Bab 15 Membawanya ke Puncak Gunung
"Sofia!" teriak Varrel dengan marah. Lalu, aku dijatuhkan ke lantai.
Setelah muntah, aku agak sadar. Aku mendongak ke pria di depanku yang dikotori muntahan. Seandainya hukum memperbolehkan kanibalisme, mungkin dia akan memakanku saat ini. Pria ini membuatku takut, jadi aku berpura-pura mengecut. "Jangan lihat aku seperti itu, aku takut."
Varrel sepertinya menyeringai sinis. Dia langsung menarikku berdiri dan mendengus. "Kamu masih tahu takut?"
Tepat ketika aku ingin berbicara, Varrel melepas jas dan membuangnya ke tempat sampah. Setelah itu, Varrel menggendongku dan dengan cepat berjalan ke luar klub.
Aku dilempar ke dalam mobil, tetapi tidak berani bersuara. Efek alkohol sedang memuncak saat ini. Meski pikiranku masih sadar, seluruh tubuhku lemas tak bertenaga. Jika benar-benar bertengkar, aku khawatir akan membuatnya marah dan Varrel akan membuangku ke selokan. Jadi, lebih baik diam saja.
Namun, setelah beberapa lama menunggu di dalam mobil, Varrel tak kunjung masuk. Aku ingin turun, tetapi pintu mobil terkunci dan tidak bisa dibuka. Dengan pasrah, aku bersandar di kursi depan untuk menenangkan efek alkohol.
Sesaat kemudian, pintu mobil dibanting dengan keras.
Aku membuka mata dengan kaget, melihat bahwa Varrel sudah masuk ke mobil dan berganti pakaian. Jadi, tadi Varrel pergi ganti baju? Benar-benar perfeksionis.
Malas banyak bicara, aku memejamkan mata dan pura-pura tidur.
Varrel juga tidak bersuara, langsung menyalakan mobil. Aku tetap memejamkan mata. Setelah mobil berjalan cukup lama, aku merasa ada yang tidak beres. Meskipun Kota Jaya besar, tidak peduli Varrel ingin membawaku ke hotel atau kembali ke Vila Permata Sari, seharusnya sudah sampai sejak tadi.
Namun, mobil sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Aku tak tahan membuka satu mata dan melihat ke luar. Di luar gelap gulita. Tidak ada cahaya lampu kota, hanya bayangan pohon yang berkedip-kedip di bawah sinar bulan.
Jalan gunung!
Berpikir demikian, mataku memelotot ke pria di sampingku. Aku bertanya dengan kaget, "Kamu mau bawa aku ke mana?"
Varrel memegang kemudi. Wajah tampannya yang terselubung dalam kegelapan terlihat sangat dingin dan tegas. Mendengar suaraku, Varrel berkata dengan suara rendah tanpa menoleh, "Sudah sadar?"
Aku tak bisa menahan diri menelan ludah. Aku sedikit ketakutan. Varrel membawaku ke atas gunung pada tengah malam begini, jangan-jangan karena marah padaku, dia berencana membuang mayatku di hutan belantara?
Aku menarik napas dalam-dalam dan menatapnya. "Varrel, aku mau pulang. Aku beri tahu, kalau terjadi sesuatu padaku, orang tuaku nggak akan mengampunimu. Kalau aku mati, orang tuaku juga nggak akan mengizinkanmu bersama Yovie."
Varrel memperlambat laju mobil, lalu melirik ke arahku. "Sofia, otakmu yang kemasukan air ini harus segera dikuras."
Aku menekan bibir. Tepat ketika aku ingin berbicara, Varrel sudah memberhentikan mobil.
Aku menengok ke luar mobil. Rupanya sudah tidak ada jalan lagi di depan, di sini sudah puncak gunung. Aku tidak mengerti mengapa Varrel membawaku ke sini. Aku membuka pintu mobil dan turun. Saat ini, efek alkohol sudah agak hilang. Setidaknya, aku sudah punya tenaga untuk berjalan.
Hanya saja, Varrel lebih cepat dariku dan sudah di luar pintu mobil. Melihatku turun, Varrel langsung merengkuh pinggangku dan membawaku ke tempat tertinggi di puncak gunung.
Aku ingin mendorongnya. Angin di puncak gunung begitu kencang sampai membuat kepalaku pusing. Emosi yang sudah lama kutahan makin tak terbendung. Aku pun meninggikan suara, "Varrel, untuk apa kamu bawa aku ke sini? Aku sudah setuju untuk bercerai, masih belum cukup? Kamu berencana membuang mayatku di tempat terpencil ini?"
"Cih!" Varrel mencibir. Genggamannya di pinggangku makin kuat. Dia berkata dengan suara rendah dan tegas, "Masih saja omong sembarangan, sepertinya mabukmu belum hilang. Terus saja tiup angin."
Varrel menyeretku ke tempat yang berangin kencang. Embusan angin dingin membuat seluruh tubuhku mati rasa. Efek alkohol pun hilang, dan kepalaku jadi lebih sadar. Saking kedinginan, aku berjongkok di tanah sambil memeluk diri sendiri. Hatiku merasa sesak. Aku bergumam pelan, "Varrel, nggak mungkin kamu membawaku ke sini hanya sekadar untuk berangin-angin, 'kan?" Varrel tidak sesenggang itu. Aku juga tidak bodoh sampai mengira dia benar-benar berniat membuang mayatku di tempat terpencil ini.
Aku tidak mendengar suara Varrel, malah merasakan beban ringan di pundakku, diikuti kehangatan yang menyelimutiku. Aku menoleh, ternyata Varrel menyandangkan jasnya ke pundakku.
Varrel memang seperti ini. Meski tidak punya perasaan padaku, semua perhatiannya terasa begitu wajar. Aku yang sebenarnya sangat membencinya sampai tak sanggup mengucapkan kata-kata kasar padanya.
"Kenapa pindah dari Vila Permata Sari?" tanya Varrel dengan suara rendah.
Kakiku pegal karena terlalu lama jongkok. Aku mengubah posisi sambil berkata, "Cepat atau lambat harus begitu. Lukamu sudah sembuh?" Saat menanyakan kalimat terakhir, aku mendongak pada Varrel dan menunggu jawabannya.
Varrel menunduk memandangku, lalu menarik tanganku untuk berdiri. Dia menjawab dengan suara rendah dan kalem, "Nggak akan mati." Setelah itu, Varrel memicingkan mata hitamnya dan bertanya, "Apa maksudmu cepat atau lambat harus begitu?"
Mendengar pertanyaannya, hatiku terasa sesak. Aku mengernyit seraya berkata, "Vila Permata Sari adalah properti. Kalau kita bercerai, buat apa aku tinggal di tempatmu? Bukankah cepat atau lambat harus pindah?"
Sambil menatapku, rahang Varrel bergetar sedikit karena menahan emosi. Dia tampak marah, suaranya juga terdengar berat. "Bercerai, lagi-lagi bercerai! Sofia, apa kamu begitu ingin bercerai denganku?"