Bab 4
Aku tidak tahan mendengarnya lagi.
Aku keluar dari rumah. Saat melewati toko roti, aku beli dua roti daging.
Penjual roti bertanya padaku.
"Tumben sendirian, di mana pacarmu?"
Aku melongo, tidak mengerti maksud perkataan penjual roti.
"Pria yang bertubuh kekar itu pacarmu, 'kan?"
"Oh, maksudnya Arga," pikirku.
Aku menggelengkan kepala.
"Kami sudah putus."
Senyuman di bibir penjual roti itu langsung membeku.
Penjual roti itu memberiku satu roti daging lagi. Dia menyuruhku makan lebih banyak agar aku tidak patah semangat untuk mencari pacar lagi.
"Aku beri tahu, pria yang suka nge-gym memang tampan, tapi nggak bisa diandalkan ... "
Saat aku sadar maksudnya, terbayang kembali momen Arga dan Lusi bermesraan di dalam kamar mandi.
Aku berkata sambil tersenyum pahit, "Nggak mau cari pacar lagi. Nggak ada pria yang bisa diandalkan."
Selama jalan-jalan di luar sepanjang hari, aku mendapatkan banyak informasi tentang Hutan Dhuma. Setelah itu, pulang ke rumah.
Ketika sedang mengemasi barang-barangku, Arga menendang pintu kamar.
Arga marah dan mengguncang bahuku dengan keras.
"Kenapa kamu mencelakai Lusi?"
"Kenapa kamu menaruh darah drakula di kue ulang tahun itu?"
"Kamu nggak pikir kalau Lusi berubah jadi drakula, dia akan menyerangku? Kamu sudah gila. Karena cemburu, kamu tega melakukan apa saja!"
Aku tidak mengerti maksudnya.
Arga menyeretku, lalu mendorongku ke depan sofa.
Wajah Lusi tampak pucat. Meski mulutnya ditutup lakban, gigi taringnya masih terlihat jelas.
Lusi adalah drakula!
Tidak heran, saat Lusi muncul di kawasan drakula, gerombolan drakula itu tidak menyerangnya.
Ternyata Lusi juga drakula!
Saat melihatku yang kebingungan, mata Arga memerah dan dahinya berkerut.
Tidak lama kemudian, telapak tangan Arga berubah menjadi cakar. Cakarnya mendorongku dekat dengan mulut Lusi.
"Kamu cemburu? Saat melihat dia berubah jadi drakula, kamu baru senang?"
"Kalau begitu, jadilah mangsanya!"
Mungkin karena mencium bau mangsa, gigi taring Lusi makin panjang.
Aku tidak punya kekuatan melawan.
Arga adalah manusia serigala, Lusi adalah drakula, sedangkan aku hanya manusia biasa. Sepertinya, aku akan mati.
"Arga, tapi aku adalah kekasih yang kamu pilih."
"Apa kamu tega padaku?"
Perasaan tidak terima membangkitkan kembali semangat hidupku. Tanda samar di dadaku bercahaya.
Ekspresi Arga langsung muram.
"Kamu ingin mengendalikan aku lagi?"
Tidak, bukan begitu. Kekuatan dari tanda ini bukan sesuatu yang bisa dikendalikan oleh manusia biasa sepertiku.
Saat nyawa pemilik tanda ini terancam, tanda itu akan secara otomatis memanggil pasangan manusia serigalanya untuk melindunginya.
Arga berdiri tepat di depanku, lalu Arga melepaskan penutup mulut Lusi.
Gigi taring itu menancap ke dalam pembuluh darahku.
Napas berbau amis terasa di telingaku. Rasa sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuh saat pembuluh darahku terkoyak.
Tubuhku kejang dan punggungku melengkung, sementara kukuku menancap erat di punggung tangan Arga.
Darah merah mengalir di sepanjang tulang selangkaku. Dari mata manusia serigala yang dalam dan gelap itu, aku melihat diriku sudah sekarat.
Padahal, tinggal sedikit lagi, aku akan bebas.
"Arga, jelas-jelas kamu yang memberiku tanda, kenapa kamu sekarang membenciku?"
"Apa sebenarnya kesalahanku?" pikirku.
Rasa tidak rela, kebencian, dan penyesalan memenuhi dadaku.
Andai saja ada orang misterius itu.
Apa aku masih bisa bertemu dengan orang misterius dari Hutan Dhuma?
Dalam kondisi setengah sadar, aku bergumam tidak jelas.
Aku melihat Arga sudah berubah menjadi serigala.
Dia menarikku dari tangan Lusi, kemudian menggoyangkan tubuhku dengan keras.
Cakarnya yang tajam menancap di punggungku, matanya terlihat bengis.
"Kamu minta tolong sama siapa?"
"Katakan, siapa dia?"
Pandanganku jadi gelap, kemudian jatuh pingsan.
Ketika tersadar, aku mendapati diriku berbaring di tempat tidur. Tangan dan kakiku diikat rantai besi.
Aku mendengar suara Arga sedang bicara dengan seseorang di luar, tiba-tiba nada suara Arga meninggi.
Pada saat ini, jendela terbuka, rantai besi yang mengikat tangan dan kakiku hancur jadi abu.
Aku berjalan perlahan ke jendela.
Ketika mendengar suara di kamar, Arga langsung masuk ke kamar. Wajah Arga tampak terkejut.
"Tandamu ... "
Aku menunduk. Tanda di dadaku memancarkan cahaya kecil beberapa kali, kemudian padam.
Aku tersenyum.
"Bukankah ini yang kamu mau?"
"Bukan, bukan itu maksudku. Bagaimana caramu melepas rantai besi pada tangan dan kakimu? Cepat kemari, di sana bahaya!"
Arga mengulurkan tangan ke arahku dengan tatapan penuh harap.
Namun, aku tidak mau.
"Maaf, sebaiknya aku pergi."
Setelah itu, aku tersenyum. Aku balik badan, kemudian melompat di tengah malam yang gelap.