Bab 7
Setelah menyelesaikan seluruh prosedur kepulangan dari rumah sakit, dengan alasan ingin makan bersama para sahabat, Yasinta membawa Yonan ke sana.
Baru saja masuk ke ruang VIP dan melihat Hardy serta Sheila duduk di tengah, raut wajah Yonan langsung muram, lalu dia berbalik hendak pergi.
Yasinta mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan kakaknya sambil membujuk beberapa kali, barulah dia mau duduk dengan setengah terpaksa.
Beberapa teman mereka terus memperhatikan ekspresi wajah keduanya, sesekali menyelipkan candaan untuk mencairkan suasana.
Memanfaatkan kesempatan itu, Sheila berinisiatif mendekati Yonan, nadanya penuh rasa bersalah.
"Kak Yonan, kejadian aku tercebur ke air di rumah sakit hari itu murni kecelakaan. Hardy hanya terlalu khawatir padaku, makanya dalam keadaan emosi dia melakukan hal-hal itu. Kalau kalian berdua sampai terus bersitegang hanya karena masalah kecil ini, aku dan Yasinta benar-benar merasa nggak enak hati."
Diberi jalan keluar seperti itu, raut wajah Yonan pun sedikit melunak, meski nada bicaranya masih terdengar dingin.
"Asal dia minta maaf pada Yasinta, aku nggak akan memperpanjang masalah ini."
Hardy melirik dingin, sikapnya juga sama sekali tidak melunak.
"Asal dia minta maaf pada Sheila, aku akan minta maaf padanya."
Keduanya hampir kembali bersitegang, beberapa teman segera maju untuk menengahi.
"Aduh, kita semua sudah saling kenal bertahun-tahun, kenapa harus sebegitu perhitungannya? Biar aku yang jadi penengah. Kalian minum segelas bersama, anggap saja urusan ini sudah selesai, bagaimana?"
Sheila yang pertama mengangkat gelas. Melihat itu, Hardy mengerutkan kening, segera berdiri, mengambil gelasnya, lalu meneguk habis isinya.
Setelah itu, dia meletakkan gelas kosong tersebut di depan Yonan.
Barulah Yonan ikut meminum segelas, dan suasana di ruangan pun mulai mencair.
"Hardy, kamu segitu nurutnya sama Sheila. Nanti kalau kami mau ajak kamu minum, apa harus tanya dia dulu boleh atau nggak?"
Mendengar godaan itu, wajah Sheila langsung memerah, tanpa sadar dia mendorong Hardy pelan.
Barulah tersungging sedikit senyum di wajahnya, lalu dia berbicara santai.
"Sheila sedang menstruasi, nggak bisa minum alkohol. Sebagai calon suami, bukankah wajar kalau aku yang turun tangan? Nanti setelah kami menikah, ke mana pun aku pergi dan apa pun yang kulakukan, melapor padanya itu hal yang wajar. Apa yang perlu diributkan?"
Mendengar ucapannya, orang-orang di ruangan itu langsung menutup mulut sambil terkekeh.
"Sheila memang hebat. Sampai-sampai pangeran elite Kota Jindaya yang biasanya dingin dan angkuh ini bisa dibuat patuh pada istri. Manis sekali, benar-benar mesra."
Yasinta duduk di samping, diam-diam mendengarkan candaan mereka, dan mendapati bahwa hatinya tidak lagi terasa sesakit dulu.
Menghadapi tatapan penuh kekhawatiran dari Yonan, dia tersenyum lembut, memberi isyarat bahwa dirinya baik-baik saja.
Tak lama kemudian, semua orang ramai mengajak bermain gim. Sheila tidak bisa bermain dan berturut-turut kalah lebih dari sepuluh ronde.
Menghadapi satu meja penuh minuman hukuman untuknya, Hardy sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak sabar, malah tersenyum dan meminum semuanya.
Melihatnya menenggak gelas demi gelas tanpa lelah, Yasinta diam-diam bangkit dan pergi ke kamar kecil sendirian.
Setelah mencuci tangan dan hendak kembali ke ruang VIP, dia mendengar suara yang terasa sangat akrab dari lorong.
"Sayang, kamu tahu? Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi kamu selalu bersikap dingin padaku. Aku kira kamu hanya menganggapku sebagai teman, jadi aku nggak pernah berani menyatakan perasaan. Aku hanya bisa berada di dekatmu. Tahun demi tahun berlalu, dan ternyata mencintai seseorang benar-benar bisa membuat orang terus diliputi rasa cemas dan takut kehilangan ... "
Hardy yang sudah setengah mabuk, bersandar di bahu Sheila.
Wanita itu menopangnya, matanya penuh rasa malu, suaranya terdengar manja.
"Jadi karena itu kamu memikirkan cara ini, sengaja menjadikan Yasinta sebagai kedok, lalu menjadikanku pacarmu? Kamu begitu menyukaiku?"