Bab 227
Windi mengabaikan amarahnya, nada suaranya tenang. "Pak Sandi, tentu saja aku nggak pantas di matamu. Sekarang, selain tubuh ini, aku juga nggak punya sesuatu yang berharga."
Memprovokasi pria ini?
Wanita ini benar-benar mengira Sandi tidak berani menyentuhnya?
"Apa kamu sebegitu merendahkan dirimu sendiri?" Suara Sandi dingin, tanpa sedikit pun kehangatan.
Windi malah tersenyum. Senyumnya cerah, bahkan mengandung sedikit tantangan.
"Aku bertaruh, kamu akan marah." Suara Windi lembut, tetapi jelas terdengar setiap kata. "Akui saja, Sandi, kamu menyukaiku."
Kalimat itu, seperti jarum, menusuk keras ke dalam hati Sandi.
Api amarah di matanya membakar makin hebat.
Detik berikutnya, dia tiba-tiba menekan Windi ke sofa di belakang. Sebelum wanita itu sempat bereaksi, dia menunduk, dan menggigit keras bibirnya.
Itu bukan ciuman!
Gigitan itu membawa hukuman, membawa amarah, juga membawa sedikit kehilangan kendali yang bahkan tidak disadari Sandi.
Rasa darah menyebar di mulut keduanya, bibir W

Klik untuk menyalin tautan
Unduh aplikasi Webfic untuk membuka konten yang lebih menarik
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda
Nyalakan kamera ponsel untuk memindai, atau salin tautan dan buka di browser seluler Anda