Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Raina Adisaputra dikenal sebagai primadona kampus di Universitas Nusantara. Dia adalah gadis polos yang menjadi idaman banyak pria. Namun, suatu hari, forum kampus mendadak heboh karena tersebarnya foto-foto pribadinya. Dalam sekejap, nama baiknya hancur. Kesempatan mendapatkan beasiswa pun dibatalkan. Bahkan ketika dia sedang di jalan, ada orang yang menghinanya dengan bertanya, "Berapa tarifmu satu malam?" Satu-satunya orang yang memiliki foto-foto itu adalah pacarnya sendiri, Adrian Wijaya. Dalam keputusasaan, Raina pergi untuk menemui Adrian dan menuntut penjelasan. Namun sebelum sempat masuk, dia mendengar suara teman Adrian dari dalam ruangan. "Adrian, caramu kali ini kejam sekali. Begitu foto-foto itu tersebar, Raina langsung kehilangan segalanya. Nama baiknya hancur dan beasiswanya batal. Sekarang, dia pasti nggak akan berani lagi bersaing dengan Nadya." Seorang pria lain menimpali dengan nada mengejek, "Apanya yang kejam? Kalau dia tahu selama dua tahun pacaran itu, Adrian sama sekali nggak mencintainya, bahkan karena jijik menyentuhnya, dia cuma pura-pura perhatian di siang hari, dan malamnya malah menyuruh adik kandungnya untuk menemani Raina di ranjang ... nah, itu baru benar-benar membuat Raina hancur! Hahaha!" Kata-kata itu meledak di telinga Raina seperti petir yang mengguncang langit. Dia spontan menutup mulutnya dengan tangan, menahan teriakan yang hampir keluar, sementara wajahnya seketika pucat pasi seperti selembar kertas. Setelah berkata begitu, pria itu masih sempat bercanda dengan senyum nakal, lalu menyenggol pemuda tampan di sebelah Adrian dengan siku. "Hei, Juan, bagaimana rasanya dua tahun tidur diam-diam dengan pacar kakakmu? Aku jadi penasaran!" Pemuda yang dipanggil Juan itu memiliki wajah yang mirip dengan Adrian. Dia mengangkat gelasnya, menampilkan senyum santai penuh kesombongan. "Apalagi kalau bukan luar biasa? Kulitnya putih, tubuhnya lembut, suaranya juga merdu. Mau gaya apa pun, dia bisa. Makanya aku rela repot-repot mengurus perpindahan ke Universitas Nusantara supaya nanti bisa lebih mudah bertemu dengannya." Adrian yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut. Suaranya tetap tenang dan dingin seperti biasa, tanpa emosi sedikit pun, namun setiap kata yang diucapkannya terasa seperti pisau yang perlahan mengiris hati Raina. "Tinggal beberapa hari lagi. Manfaatkan waktu untuk memuaskan dirimu. Begitu kuota beasiswa resmi diberikan pada Nadya, aku akan memutuskan semua hubungan dengan Raina dan mulai mendekati Nadya secara terang-terangan." "Gila! Jadi kamu akhirnya mau mendekati Nadya juga, Adrian?" seru teman-temannya dengan penuh semangat. "Kami semua tahu betapa besarnya perasaanmu kepada Nadya selama ini. Sejak kecil kamu selalu menuruti semua keinginannya. Apa pun yang dia minta pasti kamu kasih. Apalagi waktu tahu cuma ada satu kuota beasiswa, dan Nadya sangat menginginkannya, kamu malah sengaja mendekati Raina, berpacaran dengannya, lalu menggunakan cara ini untuk menjatuhkannya. Luar biasa, taktikmu benar-benar hebat! Sudah saatnya kamu mendapatkan gadis yang kamu impikan!" Setiap kata yang Raina dengar terasa seperti palu besar yang menghantam dadanya berkali-kali. Tubuhnya membeku, seolah darah di seluruh tubuhnya pun ikut berhenti mengalir. Ternyata ... kebenaran yang ada di balik semua ini sungguh kejam dan hina. Dia menatap ke arah orang-orang di dalam ruangan yang masih bisa tertawa dan bercanda, dan merasa bahwa jika dia tetap di sana satu detik lagi, dia akan benar-benar kehilangan kendali. Dengan langkah goyah, dia berbalik dan berlari keluar. Dua berlari sekuat tenaga, sementara air mata terus mengalir tanpa henti, membuat pandangannya kabur dan berputar. Sejak kecil, dia dibesarkan di bawah pengawasan ketat orang tuanya. Dia tidak pernah berpacaran, bahkan selalu menganggap cinta sebagai hal yang merepotkan dan tidak menarik. Hingga pada tahun pertamanya di universitas, saat dia berjalan melewati lapangan basket sambil memeluk tumpukan buku, tiba-tiba sebuah bola basket meluncur cepat ke arahnya. Dia terkejut dan refleks memejamkan mata erat-erat, namun benturan yang dia bayangkan tak pernah terjadi. Seseorang dengan tubuh tinggi tegap dan aura dingin menangkis bola itu untuknya. Raina yang masih terkejut perlahan membuka mata dan langsung bertemu dengan sepasang mata dalam dan tenang yang menatap balik padanya. Cahaya senja memancar di belakang pria itu, menyelimuti sosoknya dengan kilau keemasan. Butiran keringat di pelipisnya memantulkan cahaya lembut, membuat garis wajahnya tampak begitu sempurna, seolah dia bukan manusia biasa. Pada detik itu, Raina bisa mendengar dengan jelas suara detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup tak terkendali. Belakangan, barulah dia tahu bahwa pria itu adalah Adrian, mahasiswa paling populer di Universitas Nusantara. Adrian berasal dari keluarga kaya raya, bahkan beberapa bangunan di kampus merupakan hasil sumbangan keluarganya. Dia tampan luar biasa, tapi juga dingin dan sulit didekati. Banyak gadis yang tergila-gila padanya rela antre panjang hanya untuk bisa menarik perhatiannya. Namun, Adrian selalu menjaga jarak dari siapa pun, kecuali pada teman masa kecilnya, Nadya, mahasiswi cantik dari jurusan musik. Hanya kepada gadis itu dia tampak sedikit hangat. Raina tahu sejak awal bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Maka dari itu, dia memilih mengubur perasaannya dalam-dalam dan memusatkan seluruh perhatian pada belajar, hingga akhirnya menjadi peringkat satu di angkatannya selama bertahun-tahun. Namun, setelah itu, "pertemuan kebetulan" antara Raina dan Adrian mulai semakin sering terjadi. Di perpustakaan, gedung kuliah, bahkan di kantin, entah bagaimana, Adrian selalu muncul di dekatnya. Sampai suatu hari, Raina yang sedang begadang belajar tertidur di meja perpustakaan. Saat terbangun, dia terkejut mendapati kepalanya bersandar di bahu Adrian. Spontan, dia langsung menegakkan tubuh dengan wajah memerah hebat. Tapi sebelum sempat berkata apa pun, Adrian menggenggam pergelangan tangannya, menatapnya dengan mata hitam yang dalam, lalu berkata dengan suara rendah dan lembut, "Raina, maukah kamu jadi pacarku?" Saat itu, pikiran Raina benar-benar kosong. Rasa bahagia yang begitu besar menyelimuti dirinya hingga dia nyaris tanpa sadar mengangguk setuju. Namun, setelah mereka resmi berpacaran, Raina mulai merasa ada hal aneh pada diri Adrian. Di siang hari, sikapnya selalu dingin dan berjarak, jarang sekali menghubungi atau mengajaknya bertemu. Bahkan kalaupun mereka kencan, suasananya terasa hambar, seolah hanya rutinitas semata. Namun begitu malam tiba, Adrian berubah total. Dia menjadi begitu bergairah, bahkan cenderung berlebihan, tak pernah merasa cukup. Lebih dari itu, dia memiliki kebiasaan aneh. Dia merekam dan memotret momen-momen paling pribadi mereka saat berhubungan. Meski dalam hatinya ada rasa tidak tenang, Raina yang sudah terlanjur jatuh cinta selalu berusaha mencari alasan untuk membenarkannya. Dia meyakinkan diri bahwa Adrian memang berkepribadian dingin, dan karena sibuk di siang hari, wajar jika dia tampak cuek. Sedangkan di malam hari, karena begitu mencintainya, pria itu jadi sulit menahan diri. Namun, yang tidak pernah Raina bayangkan adalah kenyataan yang sesungguhnya jauh lebih kejam. Pria yang bersikap dingin di siang hari ternyata adalah sang kakak, Adrian, sementara sosok yang penuh gairah di malam hari adalah adiknya, Juan. Selama ini, mereka hanya mempermainkannya, menjadikannya pelampiasan dan alat pengganti semata. Tujuan akhirnya bukan cinta, melainkan untuk menghancurkan hasil kerja kerasnya dan merebut segalanya demi menyenangkan hati gadis lain. Raina akhirnya tak sanggup lagi berlari. Dia jatuh terduduk di gang sepi, tubuhnya gemetar hebat, lalu menangis tersedu-sedu hingga suaranya hampir tak keluar. Di tengah tangisnya, ponselnya berdering. Itu panggilan dari rumah. Dengan tangan bergetar, dia menjawab. Suara ibunya langsung terdengar di ujung telepon, tajam dan penuh amarah. [Raina! Apa maksud dari foto-foto memalukan yang tersebar di forum kampus itu? Dosen pembimbingmu sudah menelepon ke rumah! Kamu tahu nggak, kamu sudah mempermalukan keluarga ini! Wajah kami benar-benar sudah kamu coreng!] Terdengar pula suara ayahnya yang menahan amarah. [Kami susah payah membesarkanmu supaya bisa kuliah dan berprestasi, bukan untuk mempermalukan keluarga seperti ini! Dasar nggak tahu malu!] Raina hanya bisa menangis tersedu tanpa suara, dadanya terasa sesak hingga sulit bernapas. Sejak kecil, orang tua Raina selalu bersikap sangat keras padanya. Hanya ketika dia berhasil meraih peringkat pertama atau memenangkan penghargaan, barulah mereka menunjukkan sedikit senyuman yang merupakan hadiah kecil atas perjuangannya. Karena itu, dia tumbuh menjadi gadis yang berdisiplin ketat, belajar mati-matian, berusaha menjadi yang terbaik di setiap bidang, hanya demi satu hal yaitu bisa mendapat sedikit lebih banyak kasih sayang dari mereka. Namun kini, ketika masalah besar menimpanya, yang dia terima bukan dukungan atau kepercayaan, melainkan caci maki dan kebencian tanpa batas. [Menangis, menangis terus! Apa gunanya? Beasiswamu sudah hilang. Kami sudah membelikan tiket pesawat ke luar negeri untuk akhir bulan ini. Segera berkemas dan pergi dari sini! Tunggu beberapa tahun sampai orang-orang lupa, baru boleh pulang!] Suara ibunya terdengar dingin dan tidak bisa dibantah. Hati Raina benar-benar hancur dan mati rasa. Dengan suara datar tanpa emosi, dia menjawab di telepon, "Baik." Dia memang akan pergi ke luar negeri. Namun, dia sudah bertekad tidak akan pernah kembali lagi.
Bab Sebelumnya
1/23Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.