Bab 1
Kehamilan Rani kali ini sangat sulit.
Setelah susah payah melahirkan anaknya melalui operasi Caesar, dia bertekad akan merawat anak ini dengan baik seumur hidupnya.
Namun begitu keluar dari ruang operasi dan membuka mata, anak itu sudah menghilang.
Suaminya, Arman, sudah memberikannya kepada orang lain.
Sambil menahan sakit, Rani bangkit dan bertanya dengan suara gemetar, "Mana anakku? Kamu bawa ke mana anak kita?"
Melihat wajah Rani yang menahan sakit, Arman mulai kehilangan kesabaran. "Kenapa kamu bahas ini lagi? Bukankah sudah kubilang, begitu lahir, anak itu langsung kuberikan ke Mitha."
Hati Rani terasa seperti diremas.
Dengan suara gemetar, dia berteriak, "Apa aku pernah menyetujuinya?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku nggak akan memberikan anakku pada siapa pun kecuali aku mati?"
"Apa kamu anggap perkataanku seperti angin lalu saja?"
Dua hari dua malam proses persalinan telah menguras habis seluruh tenaga Rani. Kini, satu-satunya cara dia bisa tetap tegak hanyalah dengan mencengkeram pahanya erat-erat, menahan sakit demi menopang tubuhnya.
Melihat hal ini, Arman justru meninggikan suaranya. "Rani, bisakah kamu lebih mengerti? Aku sudah menjelaskan semua alasan padamu, kenapa kamu masih bertingkah aneh?"
"Keluarga Pratama bersalah pada Mitha. Sudah seharusnya kami menebusnya dengan memberinya seorang anak."
"Adikku, Seno, meninggal karena kanker. Mitha adalah tunangannya. Mana mungkin kami biarkan dia hidup sendirian seumur hidupnya?"
Sambil berbicara, Arman tampak teringat sesuatu. Nada suaranya pun sedikit melunak. Dia duduk di tepi ranjang dan mencoba menenangkan, "Aku tahu kamu sedih ... aku juga sedih."
"Tapi kita sebagai manusia harus tahu cara berterima kasih."
"Mitha tinggal di keluargaku untuk merawat orang tuaku. Dia rela nggak menikah, dan bahkan menggantikanmu menjalani peran sebagai menantu. Jadi, apa salahnya kalau kita memberinya seorang anak?"
"Rani, kita masih bisa punya banyak anak lagi. Bayi yang ini kita berikan ke Mitha sebagai bentuk ganti rugi untuknya. Aku tahu kamu bukan orang yang sempit hati."
Rani gemetar hebat karena marah.
Selain Arman, semua orang tahu alasan kenapa Mitha tidak menikah.
Tapi apakah Arman benar-benar tidak tahu?
Rani menatap pria di depannya, yang dulu begitu dikenalnya, namun kini terasa asing. Dari ujung kakinya, merambat rasa dingin yang menusuk, membuat tubuhnya gemetar.
Mereka telah berpacaran selama lima tahun dan menikah dua tahun. Seharusnya, mereka adalah dua orang yang paling saling memahami.
Namun sekarang, Rani merasa seolah tak lagi mengenalnya.
Dulu, saat Arman mengejar Rani, seluruh Seranda heboh dibuatnya.
Seorang siswi biasa dari Kota Belvina menarik perhatian Arman, pria dari keluarga terpandang setempat. Semua orang mengira Arman hanya main-main.
Tapi nyatanya, dia mengejar Rani selama dua tahun penuh. Meski ditolak berkali-kali, dia tak pernah menyerah.
Dia tahu semua minat dan hobi Rani, lalu mempelajarinya satu per satu, hanya agar mereka selalu punya banyak hal untuk dibicarakan.
Bagaimana mungkin Rani tidak tersentuh?
Karena itu, Rani menerima lamaran Arman dan ingin hidup bersamanya seumur hidup.
Demi itu, dia bahkan rela memutuskan hubungan dengan keluarganya.
Kemudian mereka berpacaran hingga menikah. Arman beralih dari seorang pelajar menjadi penerus bisnis keluarga, tetapi tetap setia padanya dan sangat memanjakannya.
Arman pernah mengatakan bahwa Rani adalah satu-satunya orang yang paling penting baginya, dan tidak ada yang boleh menyakitinya.
Hingga Seno meninggal, dan Mitha ditinggal sendiri ...
Barulah Rani menyadari betapa mudahnya Arman melanggar kata-kata itu.
Tiba-tiba, dering telepon yang nyaring memecah keheningan di antara mereka.
Arman segera menjawab panggilan itu. Setelah berbicara sebentar, dia cepat-cepat berbalik hendak pergi.
"Mitha baru pertama kali jadi ibu, jadi dia masih belum tahu cara mengurus bayi. Sekarang dia benar-benar butuh bantuan, jadi aku harus pulang dulu."
"Kalau kamu perlu sesuatu, hubungi saja Bi Wulan, biar dia yang urus semuanya."
Rani menahan sakit dari lukanya, berdiri dan menahan lengan Arman dengan suara serak mengancam. "Arman, kembalikan anak itu, kalau nggak kita cerai."
Dia pikir itu ancaman terberat yang bisa dia lontarkan.
Tapi Arman malah mengejek, meraih ponsel yang terletak di samping ranjangnya dan berkata, "Berhenti baca-baca cerita bodoh itu. Aku adalah sandaran satu-satunya untukmu. Tanpa aku, kamu bisa apa?"
"Rani, kamu tahu aku. Jangan memaksaku bertindak kasar padamu."