Bab 1
Dia bilang dia takut dan tidak mau masuk penjara, jadi dia bertanya apakah aku bisa menggantikannya.
Dia berjanji akan menungguku sampai aku bebas dan membangun hidup bahagia bersama.
Tapi enam tahun kemudian, ketika aku keluar, dia tidak datang.
Hanya menyuruh asistennya mengirimkan surat perjanjian cerai.
Dia bilang dia adalah CEO. Dan aku sebagai mantan napi adalah noda dalam hidupnya.
Dia sedang dalam puncak kariernya, tidak mau terpengaruh berita negatif sedikit pun.
Tapi, tidak lama setelah aku tanda tangan perceraian.
Dia menyesal.
"Maaf, kita cukup sampai di sini saja."
...
"Setelah keluar, jadilah orang baik. Jangan kembali lagi."
Kepala penjara menepuk bahu Seno Lufar, lalu berbalik menutup pintu gerbang.
Seno menatap ke atas, sinar matahari yang menyilaukan membuatnya kesulitan membuka mata.
"Sudah enam tahun, akhirnya aku bebas."
Brum!
Suara menderu mesin mobil terdengar. Sebuah Rolls-Royce melaju kencang dan berhenti di depan Seno.
Beberapa detik kemudian, jendela kursi belakang terbuka, memperlihatkan wajah anggun dengan kacamata hitam yang terlihat serius dan dingin.
"Pak Seno, silakan naik."
Mungkin karena melihat wajah yang dikenalnya, Seno merasa terharu dan berkata sambil tersenyum.
"Jennie, sudah enam tahun nggak ketemu, kamu semakin cantik. Sekarang sudah naik mobil mewah. Dulu waktu kamu kujadikan sekretaris Vivi, kamu masih karyawan junior."
Begitu kata-kata Seno keluar, mata Jennie Caesar di kursi belakang langsung menunduk.
"Vivi mana? Dia nggak menjemputku?"
Melihat hanya Jennie seorang di dalam mobil, Seno tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Jennie mengangkat tangannya, lalu melempar sebungkus pakaian.
"Bu Vivian punya rapat penting hari ini dan mengirimku untuk menjemputmu. Pakaianmu bawa sial. Ganti dulu sebelum masuk. Awal yang baru untuk memulai hidup baru."
Meskipun tidak ada orang di depan penjara, Jennie jelas bermaksud meminta Seno berganti pakaian di jalan.
Seno mengerutkan alisnya, menyadari sikap dingin Jennie. Tapi keinginannya untuk bertemu Vivian membuatnya tetap diam. Dia melepas pakaiannya dengan kasar, memperlihatkan dada yang penuh bekas luka.
Setiap luka terlihat sangat mengerikan, menjadi bukti atas penderitaan selama enam tahun ini.
Duduk di dalam mobil, Seno tak henti-hentinya mengagumi perubahan Kota Sarvo selama enam tahun ini di luar jendela.
"Sudah enam tahun, Vivi pasti sudah sukses, ya?"
"Krisan Farma adalah perusahaan farmasi terbesar di Kota Sarvo dan termasuk tiga besar perusahaan di Kota Sarvo."
Suara Jennie yang datar mengandung kebanggaan yang tak terucap.
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu! Sejak dulu sudah kubilang, Vivi pasti bisa. Sekarang sudah siang, antarkan aku ke pasar dulu, aku mau masak iga asam manis kesukaannya ... "
Seno belum selesai bicara, Jennie langsung memotong.
"Bu Vivian menyuruhku membawamu ke Hotel Imperial untuk mandi dulu."
Dengan itu, Jennie memalingkan kepala, enggan melanjutkan percakapan dengan Seno.
Beberapa saat kemudian, mobil mewah itu berhenti di Hotel Imperial Kota Sarvo. Jennie langsung membawa Seno ke kamar suite presidential di sana.
Di dalam suite, delapan pria dan wanita berpakaian jas rapi sudah menunggu. Mereka segera berdiri saat melihat Jennie masuk.
"Bu Jennie!"
Melihat situasi ini, Seno memiliki firasat buruk. Tapi dia hanya bisa meminta semua orang menunggu sebentar, menjelaskan bahwa dia perlu mandi terlebih dahulu sebelum membahas hal-hal penting.
Setengah jam kemudian, Seno keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Semua orang di kamar terkejut. Tubuh pria itu atletik, tinggi 185 cm, dengan wajah tampan yang gagah. Benar-benar pria yang pantas menjadi suami Bu Vivian.
Jennie tertegun sejenak, mengangkat tangan ke arah Seno, lalu berbalik dengan senyum profesional.
"Pak Seno, ini tim pengacara profesional perusahaan kami. Silakan duduk."
Krisan Farma didirikan oleh Seno dan Vivian. Dalam hal strategi dan kecerdikan, Seno jauh lebih unggul daripada Vivian.
Dari situasinya saat ini, Seno sudah menyadari sesuatu.
Dia duduk di kursi dengan ketenangan yang tak tergoyahkan, sambil tertawa ringan.
"Nggak usah pura-pura lagi. Apa yang mau kalian katakan?"
Jennie tidak banyak bicara, hanya mendorong sebuah perjanjian ke arah Seno.
"Pak Seno, ini perjanjian cerai antara kamu dan Bu Vivian. Ada sebuah properti seluas 150 meter persegi dengan perabotan lengkap akan dialihkan atas namamu, dan Bu Vivian akan memberikan tambahan dua miliar tunai."
"Setelah tanda tangan, semua yang tercantum di situ akan menjadi milikmu. Kalau kamu punya permintaan lain, kita bisa bicarakan lagi. Delapan orang ini adalah pengacara senior yang akan mengevaluasi dan menyampaikan ... "
Suara-suara di sekitarnya seolah memudar. Seno mengangkat perjanjian cerai itu dalam diam.
Pada saat ini, dia hanya bisa tersenyum pahit.
"Kalian nggak terlihat seperti ingin berdiskusi denganku."
Di kota yang cukup besar sekelas Kota Sarvo, satu rumah ditambah uang dua miliar adalah tawaran yang sangat menguntungkan, apalagi bagi Seno yang baru keluar dari penjara.
Jennie batuk kecil, setiap gerak-geriknya penuh dengan kesombongan.
"Jujur saja, Pak Seno, nggak perlu tawar-menawar lagi. Dengan noda enam tahun penjara dalam riwayat hidupmu, kamu merasa layak berdiri di samping CEO terkemuka Kota Sarvo?"
"Enam tahun telah berlalu, perasaan juga sudah lama hilang. Tawaran baik-baik ini sudah yang terbaik untukmu."
Kata 'noda' seperti pedang yang menikam jantung Seno.
Seno tidak marah dan meletakkan perjanjian itu.
"Kalau aku nggak menanggung kesalahan untuknya, dialah yang harusnya dipenjara."
"Cerai? Benar-benar tawaran yang sangat murah hati."
Jennie menghela napas.
"Pak Seno, nggak ada gunanya membahas masa lalu atau memikirkan hal-hal yang sepele. Catatan kriminalmu itu fakta yang nggak bisa diubah."
"Coba pikirkan sendiri, kehidupan apa yang menanti seseorang yang baru keluar dari penjara? Nggak semua orang seberuntung kamu, punya mantan istri seperti Bu Vivian yang bersedia memberikan rumah dan uang sebagai jaminan sisa hidupmu."
"Meneruskan perselisihan ini hanya akan membuatmu berada dalam posisi yang merugikan. Kamu akan menanggung malu sendiri."
Menjadi orang kepercayaan Vivian, Jennie juga sangat pandai bicara.
Seno dulu merekomendasikan Jennie sebagai sekretaris Vivian karena melihat kelebihannya ini.
Seno memalingkan wajah dan menyalakan rokok.
"Kalau mau bercerai, silakan, tapi suruh Vivian yang datang sendiri."
"Mengirim bawahan untuk negosiasi perceraian denganku, menawarkan rumah dan uang? Haha, dia kenal aku orang seperti apa."
Tak lama setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, suara dentuman menggema di ruangan.
Pintu depan terbuka lebar.
Semua orang kecuali Seno berdiri.
"Bu Vivian!"
"Kalian semua keluar dulu."
Kecuali Jennie, yang lain bergegas pergi.
Seno sudah lama menduga Vivian pasti ada di tempat, hanya tidak mau muncul.
Enam tahun telah menghilangkan semua jejak kekanak-kanakan dalam diri Vivian. Wanita itu mengenakan gaun hitam yang pas di badan. Riasannya rapi dan elegan. Kalung mutiara di lehernya dan gelang giok di tangannya memancarkan keanggunan.
Tapi Seno hanya merasa Vivian sangat asing.
Vivian Marva yang dulu memiliki senyum yang manis. Setiap kata dan tindakannya ramah dan lembut.
Kini, hanya kedinginan dan kesombongan yang tersisa.
"Aku di sini. Silakan tanda tangan. Kamu enam tahun lalu menanggung kesalahan secara sukarela. Aku nggak pernah memaksamu."
Setelah duduk, Vivian menghindari kontak mata dengan Seno.
Seno telah membayangkan seribu hal yang mungkin dikatakan Vivian saat dia dibebaskan, tapi bukan ini ...
"Vivian, kalau aku nggak menggantikanmu menanggung kesalahan, kamu yang akan masuk penjara!"
"Aku menjalani enam tahun penjara untukmu, dan sekarang kamu pikir aku adalah aib?"
Vivian tidak menoleh, hanya menggelengkan kepala mendengarkan semuanya.
"Yang paling kubenci adalah sifatmu yang plin-plan dan sok tahu itu."
"Buka matamu dan lihat aku. Aku CEO Krisan Farma. Ini semua hasil jerih payahku sendiri setelah kamu masuk penjara! Di saat aku paling membutuhkanmu, kamu nggak ada di sampingku. Kamu nggak bisa apa-apa."
Kata-kata itu menghantam Seno seperti petir.
Dia telah mengabaikan omongan semua orang dan masuk penjara menggantikan Vivian!
Mengorbankan enam tahun masa mudanya yang berharga, tapi yang dia dapat hanya pengkhianatan!
"Tahu nggak, setiap orang tanya siapa suamiku, aku bahkan malu mengatakannya. Perusahaanku sebentar lagi masuk ke bursa saham. Aku nggak bisa membiarkan apa pun menodainya. Bagi orang luar, kamu cuma mantan napi. Apa perlu aku bicara lebih kasar lagi?"
Mendengar ini, Seno akhirnya mengerti.
Seno menengadah ke atas dengan senyum getir, senyum yang penuh kesedihan dan penderitaan.
"Dua miliar masih kurang? Aku beri sepuluh miliar. Seno, semuanya sudah berubah. Kamu sudah terlalu lama di penjara dan terpisah dari masyarakat, jadi anggap saja uang ini sebagai rasa bersalahku. Tanda tangani saja."
Kata-kata Vivian tegas dan memerintah seperti seorang pemimpin.
"Jadi menurutmu, semua kesetiaan yang aku tunjukkan padamu hanya bernilai sepuluh miliar?"
Seno berdiri, suaranya dingin.
"Vivian, sekarang kamu CEO yang sukses, jadi aku nggak pantas berdiri di sampingmu, begitu?"
Vivian tidak marah, hanya menggelengkan kepala dan mendesah.
"Seno, kamu masih terlalu kekanak-kanakan. Kamu nggak perlu mengejekku atau bicara macam-macam. Kamu bisa menolak tanda tangan. Nanti aku suruh pengacaraku yang mengurusnya."
"Kita cukup sampai di sini saja." Setelah mengatakan itu, Vivian berbalik dan hendak pergi.
"Cukup sampai di sini?" Mata Seno menjadi gelap.
"Ya." Vivian tiba-tiba menoleh.
"Orang yang terlalu lemah hanya akan menghambat kesuksesanku."
Terlalu lemah?
Haha.
Jika bukan karena Seno, bagaimana mungkin bisnis Krisan Farma berkembang sebesar ini?
Vivian menikmati semua yang diberikan Seno, tapi akhirnya malah menyebut Seno terlalu lemah!
Sambil menandatangani surat perceraian, Seno berkata.
"Rumah atau uang, aku nggak mau apa pun. Kamu bebas. Sebelum pergi, aku mau ke rumah yang dulu kita tinggali dan membereskan barang-barang. Besok lusa pagi-pagi, temui aku di kantor catatan sipil."
Melihat Seno tanda tangan, tubuh Vivian gemetar entah kenapa, tapi dia hanya mengatupkan bibirnya.
"Oke." Vivian menyerahkan perjanjian itu kepada Jennie, ekspresinya tetap dingin seperti biasa.
Seno berjalan ke pintu, berhenti sejenak, merasakan ketidakpedulian Vivian, dan bertanya pelan.
"Kalau aku bilang, aku cuma ingin menjalani hidup yang biasa-biasa saja, apa kamu percaya?"