Bab 1
Jendela kamar utama terbuka sedikit.
Suara hujan gerimis di luar bercampur dengan desahan ambigu di atas ranjang.
Di bawah cahaya lampu kekuningan yang lembut, sisi wajah sang pria tampan dan dingin, matanya dalam dan tajam, seolah ingin menelan wanita di pelukannya hidup-hidup.
Wajah Nadine yang cantik memerah, tampak begitu menggoda.
"Arvin ...."
Lengan pria itu merangkulnya erat-erat.
Sikapnya yang seolah memperlakukan dirinya seperti harta karun membuat harapan konyol muncul di hati Nadine.
Apa mungkin ... Arvin sedikit menyukainya?
Tiba-tiba, nada dering ponsel memecah keintiman di ruangan itu.
Nadine melirik sekilas ke layar ponsel dan tubuhnya langsung menegang.
Seketika pandangannya teralih ke sana dan melihat nama yang muncul di layar, Talia Wenusa!
Arvin menjawab panggilan itu.
Entah apa yang dikatakan di seberang sana, tapi ekspresi Arvin langsung kembali tenang.
"Aku segera ke sana."
"Arvin, kamu mau pergi?"
Nadine melihatnya buru-buru mengenakan pakaian dan bertanya begitu tanpa sadar.
Dia ingin menahannya.
"Hmm." Arvin mengambil ponselnya dan berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun.
Dipanggil langsung datang, diusir langsung pergi.
Nadine merasa dirinya yang telanjang kini tak ubahnya seperti seorang pelacur. Hatinya seperti diiris pisau.
Sakit sekaligus menyedihkan!
Dia menarik selimut sutra untuk menutupi tubuhnya, suara lembutnya masih terdengar serak.
"Arvin, kamu mau pergi begitu saja? Nggak takut Talia mencium bauku di tubuhmu, lalu cemburu?"
Gerakan Arvin yang sedang membuka pintu berhenti. Dia menoleh dan pandangannya bertemu dengan mata Nadine.
Wajah tampannya di bawah cahaya lampu tampak dingin dan tak berperasaan, seolah orang yang baru saja bermesraan dengannya bukan pria ini.
Nadine menatap balik, wajah lembutnya tersenyum menawan, tapi jelas ada sindiran dan tantangan di balik senyumnya itu.
"Nadine, tangan Talia kambuh lagi. Waktu itu banyak urat saraf di telapak tangannya yang putus dan hampir lumpuh ...." Arvin menatapnya dari atas, suaranya dingin dan penuh peringatan. "Itu gara-gara kamu."
Tangan Nadine yang tersembunyi di balik selimut mengepal tanpa sadar. Bulu matanya bergetar halus dan senyumnya perlahan memudar.
"Arvin, kamu bukan dokter. Kamu ke sana bisa bantu apa? Dia meneleponmu, adik iparnya, di tengah malam begini, sampai membuatmu meninggalkan tempat tidur adiknya, bukankah itu agak kurang pantas?"
Pria berbalik dan melangkah kembali, lalu membungkuk. Dia memegang dagu Nadine dan jari Arvin mengusap kulitnya tanpa sadar.
"Nadine, kalau kamu masih mau, nanti pulang aku kasih lagi. Jangan bikin ulah, ya?"
"Aku jijik denganmu!"
Nadine menepis tangannya, menoleh ke samping karena merasa sangat terhina.
Saat mendengar kata jijik, bukannya marah, Arvin justru menaikkan alisnya.
"Arvin!" Nadine menarik napas dalam-dalam dan nekat berkata, "Kalau aku bilang aku mau kamu tetap di sini malam ini, kamu ...."
Sebelum selesai, pria itu menyelanya, "Nadine, kamu nggak punya hak buat bicara begitu."
Bulu mata Nadine bergetar, kepalanya terangkat dan menatap Arvin secara langsung, "Aku istrimu, nggak punya hak?"
Arvin seolah mendengar lelucon besar, menyingkap topeng sopan dan lembutnya yang palsu, "Nadine, perlukah aku ingatkan, bagaimana caranya kamu menjadi istriku?"
...
Aroma tubuh Arvin yang masih tertinggal di kamar membuat Nadine sesak, sampai dadanya terasa perih.
Satu jam kemudian, Nadine melihat unggahan di Instagram Talia, [Setiap sedikit rasa sakit pun selalu ditemani orang yang tercinta, nggak ada kebahagiaan yang lebih besar dari itu.]
Foto yang disertakan memperlihatkan seorang pria berdiri di depan jendela. Postur tegak, bahu lebar, dan pinggang ramping, benar-benar menggoda.
Meski wajahnya tidak kelihatan, Nadine tetap bisa mengenalinya. Itu adalah suaminya, Arvin!
Dadanya terasa semakin sesak, tapi sekaligus lucu dan menyedihkan.
Tiga tahun lalu, Nadine dijebak dan tidur dengan Arvin. Setelah diketahui senior Keluarga Gupta, Arvin dipaksa menikahinya demi menjaga nama baik.
Sedangkan dia yang waktu itu ingin lepas dari kendali Keluarga Wenusa, menyetujui pernikahan itu dengan senang hati.
Kenapa dengan senang hati?
Karena Arvin adalah pria yang sudah lama dia cintai!
...
Keesokan siangnya.
Arvin pulang. Wajah tampannya menunjukkan tanda-tanda kelelahan karena semalaman tidak tidur.
Nadine meringkuk di sofa, menunduk menatap dokumen tipis di tangannya.
Dia hanya mengenakan daster, tali tipis di bahunya memperlihatkan kulit putih mulus, dengan noda merah di beberapa tempat yang memancing imajinasi.
Kakinya yang putih bersih tanpa alas kaki menyentuh lantai abu-abu dingin, membuat siapa pun yang melihatnya merasa sesak napas.
Arvin baru mau menyuruhnya memakai sandal, tapi Nadine tiba-tiba mendongak menatapnya.
Pria itu tampan, tinggi, berwibawa, lahir dari keluarga terpandang, dan berkuasa. Sosok yang menjadi incaran semua sosialita di Kota Trevora dan Arvin benar-benar pantas menyandang julukan itu!
"Cepat sekali pulangnya. Luka Talia nggak parah?" Nadine memeluk lutut dan wajah lembutnya bertumpu di atasnya.
Arvin tidak menjawab.
Pria itu jelas tidak mau memberitahunya soal Talia.
"Arvin." Suara Nadine tenang tapi lembut dan matanya jernih. "Apakah kamu ada sedikit perasaan cinta untukku?"
Tatapan Arvin sempat terlihat terkejut, tapi segera kembali dingin lagi.
"Apa maksudmu?" Seolah apa yang Nadine tanya barusan hal paling bodoh di dunia.
Nadine merentangkan tangan dan pura-pura santai, "Aku sudah tahu, kamu nggak mencintaiku."
Arvin memang tidak pernah mencintainya.
Nadine melanjutkan, "Arvin, kalau begitu kita cerai saja."
Tiga tahun menikah tidak mengubah perasaan Arvin sedikit pun, buat apa Nadine bertahan?
Tangan pria itu baru saja menyentuh kaki dingin Nadine, tapi langsung berhenti begitu mendengarnya. Wajahnya yang semula hangat berubah dingin, udara di ruangan seketika menurun beberapa derajat.
Dia mendongak, matanya sangat dingin seperti badai malam. Suaranya datar.
"Kamu barusan bilang apa?"
Tekanan yang begitu kuat membuat Nadine refleks menarik kakinya.
Tapi pergelangan kakinya sudah dicengkeram erat oleh Arvin.
Suhu hangat dari telapak tangan Arvin terasa kontras dengan kulit dinginnya.
telinga Nadine memerah karena malu dan berkata dengan wajah cemberut, "Lepaskan!"
Arvin tetap diam, genggamannya malah semakin kuat, "Nadine, jalani saja peranmu sebagai istriku dengan baik. Jangan bikin masalah."
Bikin masalah?
Nadine merasa konyol.
Kalau dia benar-benar mau bikin masalah, semalam dia sudah melakukan segala cara untuk menahan pria itu di rumah. Mana mungkin Talia punya kesempatan pamer begitu?
Dia memutar pergelangan tangannya, menyerahkan surat perjanjian cerai yang sudah disiapkan padanya, "Cerai saja. Aku sudah bosan."