Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1 Bekas Luka yang Mengerikan

"Nona Sofia, mustahil untuk menghilangkan bekas luka ini sepenuhnya. Saat terluka dulu, kamu pasti sudah menyadari betapa parahnya lukamu. Yang bisa kami lakukan hanyalah memudarkan bekas lukamu, nggak bisa menjamin lebih dari itu." Melihat bekas luka sepanjang sejengkal di perutku di cermin, aku teringat perkataan dokter di rumah sakit tadi siang. Jadi, bekas luka ini tidak bisa dihilangkan sepenuhnya? Setelah terdiam sejenak, aku mengambil salep penghilang bekas luka dari dalam laci dan mengoleskannya ke perut. "Kreek ...." Pintu kamar mandi terbuka. Mendengar suara itu, aku secara refleks mengangkat kepala. Di cermin, pandanganku bertemu dengan tatapan dingin Varrel Desta. Postur tubuhnya tinggi dan tegap. Wajahnya yang tampan terkesan dingin. Varrel mengalihkan pandangan dari tatapanku, lalu menatap bekas luka di perutku yang terlihat mengerikan. Alisnya sedikit berkerut, tetapi hanya sesaat. Kemudian, Varrel pergi dari kamar mandi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tebersit sedikit keterkejutan dalam mata hitam Varrel saat melihat bekas lukaku ini. Meski Varrel mengendalikannya dengan baik, tetap saja ditangkap oleh mataku. Selama dua tahun pernikahan kami, tidak banyak waktu yang kami habiskan untuk tidur bersama. Lagi pula, setiap kali kami berhubungan intim, lampu selalu dimatikan. Mungkin Varrel pernah merabanya, tetapi di saat-saat penuh gairah, Varrel tidak tertarik untuk memperhatikannya lebih lanjut. Hari ini adalah pertama kalinya Varrel dengan jelas melihat bekas lukaku yang mengerikan ini. Aku keluar dari kamar mandi sesudah menyimpan salep. Varrel sedang merokok di balkon. Puntung rokok di tangannya berkedip-kedip memancarkan percikan api. Melihat punggungnya, aku meletakkan asbak di sampingnya, lalu menarik napas dan berkata, "Maaf, aku nggak tahu kamu akan pulang malam ini." Seandainya tahu Varrel akan pulang, aku tentu tidak akan masuk ke kamar mandi tanpa mengunci pintu, sampai membuatnya melihat pemandangan tadi. "Kapan bekas luka itu muncul?" ujar Varrel sambil mengetuk-ngetuk puntung rokok ke asbak, menghindar dari pertanyaanku. Sepertinya ini pertama kalinya Varrel bertanya tentang bekas lukaku. Aku menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan jujur, "Sudah empat atau lima tahun yang lalu." Varrel mengangguk. Dia menatapku sambil mengernyit. "Lalu, anakmu?" Aku terdiam sejenak, lalu segera menyadari bahwa dia salah paham. "Bukan ...." Maksudku, bekas luka itu bukan karena melahirkan. Aku tidak sempat menyelesaikan perkataanku karena ponsel Varrel yang ditaruh di tempat tidur berdering. Mendengar nada dering yang khas itu, Varrel langsung menoleh dan menjawab panggilan. "Ya, aku segera ke sana." Entah apa yang dikatakan di seberang telepon, suara Varrel menjadi lebih lembut saat menjawab. Wajah tampannya yang tampak kaku, kini menjadi lembut dan tenang. Hatiku berkedut sakit. Melihat Varrel hendak pergi setelah mengakhiri panggilan, aku tidak tahan untuk bertanya, "Apa kamu akan pulang malam ini?" Varrel melipat jas di lengannya. Mendengar suaraku, dia berpaling ke arahku. Wajahnya agak muram, tetapi tatap mempertahankan sikap anggunnya yang khas. "Nggak usah tunggu aku, tidur dulu saja." Maksudnya, dia tidak akan pulang. "Brak!" Pintu kamar tidur ditutup dengan keras. Aku masih berdiri di balkon, dengan tenang memandangi mobil hitam itu meninggalkan halaman. Varrel pasti pergi menemui Yovie, orang yang selalu dikenangnya dalam hati. Kapan pun itu, Varrel akan langsung datang begitu ditelepon. Sungguh membuat orang iri. Pernikahanku dengan Varrel adalah pernikahan bisnis, tidak ada hubungannya dengan cinta. Kami menikah semata-mata karena kebutuhan keluarga masing-masing. Aku tidak terkejut mengetahui bahwa Varrel mempunyai pujaan hati. Siapa yang tidak punya 'cinta pertama' di masa mudanya? Hanya saja, aku agak terkejut bahwa 'cinta pertama' itu ternyata adalah kakak perempuanku sendiri, Yovie Carter. Yovie sudah menikah tiga tahun yang lalu. Jika saja dua bulan lalu Yovie tidak tiba-tiba bercerai dan kembali, jika bukan karena aku tanpa sengaja melihatnya berpelukan dengan Varrel di halaman rumah Keluarga Carter, aku benar-benar tidak akan tahu bahwa orang yang dicintai Varrel rupanya adalah Yovie. Meski alur ceritanya klise, tetap saja menyakitkan hati. Sejujurnya, dalam dua tahun kehidupan pernikahan ini, Varrel adalah suami yang baik. Meski aku tahu dia tidak mencintaiku, perhatiannya padaku dalam kehidupan sehari-hari membuatku menjalani kehidupan pernikahan ini dengan relatif puas. Namun, melihat situasi sekarang, kehidupan pernikahan yang memuaskan ini sepertinya akan segera berakhir. Pada tengah malam, aku terbangun oleh dering telepon. Tidak mematikan ponsel sebelum tidur memang bukan keputusan yang bijak. Aku menjawab panggilan, lalu menahan amarah yang bergolak di hati dan berkata di telepon, "Halo?" Dari seberang telepon, terdengar suara wanita yang lembut dan merdu, "Varrel, agak sakit." Aku terkesiap. Varrel? Suara wanita yang lembut dan merdu di telepon itu adalah suara Yovie. Rasa kantukku hilang seketika. Nomor yang muncul di layar ponsel adalah nomor telepon Varrel. Jadi, tujuan menelepon di tengah malam seperti ini adalah untuk memperdengarkan perzinahan mereka? "Tut tut ...." Suara sibuk terdengar dari ponsel, menandakan panggilan sudah diakhiri. Cih! Panggilan ini benar-benar mengusik rasa kantukku. Suasana hatiku saat ini sungguh tidak baik. Aku melihat jam, sudah pukul satu subuh. Sepertinya harus merepotkan polisi. Aku menghubungi nomor 110. Dari seberang telepon, terdengar suara wanita yang profesional, "Halo, ini dengan Kepolisian Kota Jaya. Silakan bicara!" Sambil memegang ponsel, aku berkata, "Halo, aku ingin melaporkan ada orang yang melakukan prostitusi di Perumahan Jimbaren."
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.