Bab 2
Anna harus menerima banyak hinaan sebagai pihak yang disalahkan.
Ivan makin berisik setiap malam.
Awalnya, pria itu hanya akan melakukannya di dalam kamar. Tapi setelah itu bahkan berani melakukannya di ruang tamu serta koridor.
Hasrat Ivan sangat membara, sementara Gina tidak sanggup lagi. Dia menggigit bibir keras-keras, tapi desahan itu selalu lolos dari bibirnya.
Anna sendiri mengurung diri dalam kamar sambil menutup rapat kedua telinga. Sayangnya, Ivan sama sekali tidak membiarkan kamar ini jadi tempat aman baginya.
Pria itu menerobos masuk kamar sambil memeluk Gina yang bajunya sudah compang-camping. Ivan terlihat mengulas senyum menyeringai yang terkesan merendahkan.
"Kalau mau melayani orang, harus belajar cari tahu dulu bagaimana caranya."
Melayani yang Ivan maksud di sini termasuk menata kamar, menyajikan teh serta air sebelum atau saat majikannya sedang "bergelut", serta membereskan kekacauan setelahnya.
Anna makin terdiam. Tapi dia juga tidak menolak sama sekali. Dia menunduk dan menyelesaikan semua tugasnya dalam diam, seperti robot yang tidak punya perasaan.
Dirinya seperti sudah tidak peduli lagi pada Ivan, dan semua itu demi Keluarga Roslan.
Dia seolah sudah tidak peduli lagi Ivan mau tidur dengan wanita lain, atau bahkan jatuh cinta dengan yang lain.
Ivan mengerutkan keningnya saat memikirkan hal itu.
Setelah membuat Anna diam-diam harus menyerahkan kamarnya, Ivan tidak tahan dan malah mendorongnya ke sudut dinding.
"Kenapa kamu rela merendah begini demi Keluarga Roslan?"
"Atau sebenarnya kamu begini demi kakakmu yang sudah meninggal itu?"
"Atau malah, kamu memang dari awal nggak pernah mencintaiku?"
Anna tidak bisa kabur ke mana-mana lagi. Napasnya terasa makin sesak, kepalanya pusing.
Dia tidak tahu kenapa Ivan harus membawa-bawa kakaknya dalam hal ini.
Tapi Anna juga tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Dia hanya tahu kalau Riki harus tetap hidup dan meneruskan nama Keluarga Roslan. Agar nyawa Riki bisa selamat, dia harus punya adik. Di mana adiknya kelak juga harus diakui sebagai anak mendiang kakaknya agar bisa menyandang nama Keluarga Roslan.
Diamnya Anna malah menjadi sebilah pedang tajam yang menancap dalam hati Ivan.
Ivan pun melepaskan cengkeramannya pada tangan wanita itu. Dia lalu mundur sambil tersenyum. Kedua matanya makin merah saat dia tertawa miris.
"Anna, karena kamu sendiri yang mau jadi anak berbakti untuk Keluarga Roslan, akan kubantu mewujudkannya."
Usai bicara begitu, dia menarik Anna lagi dan memaksa wanita itu masuk ke mobil.
Di tengah perjalanan, Ivan mendapatkan telepon dari seseorang. Orang yang ada di seberang telepon seperti sedang berada dalam sebuah pesta. Ivan menjawab singkat telepon tersebut, lalu menutupnya sambil tersenyum sinis. "Istriku yang terhormat, malam ini kamu harus menggantikanku minum di pesta itu. Soalnya kalau sampai aku harus minum miras, aku nggak bisa jamin anak itu nanti bisa sehat."
Anna hanya diam, tapi dadanya terasa pedih. Jantungnya seolah berhenti berdetak untuk sesaat.
Sebenarnya, dia tidak kuat minum alkohol.
Dulu dia pernah menemani Ivan menghadiri beberapa pesta dengan rekan bisnis. Tapi baru minum tiga gelas saja perutnya seperti diaduk-aduk sampai mual.
Waktu itu Ivan sampai cemas dan terus menjaganya penuh perhatian. Sejak saat itu, Ivan juga melarangnya minum alkohol meski sedikit.
Tapi sekarang ...
Mobil terus melaju kencang saat Anna sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di area parkir tempat pesta digelar.
Ivan memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Setiap kali ada yang mengajaknya bersulang, dia selalu menyuruh Anna menggantikannya minum.
"Minum. Ingat, aku masih punya tugas malam ini."
Napas Anna tercekat. Dia mengangkat gelas dan menenggaknya dalam sekali teguk.
Para tamu di sana langsung sadar kalau ini bisa jadi jalan untuk menyenangkan Ivan. Mereka berbondong-bondong mengelilingi Anna sambil bawa gelas. Mereka berlomba-lomba mengajaknya bersulang.
Anna menoleh ke arah Ivan. Pria itu malah tersenyum kecil. Dia terlihat sangat santai.
Anna tersenyum pahit. Dia sadar sudah tidak bisa berharap lagi pada pria itu. Jadi, dia menerima semua ajakan bersulang dari orang-orang.
Tidak lama kemudian, perutnya terasa seperti terbakar.
Dia meminta maaf dengan suara lirih, lalu nyaris terjatuh waktu mau keluar ruang VIP. Dia akhirnya berjongkok di samping tong sampah dan muntah-muntah.
Dia muntah-muntah sampai kehabisan tenaga dan terjatuh lemas di lantai.
Tiba-tiba, bayangan seseorang muncul di depannya.
Dia mendongak dengan canggung, dan melihat Ivan menatapnya dari atas. Tatapan pria itu begitu dingin.
Pria itu bertanya, "Sudah nggak kuat? Baru juga babak pertama."
Anna hanya bisa memegangi perutnya mendengar ucapan barusan. Dia berusaha mempertahankan kesadarannya, lalu berjalan masuk kembali ke ruangan dengan sedikit gontai.
Ekspresi Ivan seketika berubah kelam. Kedua matanya dipenuhi amarah. Dia lalu mencengkeram erat tangan Anna.
"Wah, ternyata kamu sampai rela mengorbankan nyawamu demi kakakmu dan Keluarga Roslan, ya?"
Sudah dua kali Ivan menyebut soal Rian. Anna tidak tahu apa maksud pria ini. Tapi dia juga sudah tidak punya tenaga untuk membantah. Sakit perutnya makin menjadi, rasanya seperti disayat dari dalam. Kedua matanya mulai berkunang-kunang dan nyaris pingsan.
Ivan sendiri diam, raut wajahnya masih terlihat marah. Tapi detik berikutnya, dia malah tiba-tiba mengendong Anna di depan, lalu memasukkannya ke mobil dengan ekspresi dingin.
Dia menarik sabuk pengaman Anna dan membantu memasangkannya dengan geram. Suaranya terdengar menahan amarah saat berbisik di telinga wanita itu, "Jangan mati dulu sebelum melihat cucu kedua Keluarga Roslan."
Mobil kemudian segera melaju kencang ke rumah sakit.
Saat baru sampai jalan tol, Gina malah menelepon.