Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Nadya panik, tangannya gemetar saat menyentuh punggung Adrian yang baru saja melindunginya dari bara panas. Suaranya bergetar, nyaris menangis. "Adrian! Kamu nggak apa-apa? Sakit nggak? Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Adrian mengerutkan kening menahan nyeri, pelipisnya basah oleh keringat dingin. Meski begitu, dia tetap berusaha tersenyum dan menenangkan Nadya, "Tenang saja, cuma luka kecil. Kamu jarang keluar bersenang-senang, jangan sampai suasananya rusak." "Tetap saja! Kita harus ke rumah sakit!" Nadya bersikeras, matanya penuh kekhawatiran. Raina hanya bisa menatap mereka berdua. Mereka seperti sepasang kekasih yang saling melindungi dan peduli satu sama lain. Di matanya, semua itu terasa begitu menyakitkan dan penuh ironi. Raina tak sanggup lagi bertahan. Dia berdiri dan berniat pergi dari tempat itu. Namun Adrian tiba-tiba menarik pergelangan tangannya, nada suaranya penuh tuntutan. "Kamu mau ke mana?" "Pulang," jawab Raina sambil berusaha melepaskan diri, suaranya dingin dan penuh sindiran. "Kenapa? Mau ikut juga?" Adrian terdiam, genggaman di pergelangan tangan Raina perlahan mengendur. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia akhirnya berkata dengan nada kaku, "Pergilah." Raina tersenyum pahit, lalu berbalik dan pergi tanpa menoleh sedikit pun. Orang-orang di sekitar yang melihat suasana tegang itu segera mencoba mencairkan suasana. "Adrian, Raina pasti cuma cemburu. Cepat kejar dan tenangkan dia!" Adrian menatap ke arah pintu dengan alis berkerut, namun akhirnya hanya berkata dingin, "Biarkan saja. Dia akan mengatasinya sendiri." Raina pulang ke apartemen seorang diri. Yang mengejutkan, malam itu Adrian maupun Juan tak muncul seperti biasanya. Akhirnya dia mendapatkan malam yang tenang, tanpa gangguan. Ini benar-benar momen langka. Meski begitu, dia tetap tidak bisa tidur. Hingga larut malam, tiba-tiba ponselnya berdering tajam. Nama yang muncul di layar adalah Adrian. [Raina, cepat ke rumah sakit pusat!] Suara Adrian terdengar tegas dan dingin. Dia langsung memutus sambungan sebelum Raina sempat menjawab. Raina bingung, tak tahu apa yang terjadi. Setelah ragu sejenak, dia tetap memutuskan untuk pergi. Begitu tiba di depan ruang gawat darurat, Adrian langsung menarik lengannya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan, ekspresinya panik dan penuh tekanan. "Nadya kecelakaan dan pendarahan hebat! Dia punya golongan darah RH negatif, dan stok darah sedang krisis! Kamu punya golongan darah yang sama. Cepat, donorkan darahmu untuknya!" Raina tertegun, menatap Adrian dengan tatapan tidak percaya. "Kamu memanggilku ke sini, hanya untuk memintaku mendonorkan darah untuknya?" "Kalau bukan itu, apa? Apa kamu mau lihat Nadya mati?" Adrian membalas dengan nada tajam, lalu tanpa memberi ruang untuk penolakan, dia menarik Raina dengan kasar menuju ruang donor. "Aku nggak mau! Lepaskan aku, Adrian!" Raina berusaha keras melepaskan diri, tubuhnya gemetar antara ketakutan dan kemarahan. Namun perlawanan Raina sama sekali tak berarti di hadapan kekuatan Adrian. Dia dipaksa duduk di kursi donor, dan jarum pun menembus pembuluh darahnya. Perawat yang memantau jumlah darah tak bisa menahan diri untuk memperingatkan, "Pak Adrian, kami sudah mengambil 1000cc dan nggak bisa melanjutkannya! Jika diambil lebih banyak, nyawa gadis ini bisa terancam!" Adrian menatap ruang operasi yang lampunya masih menyala merah, sorot matanya dingin dan penuh tekad. "Nggak bisa! Nadya punya gangguan pembekuan darah. Ambil lebih banyak darah untuk cadangan! Lanjutkan!" Jarum dingin terus menghisap darah dari tubuh Raina. Kepalanya mulai terasa ringan, tubuhnya menggigil, dan pandangannya perlahan mengabur. Hingga akhirnya, semuanya gelap. Saat dia membuka mata lagi, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit. Tangan kirinya terpasang infus, tubuhnya lemah dan masih terasa dingin. Di samping tempat tidur, Adrian duduk diam, ekspresinya tak terbaca. Begitu Raina membuka mata, yang terdengar bukanlah kata-kata penuh perhatian, melainkan bentakan dingin yang langsung menghantam dirinya. "Raina, aku benar-benar nggak menyangka kamu bisa sekejam ini! Berani-beraninya kamu merusak rem mobil Nadya! Kamu begitu benci sama dia sampai berharap dia mati, ya?" Raina tertegun, menatapnya tak percaya. "Aku ... aku nggak melakukannya! Kapan aku pernah menyentuh mobilnya?" "Nadya sendiri yang bilang! Hanya kamu yang sempat mendekati mobilnya dengan alasan ingin meminjam barang!" Suara Adrian tajam seperti pisau. "Bukti sudah jelas, kamu masih mau mengelak?" Saat itu juga Raina sadar ini pasti jebakan yang Nadya rancang sendiri untuk menjeratnya. Dan Adrian memilih untuk mempercayainya. Raina membuka mulut dan ingin menjelaskan, tetapi dia mendadak sadar apa pun yang dia katakan sekarang tak akan berarti apa-apa. Adrian sudah lebih dulu menjatuhkan vonis bersalah padanya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.