Bab 8
Di hari yang sama, Nadine dibawa paksa ke tempat yang disebut sebagai "klinik psikolog", dalam keadaan terikat.
Begitu tiba di sana, barulah dia sadar orang yang Celine maksud itu sama sekali bukan psikolog.
Pria itu hanyalah seorang bajingan yang dibayar untuk melakukan pekerjaan kotor.
Minggu selanjutnya menjadi neraka bagi Nadine.
Pria itu tampak jelas sudah sangat terbiasa melakukan hal-hal seperti ini. Dia memberinya obat, menyetrumnya, menggunakan berbagai cara kejam. Semua perlakuannya begitu sadis, namun dilakukan dengan sangat rapi, tanpa meninggalkan bekas luka di tubuh, agar tak seorang pun bisa mengetahui.
Selama satu minggu penuh, Nadine terus-menerus mengalami siklus yang sama. Dia pingsan karena obat, lalu terbangun dalam rasa sakit, kemudian kembali tak sadarkan diri lagi. Begitu berulang sampai dia hampir kehilangan kewarasannya.
Saat Nadine merasa dirinya benar-benar akan hancur, Gian akhirnya datang menjemputnya.
Ketika dia dilepaskan hari itu, tubuhnya sudah lemah sampai dia hampir tidak sanggup berdiri.
Gian sudah menunggunya di depan pintu.
Melihat wajah Nadine yang pucat, dia mengerutkan kening dan bertanya, "Kenapa wajahmu pucat sekali?"
Beberapa hari tak terlihat, wajah Nadine sudah jauh mengurus, pipinya cekung, dan kulitnya sangat pucat. Meski begitu, tubuhnya tidak menunjukkan luka yang jelas.
Nadine tidak menjawab apa pun. Dia hanya berdiri diam dan patuh seperti boneka tanpa jiwa.
Entah kenapa pemandangan itu membuat dada Gian terasa sesak.
"Paling juga dia pura-pura biar kamu kasihan." Celine turun dari mobil sambil tersenyum samar.
Gian mengernyit, tampak ingin mengatakan sesuatu, namun ponselnya bergetar. Melihat isi pesan itu, dia teringat ada hal lain yang lebih penting.
"Malam ini ulang tahun Celine. Bersiap-siaplah, dan ikut aku ke sana."
Tanpa menunggu jawaban, dia langsung menarik Nadine masuk ke mobil.
Nadine tidak berusaha melawan lagi.
Waktunya sudah tiba. Semua rencana sudah berjalan.
Ibu dan kakaknya pasti sudah dipindahkan oleh ayah Gian, dan yang tersisa hanyalah langkah terakhir yaitu menyelesaikan semuanya.
Malam itu, Nadine muncul di pesta ulang tahun Celine yang diadakan di atas kapal pesiar.
Begitu dia tiba, dia langsung dihentikan oleh Celine di tangga.
"Kenapa kamu belum mati juga? Padahal aku sudah suruh 'dokter' itu menaikkan voltase waktu menyetrum kamu. Atau jarumnya sudah kedaluwarsa, ya?"
Celine mendekat dengan senyum penuh kejahatan. "Sebelumnya kamu marah kalau aku mau menyuntik ibumu, 'kan? Nah, sekarang jarum itu masuk ke tubuh kamu sendiri. Bagaimana rasanya? Orang yang pernah mengalaminya bilang tubuh mereka terasa seperti dirayapi ribuan semut dan disengat ribuan lebah. Itu juga yang sedang kamu rasakan, 'kan?"
Nada suaranya penuh kepuasan dan kegembiraan yang tak bisa ditahan.
Nadine tidak menggubris ejekan Celine. Dia hanya menunduk dan menyelesaikan balasan pesannya untuk ayah Gian.
[Jalankan rencana kematian palsu malam ini. Ikuti saja apa yang sudah Celine susun.]
Begitu pesannya terkirim, ponselnya langsung disambar dan dijatuhkan ke lantai.
Nadine mengangkat pandangan dan melihat Celine menatapnya dengan sikap menantang. Dia pun tersenyum tipis dan sinis.
"Celine, kamu sesenang itu, ya?"
Nadine bersandar di pagar, matanya menatap tajam, dan setiap kata yang diucapkannya menusuk ke dalam hati.
"Apa kamu yakin kamu sudah berhasil mengalahkanku? Selama ini kamu merencanakan segalanya, bahkan berani mempertaruhkan hidupmu sendiri, cuma supaya aku tersingkir dan kamu bisa naik posisi, 'kan?"
"Tapi kenyataannya apa? Apa Gian pernah benar-benar ingin menceraikanku? Oh ya, ada satu hal yang hampir lupa kubilang." Nadine mendekat sedikit dengan senyum yang semakin tajam. "Kamu tahu apa yang Gian katakan waktu menenangkanku? Dia bilang dia cuma merasa berutang budi padamu karena masa lalumu dengannya, jadi dia 'terpaksa' bersikap seakan memihakmu. Tapi hatinya? Dari awal sampai akhir tetap milikku. Dia bilang, begitu keadaanmu stabil, dia akan memintamu pergi."
Wajah Celine memucat karena marah.
Nadine terkekeh dan melanjutkan, "Gian nggak akan pernah mencintaimu. Dari kecil saja dia nggak pernah menaruh hati padamu. Sampai kapan pun, dia nggak mungkin jatuh cinta padamu."
Perkataan itu membuat Celine hilang kendali.
"Diam kamu!"
Dia menerjang maju, menjambak rambut Nadine dan mencengkeram lehernya, lalu menekan tubuh Nadine ke pagar.
Pinggang Nadine terbentur, tubuhnya tertekuk, rasa sakit membuatnya meringis.
Genggaman Celine makin erat. Nadine kesulitan bernapas, wajahnya berubah ungu, tapi dia tetap melontarkan kata-kata dengan suara lembut yang menyakitkan.
"Aku satu-satunya istri Gian. Apa kamu berani membunuhku?"
"Selama aku hidup, kamu nggak akan pernah mendapatkan Gian."
Satu-satunya istri Gian?
Kalimat itu membuat tatapan mata Celine bergetar.
Itu berarti, selama Nadine masih hidup, Celine selamanya hanya akan menjadi "teman kecil yang pernah menolong Gian", dan tak akan pernah bisa menggantikannya.
Niat jahat yang selama ini Celine pendam akhirnya meledak. Tanpa pikir panjang, dia menggunakan seluruh tenaganya dan mendorong Nadine sekuat mungkin.
"Kenapa aku harus takut membunuhmu? Ibumu, kakakmu ... bukankah dari kalian sudah ada yang cacat dan koma karena aku? Menambah satu korban lagi itu bukan apa-apa!"
"Aku dan Gian tumbuh bersama. Sejak kecil dia selalu melindungiku. Mana mungkin aku kalah dari orang luar macam kamu!"
Nadine terpental, tubuhnya melewati pagar dan terjun ke laut.
Suara benturannya hilang tertutup musik dan tawa pesta di atas kapal.
Rencananya berjalan sempurna. Nadine menutup mata dan membiarkan dirinya tenggelam ke dasar laut.
Alat pelacak di genggamannya mulai mengirim sinyal.
Dia tahu, dia berhasil.
Tak lama lagi, dia akan benar-benar meninggalkan tempat yang penuh kegelapan, intrik, dan pengkhianatan ini.