Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Suara ragu-ragu sekaligus hati-hati itu terdengar dari seberang telepon. [Hari ini hari ovulasiku. Peluang untuk hamil sangat tinggi. Kalau harus ditunda sebulan lagi, takutnya waktunya nggak pas.] Anna terdiam mematung untuk sesaat. Kedua matanya tiba-tiba terasa perih. Dia berusaha menggigit bibir agar tidak menangis. Dia meminta Ivan menghentikan mobil, "Ayo pulang saja." Ciitt ... Suara decitan rem terdengar melengking di telinga. Ivan sendiri sudah menoleh menatap Anna dengan tatapan tidak percaya. "Kondisimu sudah begini, tapi tetap saja menomorsatukan Keluarga Roslan." "Anna! Sebenarnya kamu menganggapku apa?" Ivan tidak lagi bisa melanjutkan kalimatnya. Ekspresi wajahnya sudah tampak kelam dan penuh emosi. Dia menekan Anna di kursi lalu menciumnya kasar. "Plak!" Suara tamparan keras membuat kegilaan pria itu terhenti seketika. Ivan mengusap pipinya yang memerah sambil tertawa keras. Kemudian, dia membuka pintu mobil dan mendorong Anna keluar. Dia lalu menyalakan mobil dan pergi meninggalkan wanita itu begitu saja. Debu-debu beterbangan, Anna tidak sanggup berdiri dan terjatuh lemas. Beberapa saat kemudian, dia baru tersadar kalau tasnya tertinggal dalam mobil Ivan. Sayangnya, mobil pria itu sudah pergi jauh. Anna tidak punya pilihan lain selain berjalan di tepian jalan sampai ke gerbang keluar tol berikutnya. Kebetulan, waktu itu sedang jam pulang kerja. Ada banyak kendaraan berlalu-lalang. Sesekali, ada pengemudi yang mengerem mendadak, lalu membuka jendela dan memaki. Mereka terlihat marah seolah mau menelan Anna hidup-hidup. Anna akhirnya bisa keluar dari jalan tol dengan susah payah. Namun, karena tidak punya uang ataupun ponsel, dia hanya bisa terus berjalan kaki. Angin malam terasa makin dingin menusuk tulang. Dia sudah menggigil kedinginan, tapi hujan malah tiba-tiba turun. Anna memaksakan diri untuk berlari. Tapi malah jatuh terpeleset sampai tersungkur. Lututnya perih saat terkena hujan. Rasa sakitnya seolah menembus ke tulang. Anna baru tiba di rumah saat sudah larut malam. Dia kembali dalam kondisi memalukan. Lampu rumah masih menyala. Ivan duduk di sofa dekat jendela. Saat melihat kondisi Anna sekarang, dia lumayan kaget. Tapi kemudian terlihat biasa saja. "Kenapa baru pulang? Nggak sanggup melihatku bercinta dengan kakak iparmu, ya? Atau kamu malas melayani kakak iparmu?" Ruangan ini seolah masih menyimpan aroma khas habis dipakai bercinta. Kedua tangan Anna terkepal tanpa sadar. Pria di depannya ini sedang menatapnya dengan tatapan mengejek, lalu menunjuk ke dapur. "Kakak iparmu sudah bekerja keras hari ini. Cepat ke dapur dan buatkan dia semangkuk bubur ayam." Hanya ada mereka bertiga di rumah. Orang tua Anna sudah mengusir semua pelayan dari rumah demi menjaga nama baik keluarga. Sejak saat itu pula Anna terpaksa belajar mengurus semua pekerjaan rumah sendirian. Hari ini dia baru minum-minum, ditambah tadi kehujanan. Tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga. Baru beberapa langkah masuk dapur, kedua kakinya seolah hilang tenaga dan dia akhirnya jatuh terduduk di lantai. Saat Ivan baru menginjak lantai dua, pria itu menoleh dan menatap sinis Anna. "Ini pilihanmu sendiri, jangan pura-pura lemah. Aku nggak mau menunggu kelamaan untuk semangkok bubur ayam." Di bawah sorot lampu kuning yang temaram, sorot mata Ivan terlihat sulit dibaca. Anna tersenyum pahit. Dia menunduk dan istirahat sejenak, sebelum akhirnya memaksakan diri untuk merangkak pelan ke dapur. Segera setelah itu, aroma bubur yang mendidih di dalam panci pun mulai tercium. Dia mengaduk pelan bubur itu dengan gerakan yang lihai. Dia seolah bisa melihat dirinya dulu dalam kepulan uap panas bubur ini. Dulu Ivan memperlakukannya bagaikan permata. Ivan melarangnya masuk dapur untuk memasak. Pria itu bilang kalau Anna pantasnya menjalani hidup mewah dan menikmati hujan perhatian darinya. Tapi segalanya telah berubah. Semua ini merupakan balasan yang harus Anna terima. Sudut matanya kembali berair tanpa sadar. Entah karena uap panas bubur atau air mata. Anna membawa bubur itu ke lantai dua dengan susah payah. Dia berdiri di depan pintu saat pintu itu tiba-tiba terbuka dari dalam. Gina berteriak kaget sambil berjalan mundur. Dia nyaris saja bertabrakan dengan Anna. Bubur panas itu pun tumpah dan mengenai Anna. "Aduh!" Anna menjerit kesakitan. Selain pahanya yang memerah, sakit perutnya yang tadi sudah mereda malah datang lagi. Napasnya makin tercekat, pandangannya mulai kabur. Ivan akhirnya keluar kamar. Dia kaget melihat pemandangan di depannya. Dia melangkah mendekati Anna tanpa sadar. Tepat saat itu, raut wajah Gina di sampingnya juga tampak berubah drastis. "Aduh ... perutku sakit banget ... " Keluhan wanita itu membuat Ivan menghentikan langkahnya. Dia menatap Anna dan Gina bergantian, terlihat ragu mau menghampiri siapa. Akhirnya, dia memutuskan menggendong Gina lalu bergegas pergi secepat kilat. Anna yang masih ada di sana sudah tidak sanggup lagi mengaduh kesakitan. Dia mencengkeram erat pegangan tangga. Sekujur tubuhnya terasa menggigil.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.