Bab 2 Minta Uang
Sekarang aku memang terlihat seperti hantu.
Tiga bulan lalu kankerku kambuh lagi, dan kini tubuhku tinggal kulit pembungkus tulang.
Lihat saja Cesilia, dia memang terlihat polos dan manis. Wajah bulat dan mata besar, sangat mirip diriku saat masih kuliah.
Dibandingkan dengannya, aku bukan hanya tidak cantik, tetapi juga penuh aura kematian.
Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku mungkin sudah hampir mati.
Seorang rekan kerja mengingatkannya dengan suara pelan, "Pak Sedrick sangat mencintai istrinya, jangan cari masalah, nanti kamu yang rugi."
Lihat, semua orang mengira Sedrick sangat mencintaiku.
Namun, tak ada yang tahu, dia justru mengharapkan kematianku.
Cesilia mencibir, lalu langsung mengubah ekspresi wajahnya dengan menampilkan senyuman.
"Kak Joselin, Pak Sedrick sedang ada rapat video yang sangat penting, nggak menerima tamu sembarangan."
"Kalau kamu ada perlu, aku bisa bantu sampaikan sekarang juga."
Maksudnya tersirat dengan jelas, dia bisa keluar masuk kantor Sedrick sesuka hati, dia sedang memamerkan dirinya.
Dia memang cantik saat tersenyum, kalau saja bisa mengabaikan raut licik di matanya.
Dan senyum itu, memang sangat mirip diriku dulu.
Tak heran Sedrick memperlakukannya berbeda.
Dulu, entah itu selingkuhan atau asisten pribadi Sedrick, semuanya cuma dipermainkan sebentar.
Dia lebih sering hanya mengetes reaksiku.
Awalnya aku masih melawan, bertengkar dengannya.
Namun aku sadar, makin aku melawan, dia malah makin menjadi-jadi.
Akhirnya aku memilih pura-pura tak melihat apa pun.
Sampai akhirnya, sekalipun dia membawa wanita lain ke rumah dan berbuat tak senonoh di depan mataku, aku tetap tenang dan bahkan membantu mereka berdua menutup pintu.
Namun, Cesilia belum pernah dibawa ke rumah, aku juga tak pernah melihat mereka bersama.
Namun, di grup kantor, aku sering melihat gosip tentang mereka.
Nonton film berdua, makan malam romantis, pakai baju kopel ....
Aku tahu, Sedrick benar-benar jatuh cinta, bukan sekadar main-main.
Semua ini, aku pun pernah mengalaminya semasa kuliah.
Aku langsung duduk di kursi, lalu menatap Cesilia.
"Nggak apa, aku bisa menunggunya di sini."
"Dan tolong buatkan aku secangkir kopi, pakai gula dan susu, terima kasih."
Cesilia tak menyangka aku setenang itu, ekspresi wajahnya langsung berubah.
"Kamu pikir kamu siapa? Berani-beraninya menyuruhku buat kopi?"
"Kamu siapa?"
Aku menatapnya tenang, tanpa emosi.
Dia langsung terdiam, wajahnya memerah.
Sikap sombong dan agresifnya itu, benar-benar mirip diriku dulu.
Sedrick benar-benar tahu cara memilih orang.
Namun, rekan di sekitarnya langsung buru-buru menuangkan kopi untukku dan menyajikannya.
Aku mendengar Cesilia mengumpat, "Penjilat," dan rekan itu langsung kabur dengan wajah merah padam.
Aku terkekeh ringan. "Jadi Nona Cesil juga tahu kalau statusmu sebenarnya nggak layak tampil di depan umum, ya?"
Entah kata mana yang menyakitinya, Cesilia langsung menangis dan berteriak.
"Kamu bilang siapa yang tak layak tampil di depan umum? Yang nggak dicintai, itulah selingkuhan!"
"Pak Sedrick sudah lama nggak mencintaimu, kamulah yang terus memaksakan diri!"
"Lihat dirimu sekarang, siapa yang bisa mencintaimu?"
Sambil berkata, dia berjalan mendekat dan berusaha menarikku berdiri.
Aku menggelengkan kepala dengan lelah, gadis muda memang penuh emosi, padahal aku tak datang untuk bertengkar dengannya.
Keesokan harinya setelah ulang tahun pernikahan kami yang pertama, Sedrick membawa dua wanita bule pulang, dan saat itu hatiku sudah mati.
Menghabiskan sisa hidupku yang tinggal sedikit hanya untuk memarahinya, sungguh tak pantas.
Dua rekan di sebelah yang melihat situasi memanas, segera menahan Cesilia.
Cesilia hanya sempat meraih cangkir kopi di depanku, cangkir itu jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping.
Tangan Cesilia terkena pecahan dan terluka sedikit, dirinya segera menangis.
Aku melihat noda kopi di bajuku, untung hari ini aku pakai baju hitam, jadi tak terlalu kelihatan.
"Joselin, aku tak menyangka kamu sejahat ini! Kenapa kamu harus menyerangku?"
Suara Sedrick terdengar, aku mendongak, dia sudah memeluk erat Cesilia.
Lukanya tak dalam, hanya sedikit darah yang terlihat, tetapi Sedrick tampak sangat panik.
"Kalian semua mati rasa, ya? Cepat ambil kotak P3K!"
"Hubungi dokter pribadiku, suruh segera datang ke kantor!"
Aku menatap datar drama di depanku, dan tatapan penuh kemenangan dari Cesilia.
Aku tak mengerti, apa yang dia banggakan? Dicintai oleh pria sebusuk ini, apa membanggakan?
Mungkin tatapanku yang dingin membuatnya kesal, matanya memerah lagi, dan suara tangisnya makin menyedihkan.
"Pak Sedrick, maafkan aku, ini semua salahku, sampai membuat Kak Joselin marah."
"Tapi, aku tak bisa mengendalikan perasaanku, apa mencintai seseorang itu salah? Apa salah kalau kami saling mencintai?"
Dia menangis dengan begitu indah, butiran air matanya jernih berkilau, membuat siapa pun yang melihatnya ikut merasa iba.
Sedrick menghapus air matanya dengan penuh kasih, lalu menatapku tajam.
"Kenapa kamu datang ke sini? Bukankah kamu sudah lama nggak kerja?"
Aku tertawa kecil, jadi pria ini masih tahu aku sudah lama tidak masuk kantor, ya?
Aku bangkit berdiri, menatap pasangan sialan di bawah sana.
"Sedrick, aku butuh 200 juta, hari ini juga harus masuk ke rekeningku. Kalau nggak ...."
"Kalau nggak apa?"
Sedrick menggertakkan gigi, menatapku seolah aku musuh besarnya.
Aku tersenyum, menunjuk ke kalung berlian di leher Cesilia.
"Itu termasuk harta bersama kita dalam pernikahan, 'kan? Secara hukum, aku punya hak untuk menuntut kembali."
"Kasih waktu setengah jam, kalau uangnya belum masuk, aku akan melapor polisi. Terserah kamu."