Bab 4
Entah sudah berapa lam berlalu, Anna samar-samar mendengar suara ambulans.
Antara sadar dan tidak sadar, dia seperti kembali ke masa lalu ...
Sebagai anak angkat Keluarga Roslan. Anna selalu berhati-hati saat bersikap. Dia juga tidak pernah diistimewakan.
Sampai akhirnya dia bertemu dengan Ivan.
Dulu, Ivan berlutut satu kaki saat melamarnya. Pria itu mengatakan akan selalu melindungi dan mencintai Anna tanpa syarat. Baik dalam keadaan susah atau senang, kaya atau miskin, dia akan tetap memilih Anna.
Namun, tadi pria itu malah terlihat ragu-ragu, dan akhirnya memilih wanita lain.
Janji suci yang dulu seolah sirna ditiup angin. Jantung Anna kembali ngilu hingga membuatnya sesak napas.
Saat siuman, dia mencium aroma disinfektan di seisi ruangan. Lampu putih di atas kepalanya terasa menyilaukan mata.
Kamar rumah sakit ini terasa sunyi dan dingin. Dinding putih di sini sama pucatnya dengan wajah Anna sekarang.
Setiap kali dia menarik napas, rasa terbakar di perut dan panas di pahanya makin terasa menyiksa.
Para perawat di luar ruangan sibuk bergosip, tidak ada satu pun yang masuk untuk memeriksa kondisinya.
"Apa kamu dengar, Pak Ivan ke rumah sakit sambil menggendong menantu tertua Keluarga Roslan. Dia terlihat sangat cemas dan masih menemani wanita itu sampai sekarang."
"Astaga, padahal istri sah Pak Ivan juga sedang dirawat di sini. Dia terluka parah, tapi suaminya malah nggak menjenguknya sama sekali ... "
"Mungkin Pak Ivan cuma terlalu mencemaskan iparnya saja. Bagaimanapun juga, Bu Gina kan sedang mengandung anak mendiang Pak Rian. Pak Ivan pasti lebih perhatian ke Bu Gina karena menghormatinya."
"Kamu percaya? Heh."
Anna refleks mengepalkan kedua tangannya. Telinganya berdengung mendengar obrolan mereka.
Kakak iparnya benar-benar hamil?
Anna tidak tahu harus tertawa atau menangis saat mendengarnya.
Haruskah dia bersyukur karena keponakannya akhirnya akan bisa diselamatkan? Atau, apakah dia seharusnya lega karena tugas suaminya sekarang sudah berakhir?
Anna tertawa sambil berlinang air mata. Tangisnya terus turun membasahi pipi.
Merasakan tangisnya membasahi pipi, dia pun mengulurkan tangan untuk mengusapnya. Tapi tiba-tiba telapak tangannya terasa perih.
Rupanya, telapak tangannya sudah berdarah-darah tertusuk kuku. Dia terlalu mengepalkan kedua tangan dengan erat barusan.
Setelah berlalu lumayan lama, kesadaran Anna akhirnya sudah benar-benar terkumpul. Dia berpegangan pada tembok untuk berjalan ke kamar rawat Gina.
Dari jauh dia bisa mendengar tawa anak kecil.
Riki sedang bermanja-manja dengan Ivan dan Gina di ruang rawat VIP. Kedua tangan mungil anak itu masing-masing menggenggam satu tangan mereka, lalu memaksa mereka berpegangan tangan.
"Ibu, mau nanti adiknya laki-laki atau perempuan, Ibu tetap harus sayang padaku, ya."
"Paman, boleh nggak aku memanggilmu Ayah kalau nggak ada orang lain?"
Kedua mata bulat Riki menatap dengan tatapan polos yang tulus, membuat Ivan jadi luluh.
Gina kesal tapi tetap senyum. Dia lalu mencolek hidung Riki. Tapi anak itu segera menghindar dan meringkuk ke pelukan Ivan sambil tertawa.
Ivan sempat mematung sesaat. Tapi kemudian dia tersenyum dan balas memeluk Riki.
Mereka bertiga terlihat seperti satu keluarga bahagia.
Anna berdiri terdiam di tempatnya. Hatinya terasa kosong seperti baru saja kehilangan sesuatu.
Entah sejak kapan, Ivan sudah menatapnya dengan tatapan sinis. Mereka berdua akhirnya saling bertatapan.
Suasana mendadak hening. Ivan menyipitkan mata, lalu tersenyum menyeringai sambil sengaja memeluk Gina.
Anna hanya diam. Dia ikut tersenyum meski sedih. Dia lalu berbalik pergi.
Dia tahu, ada beberapa hal yang jelas tidak akan kembali seperti dulu.
Dia berjalan tertatih ke atap gedung. Dadanya terus dipenuhi perasaan gelisah yang menyesakkan. Dia butuh udara segar untuk menenangkan diri.
Namun, baru sebentar berdiri di atap, terdengar suara pintu dibuka dari belakang.
Riki mengintip dari balik pintu, lalu memanggilnya pelan, "Bibi."
Kedua mata Anna sontak berkaca-kaca.
Dia belum punya anak selama bertahun-tahun. Makanya dia sangat sayang pada Riki.
Hatinya selalu luluh setiap kali mendengar panggilan manja dari anak itu.
Namun, kali ini Riki memegang lengan bajunya sambil mendongak dan menatapnya penuh harap. "Bibi, bisakah kamu mengembalikan Ayah padaku?"
"Kalian nggak perlu menyembunyikannya lagi dariku. Aku kan sebenarnya anak Paman. Aku juga nggak mau adikku terlahir nggak punya ayah."
Ucapan Riki ibarat pisau yang menikam dada Anna, sakitnya luar biasa.
Dia tidak pernah menyangka, anak kecil yang selama ini dia sayang dan rawat bertahun-tahun, malah akan jadi orang pertama yang merebut pria terkasihnya.
Riki mulai panik dan terbatuk hebat karena tidak kunjung dapat jawaban.
Badan mungilnya memerah karena sulit bernapas. Tangan dan kakinya gemetaran. Lengannya juga terlihat sangat rapuh.
Meski begitu, Riki masih menatap Anna penuh harap. Napas anak itu makin memburu, kelopak matanya mulai memutih.
Tanpa menunggu lagi, Anna langsung mengatakan, "Ya, baiklah."
Kemudian, pintu atap tiba-tiba terbuka lagi.
Ivan terlihat datang.
Entah sudah berapa lama dia mendengar percakapan mereka.
Dia dan Anna saling pandang. Pandangan mereka seolah menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Mereka berdiri diam, sampai akhirnya tangis Riki memecah keheningan.
Anak itu menatap Ivan dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Dia lalu mengulurkan tangan. "Ayah, aku sakit banget ... "