Bab 4
Jason menahan Monica, dan tubuh mereka berputar satu putaran di tempat.
Pria itu benar-benar tampan tanpa cela dari semua sisi, dan aura maskulinnya yang kuat langsung membuat Monica berdebar kencang.
Setelah Monica menstabilkan tubuhnya, Jason bertanya, "Bisa jalan?"
"Aku jongkok terlalu lama, jadi kakiku agak kesemutan. Sebentar lagi juga sembuh," jawab Monica.
Monica berdiri, mencoba menunggu rasa kesemutan di kakinya hilang.
Jason mengerti maksudnya. Memikirkan apa yang mereka lakukan semalam, rasa kesemutan itu mungkin bukan hanya karena Monica jongkok terlalu lama, bisa jadi karena alasan lain.
"Ehem!"
Tiba-tiba tenggorokan Jason terasa kering. Dia perlu melakukan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya.
Dengan pemikiran itu, Jason langsung menggendong Monica, dan membuat Monica kaget.
Dia hampir menjerit, dan segera meraih leher Jason.
Dia takut Jason kehabisan tenaga di tengah jalan dan menjatuhkannya. Dengan badan seberat itu, jatuh sedikit saja bisa berakibat luka serius.
"Tolong turunkan aku! Aku terlalu gemuk!"
"Nggak apa-apa, aku kuat kok," jawab Jason.
Pria ini benar-benar punya tubuh yang sempurna. Saat berpakaian terlihat ramping, tapi saat dilepas, ototnya terlihat jelas.
Selama tinggal beberapa tahun di Desa Waringin, dia selalu bekerja fisik setiap hari hingga lengan dan ototnya berkembang kuat. Sekarang, menggendong Monica yang lebih dari 100 kg pun wajahnya tetap tenang dan napasnya normal.
Jantung Monica berdetak kencang, entah karena takut, terkejut, atau justru campuran antara takut dan senang.
Sebelum masuk ke dalam buku, Monica sama sekali belum pernah punya pengalaman pacaran, jadi wajar saja kalau belum pernah digendong oleh pria. Jujur saja, Monica selalu mengidam-idamkannya momen ketika CEO tampan menggendong sang wanita seperti dalam drama-drama romantis.
Sekarang, saat digendong oleh pria tampan sungguhan, jantungnya tentu saja berdebar kencang.
Sayangnya, tubuh asli Monica agak besar, jadi pemandangannya seperti "pria tampan menggendong monster".
Awalnya dia khawatir Jason kelelahan, tapi pria itu melangkah dengan mantap, membuat rasa cemas Monica berubah menjadi rasa aman.
Dia menundukkan kepalanya dan bersandar di dada Jason, tidak peduli bagaimana hubungannya dengan tokoh wanita lain nanti.
Saat ini, yang penting adalah pria ini adalah miliknya, dan Monica memutuskan untuk menikmati momen hangat itu.
Tangan Monica yang semula memeluk leher Jason secara refleks bergerak turun, menyusuri lehernya, meraba dadanya, lalu terus ke perutnya yang berotot.
Jason menatap tangan besar yang sedang meraba-raba di dadanya, napasnya sedikit terengah, lalu berkata tegas, "Jangan bergerak sembarangan."
Wanita ini benar-benar tidak tahu situasi. Siang-siang begini malah meraba-raba.
"Ma ... maaf!"
Monica buru-buru meminta maaf dan menaruh tangannya dengan tertib.
Dia sama sekali tidak mau mengaku kalau sedang tergoda. Dia hanya terlalu gugup sehingga tangannya tidak bisa dikendalikan.
Geni tersenyum ke arah suaminya, memberi isyarat agar dia melihat pasangan muda itu. "Lihat kan, menantu kita juga tahu cara memperlakukan orang dengan lembut."
Wajah Geni penuh senyum. Andai saja dia tahu, seharusnya dia lebih dulu memberi Jason minuman khusus agar semangatnya meningkat.
Tomi mengetuk-ngetuk pipa rokoknya, tapi tidak seoptimis istrinya.
Karakter Jason memang tak perlu diragukan lagi, tapi kejadian obat semalam tetap saja kurang etis.
Dia yakin Jason pasti tidak senang. Pria mana yang tidak ingin menjaga harga dirinya? Saat ini dia memang memeluk putrinya, tapi itu hanyalah sandiwara untuk menenangkan mereka, mengingat Keluarga Hidayat masih berada di Desa Waringin, di rumah Monica.
Mungkin, Jason ingin menunggu sampai mereka sampai di kota sebelum membalas dendam.
Dalam sekejap, banyak pikiran melintas di kepala Tomi.
Kalau benar begitu, saat putrinya sudah jauh di kota, siapa yang tahu bagaimana Keluarga Hidayat akan memperlakukan Monica tanpa kehadiran mereka?
"Semoga saja begitu ... "
Suara Tomi terdengar datar, dan membuat Geni kurang puas.
Dia bergumam dalam hati. "Pria tua ini, saat putrinya dan menantunya melakukan hal baik, malah cemberut. Merusak suasana saja."
Geni kembali berbicara, "Tomi, lihat, mereka pasangan yang sangat serasi!"
Mendengar itu, ekspresi Tomi sedikit aneh. Istrinya sepertinya punya pandangan yang agak ... unik.
Memang, Monica adalah putrinya, dan sebagai ayah dia lebih memihak putrinya. Tapi melihat Monica berdiri di samping Jason, pria tampan nan sempurna ...
Tentu saja Tomi tidak bisa membohongi hatinya sendiri dengan mengatakan kalau keduanya cocok.
"Sudahlah, kamu ini, jangan banyak ngomong hal yang nggak penting. Lebih baik kamu bicara sama putri kita, suruh dia cepat-cepat punya anak dengan Jason."
Dengan adanya anak, keduanya punya ikatan lebih kuat, dan pernikahan pun jadi lebih stabil.
Di zaman sekarang, desa mana yang tidak punya wanita nakal? Apalagi Keluarga Hidayat akan pindah ke ibu kota.
Gadis seperti itu pasti akan menarik perhatian banyak orang.
Meski Tomi percaya karakter Jason, dia takut ada wanita berani yang mendekat dan merayu.
Apalagi mengingat penampilan putrinya, bagi wanita mana pun, Monica pasti akan kalah telak.
Kalau sekali dua kali godaan, mungkin Jason bisa tahan. Tapi kalau terus-menerus, apakah dia masih bisa menahan diri?
Mendengar soal punya anak, Geni terkejut. "Tomi, Monica kan gemuk sekali, kalau sampai hamil, apakah saat melahirkan aman?"
Tomi diam saja.
Muncul lagi masalah baru.
Sejak menjadi orang tua, sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk terus memikirkan anak mereka seumur hidup.
"Baiklah, soal punya anak jangan dibahas dulu sama Monica. Biarkan dia fokus. Nanti kalau sudah waktunya, baru dia pergi ke kantor catatan sipil sama Jason untuk menikah resmi."
Tomi menoleh pada Geni dan berkata begitu.
Jason menempatkan Monica dengan hati-hati di ranjang, lalu berpesan, "Hari ini istirahat saja. Kalau ada urusan rumah, biar aku yang urus."
Tanpa menunggu Monica menjawab, Jason sudah berbalik dan melangkah cepat keluar, seolah dikejar sesuatu.
Monica menatap Jason yang tampak buru-buru dan panik itu, lalu matanya menyipit.
"Ternyata Jason malu, ya!" Pikir Monica.
Bagus juga, malu jauh lebih baik daripada terus teringat malam itu. Setiap kali teringat, yang muncul hanyalah bayangan busuk tentang menaruh obat dan memaksanya ke ranjang. Benar-benar menjijikkan.
Monica menatap ke arah pria di halaman melalui jendela yang terbuka.
Jason sedang jongkok di halaman, mencuci seprai.
Dia benar-benar pria yang baik, bahkan mau mencuci seprai sendiri. Zaman sekarang, jarang sekali ada pria yang mau mengurus pekerjaan rumah.
Melihat menantunya mencuci seprai di halaman, Tomi akhirnya tersenyum.
Mungkin dia terlalu khawatir sebelumnya. Bagaimanapun, sekarang Keluarga Hidayat sudah bangkit kembali, Jason tak perlu lagi pamer di depan mereka.
Jason yang sedang mencuci seprai dengan serius, tak tahu bahwa satu gerakan sederhana yang dia lakukan itu ditafsirkan oleh mertuanya dengan berbagai macam cara.
Dia masih mencuci seprai, tapi tiba-tiba gerakannya berhenti.