Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 16

"Aku mana tahu siapa yang memberi tahu Keluarga Gupta waktu itu!" Suara Talia meninggi karena marah. "Oh, jadi kali ini kamu nggak menyangkal kalau kamu ingin menikah dengan Arvin ya?" Nadine tersenyum. "Nadine!" "Kalau kamu nggak bisa memberitahuku info yang berguna, soal perceraian kamu tanya sendiri saja ke Arvin!" Talia hampir meledak karena marah. Nadine diam-diam mencerna ucapan Talia. Awalnya, orang yang paling dia curigai adalah Talia, karena Talia paling ingin nama Nadine hancur. Sebelum kejadian itu, siapa pun akan bilang Keluarga Gupta tidak mungkin mau menerima wanita dengan reputasi seburuk dirinya. Kalau tiga tahun lalu bukan Talia yang mengadu ke Keluarga Gupta, lalu siapa? Talia tidak tinggal lama, karena Arvin yang merupakan CEO benar-benar sangat sibuk. Tak lama kemudian, kepala divisi hukum datang mencari Arvin untuk minta tanda tangan dokumen. Begitu melihat Talia, kepala divisi hukum tidak terlihat terkejut. Bahkan dia menyapa dengan sangat ramah dan hormat. Jelas bukan sikap terhadap teman biasa bos. Nadine langsung teringat pada kata-kata Talia yang sarat makna tadi dan merasa semakin muak. Untungnya, kemampuan pengendalian emosinya cukup baik. Sekarang dia bisa dengan tenang, sebagai pihak kedua, membantu calon mantan suaminya menyelesaikan masalah hukum yang rumit. Kepala divisi hukum berpikir, ini masih termasuk dalam lingkup kerjanya, jadi dia ikut mendengarkan saja. Hanya saja entah kenapa, tatapan CEO ke arahnya terasa agak dingin? "Pak Arvin, dua masalah pending ini harus dikonfirmasikan dulu dengan manajer proyek kami baru bisa kami kasih jawabannya." Nadine menutup catatannya. "Selain itu, aku rasa posisi aku kurang cocok untuk berhubungan langsung dengan Anda. Lain kali sebaiknya rekanku yang lebih senior saja yang menjelaskan isi pekerjaan pada Anda. Menurut Anda bagaimana, Pak Roni?" Dia tidak mau bertemu Talia lagi di sini. Kepala divisi hukum yang bernama Roni, refleks menjawab dengan jujur begitu namanya disebut, "Aku rasa bisa ...." Begitu suaranya keluar, kepala divisi hukum langsung merasakan tatapan dingin menusuk. Kepala divisi hukum buru-buru mengubah kalimatnya, "Aku rasa bisa dibicarakan lagi!" Nadine, "..." Arvin bersandar di kursi, menatap kepala divisi hukum dengan ekspresinya datar. "Aku justru merasa Bu Nadine sangat kompeten menjadi penghubung proyek ini. Kemampuan komunikasi dan pengetahuan profesional Anda sangat luar biasa, sama sekali nggak kalah dari rekan-rekanmu!" Pak Roni seperti mengatakan fakta. Nadine berkata, "Jujur saja, aku bahkan belum dapat lisensi pengacara." Pak Roni berkata, "Benarkah? Sama sekali nggak kelihatan! Universitas Trevora memang pantas disebut kampus terbaik!" Nadine, "..." Ini jelas-jelas pujian paksa! "Nadine, aku harap orang yang melaporkan hasil kerja padaku tetap kamu," kata Arvin dengan nada dominan. "Keinginan ini akan aku sampaikan langsung ke rekan kerjamu." Senyum Nadine langsung membeku. Dia menaruh buku catatannya di meja dan nada suaranya mulai terdengar kesal, "Pak Arvin, boleh aku tahu alasannya?" "Orang lainnya ...." Arvin bicara dengan lambat. "Jelek." "?" Nadine berkata, "Kamu benar-benar nggak masuk akal!" Arvin menerima penilaian itu dengan tenang, malah balik bertanya, "Baru tahu?" Kepala divisi hukum menatap bosnya dan pegawai magang dari pihak kedua itu dengan kaget. Sejak kapan dalam tim pengacara ada yang jelek? Seluruh tim mereka sangat tampan dan cantik! Tunggu ... kamu barusan bilang Pak Arvin tidak masuk akal? Pak Arvin juga bilang kamu baru tahu? Bentar, CEO, kalian berdua ... kalian .... kamu dan dia ... Ahhh? Kepala divisi hukum merasa seperti baru menemukan rahasia besar. Tapi ada yang aneh! Bukankah Pak Arvin pasangan Talia? Pria yang duduk di kursi CEO itu tampak tenang dan percaya diri, aya khas seorang penguasa. Semakin Nadine melihatNYA semakin kesal dan semakin dipikir semakin jengkel. Dia menoleh ke arah kepala divisi hukum, "Pak Roni, aku mau bicara empat mata dengan Pak Arvin, bisa tolong keluar sebentar?" Kepala divisi hukum, "?" Kepalanya penuh tanda tanya. Kamu dan CEO mau bicara empat mata? Kalian sudah sejauh itu? Bukankah Talia baru saja pergi? Kepala divisi hukum menatap bosnya dengan hati-hati. Begitu Arvin mengangguk, dia langsung kabur dan sempat melirik Nadine dengan tatapan, gila! Sejak kapan kalian bersama? "Arvin, apa maksudmu?" Nadine menarik napas dalam, berusaha menahan diri. "Sudah nggak pura-pura nggak kenal lagi?" tanya Arvin. Nadine tertawa dingin, "Pak Roni mungkin mengira aku selingkuhan barumu." Arvin mengerutkan alis. Dari mana datangnya selingkuhan? "Itu nggak penting." Nadine menumpukan dua tangannya di meja besar CEO, memanfaatkan posisinya yang berdiri, menatap Arvin dari atas ke bawah. "Pak Arvin, kapan pengacara pribadimu bisa membahas masalah perceraian denganku? Daripada ditunda-tunda, lebih baik hari ini saja." "Dia sedang di Yurope, nggak sempat." Suara Arvin sangat tenang, seperti sedang menghadapi anak yang sedang merajuk. "Nana, kenapa kamu marah?" "Aku marah?" Nadine tertawa karena marah. "Suamiku punya hubungan nggak jelas dengan wanita lain, masih juga menahanku dan nggak cerai. Aku nggak boleh marah? Pak Arvin, jujur saja aku benaran ingin segera bercerai!" Wajah Arvin mendadak dingin saat mendengar kalimat terakhir. Begitu semua topeng sopan santun dilepas, Arvin menunjukkan sisi aslinya yang dingin dan dominan. Dia berdiri, menatap Nadine dari atas, "Kenapa? Brondongmu sudah nggak sabar menunggu?" "Brondong dari mana?" Nadine masih bingung. Arvin menunduk, terkekeh pelan, "Sudah punya pacar baru lagi? Cepat sekali." Baru saat itu Nadine ingat dirinya sempat mengarang cerita soal kakak tingkat yang jadi pacar barunya. Baiklah, sebut saja brondong. Nadine berkata, "Dia nggak buru-buru, aku yang buru-buru." Huh, dia malah membelanya dan ingin segera mendapatkan status baru! Mata Arvin menyipit, wajahnya semakin gelap, "Nadine, hari ini kamu suka yang ini, besok kamu suka yang itu. Kamu pernah sungguh-sungguh menyukai orang nggak?" Sejak SMP, Nadine selalu dikejar banyak cowok. Waktu sekolah, dia ramah dan cantik, serta sopan pada semua orang. Arvin sampai bingung siapa sebenarnya pacar Nadine saat itu. Bahkan Talia, kakak yang tinggal serumah dengannya, juga tidak pernah tahu kapan Nadine ganti pasangan. "Memang aku nggak setulus Pak Arvin yang bahkan memberikan duta merek Glamor pada Talia." Nadine bertepuk tangan dua kali dan memujinya sambil tersenyum, "Pak Arvin memang selalu royal pada Talia, benar-benar totalitas!" Setelah cedera di tangan Talia yang membuatnya tidak bisa bermain piano lagi, Talia dengan cepat beralih ke dunia penyiaran dan pembawa acara. Selama kuliah, dia sudah dua kali menjadi pembawa acara untuk acara variety show yang disponsori oleh Grup Gupta. Setelah lulus, Grup Gupta kembali menjadi sponsor tunggal untuk program pribadinya. Baru dua tahun lulus, sekarang Talia sudah jadi pembawa acara yang cukup terkenal. Dengan status pembawa acara kelas dua tapi bisa menjadi duta merek mewah akan membuat nilai kontraknya melambung tinggi lagi! Singkatnya, semua itu adalah jalan karier yang diberikan oleh Arvin! Arvin merasakan sindiran lalu bertanya, "Kamu marah karena masalah ini? Kalau kamu mau menjadi duta merek, bisa ...." "Hentikan!" Nadine memotong ucapannya tanpa ekspresi, bahkan malas berpura-pura tersenyum. Memangnya dia mengharapkan jadi duta merek? Dia mahasiswa hukum, perlu menjadi duta merek? Arvin jelas memakai kontrak duta mereka supaya dia diam! Nadine menatap Arvin dengan, tapi tiba-tiba berubah pikiran dan melangkah mendekat. Jari-jarinya yang lembut menyentuh pipi tampan pria itu dan wajahnya perlahan mendekat. Arvin duduk diam, tidak menghindar, membiarkan Nadine duduk di pangkuannya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.