Bab 2
Keesokan harinya.
Tempat parkir di depan Kantor Catatan Sipil.
Evander duduk di dalam Maybach dan tangan kirinya mengetuk setir.
"Evander, kamu dan Sherly sudah menikah setahun, sebaiknya cepat punya anak." Suara orang tua terdengar dari ponsel.
Wajah Evander tampak santai, sedikit tidak berdaya, tapi tetap sabar.
Dia berkata, "Nenek, kami masih muda, nggak perlu buru-buru. Nenek, yang perlu kamu lakukan sekarang adalah menjaga kesehatan dan Kakek ...."
"Mana bisa nggak buru-buru?" Nenek langsung menyela dan berkata, "Walaupun kakekmu sudah membaik, tapi kami sudah tua, siapa tahu kapan akan pergi."
"Nenek ...."
"Jangan alihkan pembicaraan. Aku sudah dengar gosip di luar. Kamu jangan menyakiti Sherly."
Evander terdiam beberapa saat.
Sampai neneknya mendesak, "Dengar nggak?"
Baru setelah itu Evander mengusap pelipis dan menjawab, "Tahu, Nenek."
Setelah basa-basi sebentar, Evander menutup telepon.
Jari Evander masih mengetuk setir tanpa sadar sambil menatap gedung Kantor Catatan Sipil yang tidak jauh dari situ.
Bibirnya mengatup rapat.
Dia membuka daftar pesan di ponselnya.
Jarinya mengusap foto profil florist yang disimpan dengan nama "Cintaku", lalu menggulir ke bawah dan membuka percakapan dengan Sherly.
Pesan terakhir adalah dia memberi tahu Sherly waktu dan tempat pertemuan di Kantor Catatan Sipil untuk perceraian pagi ini.
Sherly belum datang.
Evander mengerutkan alis sedikit, lalu mengirim pesan.
Evander, [Kamu di mana?]
Detik berikutnya, jendela mobil diketuk. Evander melihat wajah Sherly yang agak pucat di balik kaca.
Sherly membuka pintu dan duduk di kursi penumpang depan.
Dia sempat melirik ke arah Evander.
Pakaian Evander masih sama seperti kemarin. Itu pakaian yang Sherly pilihkan.
Selama ini, semua urusan Evander dari parfum, dasi, sampai pesanan kemeja dan jas, semuanya diatur oleh Sherly.
"Kenapa telat sekali?" tanya Evander.
Sherly menarik pandangannya.
"Nggak telat," jawabnya.
Hanya saja, dia sudah tidak seperti dulu lagi yang selalu datang lebih awal hanya karena satu kalimat pria itu.
Tangan Evander yang mengetuk setir berhenti sejenak dan menatapnya dengan alis sedikit berkerut.
Sherly terlihat agak pucat, mungkin tidak tidur nyenyak karena dia mengajukan perceraian semalam.
Tapi itu bukan hal penting.
"Barusan Nenek meneleponku," kata Evander sambil menarik pandangan dan berkata, "Urusan perceraian kita jangan sampai diketahui orang tua. Mereka sudah tua, nggak bisa terima pukulan seperti ini."
Sherly tidak langsung menjawab, hanya bertanya, Nenek bilang apa di telepon?"
"Mendesak kita segera punya anak." Evander menyipitkan mata, terlihat sedikit tidak sabar.
Lalu terjadi keheningan yang panjang.
Beberapa menit kemudian, Sherly tertawa pelan.
Evander mengepalkan tangan kirinya, menatap keluar jendela dengan diam.
Dia memang pernah membayangkan seperti apa wajah anaknya nanti dan kapan lahir.
Saat berhubungan intim dengan Sherly, Evander pernah mengusap perut wanita itu dan menggigit telinganya sambil berkata, "Sherly, kapan kamu mau punya anak untukku?"
Hanya saja ....
Lagi pula, dia juga tidak hamil.
Enam bulan lagi mereka akan menikah lagi, jadi masih belum terlambat.
Hanna hanya punya sisa waktu enam bulan.
Orang lalu-lalang di luar mobil, beberapa detik berlalu lagi.
Sherly berkata, "Aku tanya untuk terakhir kali, Evander, kamu benar-benar mau cerai denganku?"
"Mau berubah pikiran?" Kali ini Evander benar-benar marah.
Hanna masih menunggunya di rumah.
Setelah mendengar kepastian itu lagi, Sherly tidak berkata apa-apa. Dia mengeluarkan selembar dokumen dan menyerahkannya pada Evander.
Evander mengerutkan alis dan menerima dokumen itu. Itu adalah perjanjian pembagian harta.
"Kalau mau cerai, lebih baik semuanya jelas."
Sherly berkata, "Dari semua milik Keluarga Stelle, aku hanya ambil bagian yang seharusnya milikku."
"Selama masa mediasi perceraian, penghasilan masing-masing tetap milik sendiri."
Saat bicara, Sherly menaruh pena di samping.
"Kalau nggak ada masalah, tanda tangan saja," kata Sherly.
Semakin lama membaca, semakin dalam kerutan di dahi Evander.
Isi perjanjian itu sederhana dan jelas. Sherly memang tidak minta apa-apa dan di bagiannya sudah tertera tanda tangan Sherly.
Evander tidak mengerti maksudnya.
Ini hanya perceraian palsu, kenapa perlu dokumen perjanjian ini?
Hanna hanya punya waktu enam bulan lagi.
Evander hanya ingin menemani Hanna di sisa waktu itu. Dia masih seperti dulu, tetap bersamanya di bawah pengawasan kakek dan nenek.
Dalam pikiran Evander, Sherly tidak bisa lepas darinya.
Batasan Sherly sangat rendah.
Evander pernah membencinya, bahkan sengaja menyuruhnya melakukan hal-hal yang membuatnya kehilangan harga diri.
Sherly tidak pernah menolak.
Bahkan pada akhirnya, Sherly akan membawa hasil itu dan berjalan ke hadapannya masih dan berkata padanya sambil tersenyum manis, "Evander, lihat, aku bisa melakukannya. Hebat, 'kan?"
Sherly adalah istri yang sangat patuh. Selama tujuh tahun, Evander sudah membuktikan itu berkali-kali.
Kalau tidak ada Hanna, mungkin pernikahan mereka akan terus berjalan tenang seperti ini.
Tapi ....
Yang muncul di pikirannya adalah wajah malang dan keras kepala Hanna saat muntah darah. Evander sangat sedih sampai dadanya terasa sesak.
Evander melirik kaca jendela di samping.
Yang terpantul di sana adalah wajah Sherly yang datar dan tanpa ekspresi.
Apakah Sherly ingin mengancamnya?
Terlebih lagi dia pernah memalsukan beberapa pesan untuk memfitnah Hanna.
Sherly membenci Hanna.
Huh ....
Evander mengambil pena.
Dia menandatangani kolom bagiannya.
Tidak ada yang bisa mengancamnya!
Itu dokumen rangkap dua.
Sherly mengambil dokumen miliknya sendiri.
Kemudian ....
Turun dari mobil.
Ambil nomor antrean.
Serahkan dokumen.
Isi formulir permohonan perceraian.
Keduanya menyimpan tanda terima dan mereka akan kembali lagi setelah masa mediasi berakhir untuk mengambil surat cerai resmi.
Setelah semua proses selesai, keduanya melangkah keluar dari Kantor Catatan Sipil.
Matahari sudah tinggi.
Cahaya mentari hangat menyinari tubuh Sherly.
Evander menatap orang-orang yang datang dan pergi.
Orang yang datang untuk menikah dan yang datang untuk bercerai, bisa terlihat jelas.
Sepasang suami istri keluar sambil bergandengan tangan.
Wajah sang wanita dipenuhi senyum bahagia.
Evander tiba-tiba teringat setahun lalu, ketika datang ke tempat ini untuk mendaftarkan pernikahan, Sherly juga tersenyum seperti itu.
Evander menatap sekilas ke arah Sherly.
Wajahnya tetap tenang, tanpa ekspresi.
"Selama masa mediasi perceraian ini, aku tetap akan kirim uang untukmu," katanya Evander. "Jangan beri tahu Kakek dan Nenek soal perceraian ini."
Setelah berkata begitu, dia langsung pergi tanpa menunggu jawaban.
Sherly menatap mobilnya sampai menghilang di tikungan jalan.
Tak lama kemudian, taksi yang dia pesan sudah datang.
Dua mobil melaju ke arah yang berlawanan.
Satu menuju Studio Bunga Hanna.
Satunya lagi menuju Rumah Sakit Algora.
Evander membuka pintu studio bunga dan Hanna tersenyum saat melihatnya.
Evander mengeluarkan tanda terima perceraian dan berkata pada Hanna, "Sudah beres. Dia nggak membuat keributan."
Sementara itu, Sherly menggenggam nomor antrean dan melangkah masuk ke ruang spesialis kandungan.
Dia duduk di depan dokter.
Dokter menutup tirai.
"Sherly, kamu benar-benar ingin menggugurkan anak in?"
Dokter yang juga sahabatnya, Casie Linara, bertanya khawatir, "Bukankah sebelumnya kamu sangat ingin hamil? Kamu bahkan sampai memintaku memperbaiki kondisi tubuhmu."
Sherly meletakkan tanda terima cerai di atas meja.
"Ya," kata Sherly dengan tenang. "Gugurkan saja. Aku nggak mau lagi."