merasa tidak berdaya. "Aku benar-benar nggak punya uang sebanyak itu." Novia menyeringai sinis. "Aku nggak peduli, jangan bilang aku nggak membantumu. Aku beri kamu tiga hari, kalau dalam tiga hari uangnya nggak ada, aku akan pergi dengan membawa koperku!" Setelah berkata demikian, dia bangkit dan berjalan ke kamarnya, menutup pintu dengan kencang. Karin duduk di ruang tamu dengan perasaan resah. Kini dia hanya memiliki sisa uang lebih dari 100 juta. Ayahnya butuh biaya, anak yang dibiayainya juga butuh uang, setiap sen harus diperhitungkan dengan cermat. Novia meminta 200 juta, berjanji akan mengembalikan dalam tiga bulan, tapi siapa yang tahu hal itu benar atau tidak? Biaya perawatan di rumah sangat mahal, dia sudah menanyakannya tiga tahun lalu. Untuk kasus ayahnya yang butuh perawatan 24 jam, minimal 60 juta per bulan, ditambah biaya rehabilitasi, Karin tidak sanggup membayarnya. Lagi pula, perawat di rumah belum tentu bisa diandalkan. Beberapa bulan pertama pasti sering ganti-ganti perawat. Meski punya uang, dia tidak bisa mengorbankan pekerjaannya. Kedua jalan sudah benar-benar tertutup. Setelah berpikir cukup lama, Karin menghela napas dalam-dalam, menekan sudut bibirnya dengan kuat, lalu tersenyum dan masuk ke kamar ayahnya. Andi sedang duduk termenung di depan meja tulis, di atas meja terletak foto keluarga mereka tiga tahun yang lalu. Dalam semalam, sebuah kecelakaan menghancurkan keluarganya. "Ayah." Karin menekan perasaan sedih di hatinya dan memanggil dengan santai. Andi seakan tersadar dari kenangan buruk, tubuhnya bergetar. Melihat Karin, sikapnya dengan cepat kembali normal dan bertanya, "Kalian sudah selesai bicara?" Karin tersenyum dan berkata, "Sebenarnya hanya salah paham kecil. Aku sudah minta maaf pada Bibi Novia. Tenang saja, Bibi Novia sudah berjanji akan merawatmu dengan baik, kita akan melewati masa sulit ini bersama." Andi merasa lega dan menepuk tangan putrinya. "Kamu juga harus merawat dirimu sendiri. Ayah tahu kamu juga sedih, jangan terlalu terbebani. Kalau memang nggak ada jalan keluar, kita jual saja rumah ini. Bagi Ayah, kamu selalu yang paling penting." Hidung Karin terasa sangat pedih, air matanya hampir tidak tertahan tapi berhasil ditahannya. "Ayah, tenang saja, aku baik-baik saja." Dia takut Andi melihat keanehan pada dirinya, buru-buru dia mencari alasan untuk pergi. Andi duduk di depan meja belajar, dengan bengong mengambil bingkai foto di sana, dalam foto tersebut terlihat sebuah keluarga tersenyum manis ... Setelah menatapnya cukup lama, dia menutup matanya, setetes air mata mengalir dari sudut matanya ... "Karin, Ayah merasa bersalah padamu ... " batin Andi. Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa dia katakan, juga tidak berani mengatakannya ...

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.