Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Alisya terkejut sesaat usai mendengarnya. Tapi kemudian tersadar kembali. Marvin mencarikan stok darah di seluruh kota hanya karena tidak mau dia mati. Tapi kalau harus memilih di antara dia atau Keisha yang harus mati, Marvin jelas akan memilih membiarkannya mati. Makanya Alisya juga tidak terlalu banyak berangan-angan. Di hari-hari terakhirnya di Kota Jayaksa, Alisya masih beristirahat dan memulihkan diri di rumah sakit. Setiap kali perawat datang mengecek, mereka sesekali menyinggung soal kamar VIP di lantai atas. "Katanya, CEO Grup Wibowo menyewa satu lantai, bahkan mengundang profesor yang sudah pensiun buat datang ke sini demi merawat pacarnya." "Aku pernah lihat beberapa kali. Pak Marvin sendiri yang menuangkan teh dan air buat pacarnya. Dia juga beli banyak perhiasan dan hadiah demi menyenangkan pacarnya. Dia selalu berjaga di samping ranjang semalaman tanpa tidur. Dia benar-benar memanjakan pacarnya." Alisya mendengar semua gosip itu dalam diam. Dia mengangkat tangan dan menyentuh dada kirinya. Dia tidak merasakan apa pun, hanya detak jantungnya yang terasa lebih lambat. Sepertinya, luka di hatinya juga sudah sembuh. Di hari Alisya keluar dari rumah sakit, Gina sudah berencana datang mau menjemputnya. Tapi tidak jadi karena ada urusan keluarga. Alisya menghiburnya sejenak. Dia pulang sendirian dari rumah sakit, dan kembali masuk kantor. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja. Dia sudah mengajukan pengunduran diri sesuai prosedur. Dia memegang kardus dan mau pergi. Tapi malah bertemu Keisha di depan pintu lift. Wanita itu memegang segelas kopi dan sengaja menabrak Alisya. "Kamu jalan nggak lihat-lihat, ya? Bajuku jadi kotor! Kamu lagi, kamu lagi. Sengaja, ya?" Keisha sendiri yang menyutradarai dan bersandiwara di sini. Dia lalu memanggil para pengawal dan menyuruh mereka memaksa Alisya berlutut di depan gedung kantor pusat untuk meminta maaf. Alisya tidak terima. Tapi Keisha malah makin menjadi-jadi. Dia menyiramkan setengah sisa kopinya ke wajah Alisya. "Kenapa? Nggak terima? Asal kamu tahu, cuma aku yang ada di hati Marvin. Dia selalu menuruti apa kataku. Apalagi kalau cuma menghukum sekretaris biasa sepertimu." Usai bicara dengan sombong, Keisha berjalan pergi dengan angkuh. Para pengawal menyeret Alisya ke lantai bawah. Mereka memaksanya berlutut di tanah. Alisya terus berontak, tapi dia tidak bisa melepaskan diri. Dia tidak punya pilihan lain selain mencoba bernegosiasi dengan mereka. "Aku sudah mengundurkan diri. Aku bukan lagi sekretaris Marvin. Apa hak kalian memaksaku berlutut?" Para pengawal sama sekali tidak peduli, dan malah membalas dengan nada dingin, "Pak Marvin sudah menyuruh kami menuruti perintah Nona Keisha. Apa pun yang terjadi, kami tetap harus mematuhinya. Bu Alisya bilang saja sendiri sama Pak Marvin." Ucapan barusan membuat Alisya tidak lagi bisa berkata-kata. Dia tahu, apa pun yang dia katakan, mereka tidak akan pernah mau dengar. Makanya Alisya memilih pasrah. Rekan kerja dan orang-orang yang berlalu-lalang diam-diam membicarakannya. Bahkan ada yang diam-diam memfotonya. Di tengah cuaca dingin begini, Alisya malah berlutut di depan gedung selama tujuh jam. Kedua lututnya sampai lecet. Wajahnya juga sudah pucat, tubuhnya juga menggigil saking dinginnya. Tapi dia tetap bertahan dengan mengandalkan kekuatan tekad. Menjelang jam pulang kerja, kesadaran Alisya makin berkurang. Tapi dia tiba-tiba mendengar namanya dipanggil. Dia berusaha mendongak dan melihat Gina sedang berlari tergesa menghampirinya. "Alisya, kamu baru keluar dari rumah sakit, kenapa malah berlutut di sini? Siapa yang sengaja menyiksamu begini?" Tenggorokan Alisya terasa kering dan perih. Tanpa sadar dia menjawab, "Keisha ... "

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.