Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 13

Welton memberi Nadine daftar tugas untuk beberapa hari ke depan, lengkap dengan tenggat waktunya. Beban kerjanya sangat banyak, bahkan untuk karyawan tetap sekalipun, itu pekerjaan berat. Gavin Wijaksono adalah kakak kelas di Universitas Trevora yang tiga angkatan di atas Nadine. Dia diam-diam berkata pada Nadine setelah semua orang pergi, "Nadine, apakah kamu nggak merasa Pak Welton sepertinya sengaja menyulitkanmu?" Nadine memang sadar, tapi dia bertanya balik, "Karena aku masih pegawai magang, jadi takut aku akan merusak reputasi tim proyek?" Gavin menggeleng dan berkata sangat pelan, "Soalnya salah satu pegawai magang di firma hukum kita adalah pacar Pak Welton. Tadinya dia mau pacarnya yang masuk tim proyek, tapi bos besar malah menunjukmu!" Nadine langsung paham. Oh, jadi Pak Welton mau balas dendam pribadi! "Nadine, kalau ada yang nggak mengerti atau butuh bantuan, tanya saja padaku. Aku pasti akan membantumu!" Gavin menepuk dadanya, terlihat sangat tulus. Nadine tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Proyek akuisisi Grup Perusahaan Multi Media melibatkan dua grup besar, sementara pihak yang diakuisisi juga punya beberapa anak perusahaan. Tugas yang diberikan Welton pada Nadine sebenarnya tidak sulit, tapi karena dia baru bergabung dengan proyek ini, dia butuh waktu untuk mempelajari semua datanya. Awal memang selalu yang paling susah, tapi Nadine tetap berpikiran positif. ... Siang hari. Biasanya, Arvin selalu makan siang dengan katering khusus yang dikirim ke ruang kantornya di lantai paling atas. Tapi hari ini, entah kenapa, dia justru muncul di kantin bersama beberapa eksekutif tingkat tinggi sehingga langsung membuat kehebohan. Welton dan tim firma hukumnya duduk di dekat pintu masuk kantin. Begitu menoleh, dia langsung melihat Arvin. "Pak Arvin, Pak Roni, Pak Bruno ...." Welton segera berdiri dan menyapa pihak klien dengan sopan. Kepala divisi hukum berbasa-basi dengan Pak Welton. Arvin tidak bicara, matanya menyapu sekilas ke arah anggota tim hukum, lalu keningnya sedikit berkerut. "Pak Welton, sepertinya tim kalian nggak hanya orang-orang ini, 'kan?" tanya Dion yang berjalan di belakang Arvin. "Hah? Seluruh tim kami sudah ada di sini. Makanan kantin perusahaan kalian enak sekali, jadi kami semangat makan!" "Seingatku di tim kalian masih ada seorang gadis bernama Nadine, tadi pagi saat rapat dia sempat menyerahkan dokumen pada Pak Arvin." Welton tidak menyangka detail sekecil itu juga akan diperhatikan. Dalam hati dia langsung menggerutu kalau Nadine benar-benar pembawa masalah! Dia berkata sambil tersenyum, "Oh, maksud Anda Nadine, ya? Dia masih ada beberapa pekerjaan mendesak yang harus diselesaikan dulu. Anda tahu sendiri, ritme kerja di firma kami cukup cepat." Dion langsung mengernyit dan berkata dalam hati, Nyonya bahkan tidak pernah kelaparan di Enland yang makanannya kurang bervariasi. Tapi malah tidak bisa makan di perusahaannya sendiri. Keterlaluan sekali! Dia sengaja berkata, "Pak Welton, kerja memang penting, tapi kesehatan lebih penting dan tetap harus makan. Lagi pula kami kasih waktu yang cukup longgar buat tim proyek kalian, 'kan?" Beberapa eksekutif Grup Gupta saling berpandangan dengan heran. Kenapa Pak Dion malah peduli sekali dengan pegawai magang mereka? Jangan-jangan ... itu perintah dari Pak Arvin? Welton langsung berkeringat, "Betul, betul! Perusahaan kalian memang nggak kasih tekanan pada kami. Tapi orang-orang di firma hukum kami memang begitu, terbiasa menuntut diri tinggi." Dion melirik ekspresi Arvin. Wajahnya tetap datar, sulit dibaca, tapi bibir yang sedikit mengatup menunjukkan suasana hatinya. Dia tidak senang. Welton segera menangkap sinyal halus kalau pihak klien sangat memperhatikan Nadine. Keesokan harinya, dia menyuruh Nadine mengantarkan dokumen ke kepala divisi hukum, untuk mencari muka sedikit. Kepala divisi hukum juga orang yang cerdik. Dia teringat sikap aneh Pak Arvin dan Pak Dion kemarin, jadi setelah menandatangani dokumen, dia berkata, "Bu Nadine, dokumen ini sudah aku cek, nggak ada masalah. Tapi masih perlu diperiksa oleh Pak Arvin. Tolong antarkan langsung ke kantor CEO." Nadine sebenarnya mau menolak, mulutnya dibuka, tapi setelah berpikir beberapa detik, akhirnya setuju. Dia takut dikomplain klien! Beberapa menit setelah Nadine keluar dari ruang kepala divisi hukum, pria itu baru sadar. Dia sepertinya belum memberi tahu gadis itu di mana letak kantor CEO, bukan? Kepala divisi hukum menelepon Dion untuk menjelaskannya. "Oh, nggak apa-apa. Aku sudah melihatnya." Dion kebetulan melihat lift menuju kantor CEO terbuka dan Nadine keluar sambil membawa map dokumen. "Ah, baguslah!" Setelah menutup telepon, kepala divisi hukum baru tersadar. Aneh! Dia tidak memberitahunya di mana letak Kantor CEO, kenapa gadis itu bisa menemukannya? Bagaimana dia bisa menemukannya? Satu-satunya tempat yang cukup familier bagi Nadine di gedung Grup Gupta adalah kantor CEO. "Nyonya!" Dion segera menyambutnya. Nadine segera melirik sekitar, untung tidak ada orang lain, "Pak Dion, ini tempat kerja. Tolong panggil aku sesuai jabatanku." "Kalau boleh tahu, apa jabatan Anda sekarang apa?" Dion bertanya dengan hati-hati. "Nggak ada jabatan. Panggil saja aku Nadine." Pokoknya jangan panggil nyonya, panggil apa saja boleh. Dion mana berani asal panggil dan akhirnya berkata, "Bu Nadine, Anda nggak makan siang ya? Apa kantinnya nggak enak atau Anda nggak mau ...." "Bukan nggak mau makan di kantin karena nggak ingin ketemu Arvin." Nadine memotongnya karena tahu maksudnya. "Pekerjaanku sangat banyak, jadi ingin segera diselesaikan. Ini dokumen yang perlu diperiksa oleh Arvin, tolong Pak Dion antarkan." Dion tidak akan menerimanya. Dia berkata dengan serius, "Nyonya, bukan, Bu Nadine, dokumen eksternal seperti ini memang harus diserahkan langsung oleh pihak ketiga. Kalau ada hal yang kurang jelas, biar Pak Arvin bisa langsung tanya ke Anda." Nadine menatapnya curiga beberapa detik. Dia merasa Dion sepertinya tidak mungkin berani main-main dalam urusan kerja, jadi akhirnya dia pun melangkah ke kantor CEO. Dion mengetuk pintu dulu. Begitu terdengar suara "masuk" dari dalam, dia membuka pintu dan berkata, "Pak Arvin, nyonya datang mengantarkan dokumen." Nadine, "?" Bukankah barusan dia memanggilnya Bu Nadine? Saat melihat Nadine menatap Dion dengan kesal, Arvin justru sempat bengong sejenak. Arvin tidak menyangka ada dokumen yang perlu Nadine antar sendiri, "Dokumen perceraian?" "Bukan." Nadine benar-benar merasa itu kesalahan besar. "Dokumen perceraian lupa aku bawa, nanti akan aku ingat." Dion tak mampu berkata-kata. Dia diam-diam keluar dan menutup pintu kantor CEO. "Aku datang mengantarkan dokumen dari tim hukum kami." Nadine berdiri tegak dan menyerahkan map itu dengan kedua tangan. "Pak Arvin, silakan diperiksa." Arvin menyilangkan kaki, bersandar santai di kursi kulitnya sambil menatap Nadine. Pria ini memang selalu sulit ditebak. Dari ekspresi hingga sikapnya, semuanya memancarkan aura orang berkuasa. Nadine berpikir sejenak, lalu menjelaskan garis besar isi dokumen itu, menjalankan kewajibannya sebagai pihak kedua. Saat dia berbicara, ada kesan polos seperti mahasiswi yang sedang presentasi di depan kelas. Tapi gaya bicaranya jelas dan ringkas, menunjukkan kalau dia benar-benar menguasai isi berkas itu. Arvin menatap wanita di seberangnya dalam-dalam, lalu setelah beberapa saat, dia mengangkat tangannya sedikit. "Ke sini."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.