Bab 5
Mendengar ucapan Siska, Sania menatapnya dengan wajah yang tidak percaya.
Dia tidak menyangka, Siska bisa berpikir seperti itu tentang dirinya!
Di mata ibunya, apakah dia memang sehina itu?
Sania tersenyum pahit. "Kalau aku punya kemampuan itu, apa aku masih akan berdiri di sini dan ditampar Ibu?"
Dia terdiam sejenak, menarik napas panjang, lalu kembali menatap Siska dan berkata perlahan, "Ibu, kamu percaya atau nggak, aku sama sekali nggak menjelekkan Kakak di depan Produser Harvey."
"Aku bahkan nggak tahu kalau Kakak ikut uji suara Bunga Kabut."
Mendengar itu, Siska malah makin marah dan matanya membesar. "Masih pura-pura! Kakakmu sudah umumkan itu di grup WhatsApp! Masih berani bilang kamu nggak tahu!"
Saat ini, Luna pun berbicara, "Sudah, Ibu, jangan marah lagi. Aku yakin Sania pasti nggak sengaja. Aku sudah memaafkannya. Ibu jangan menyalahkannya lagi."
Sania menatap Luna sebentar.
Buatnya, kalimat yang terdengar seolah baik itu justru sangat palsu.
Sekarang, meskipun dia menjelaskan kalau dia tidak pernah membuka grup WhatsApp keluarga dan tidak melihat pesan itu, Siska pasti tidak akan percaya.
Siska sudah sangat yakin kalau dirinya mengatakan sesuatu pada Produser Harvey sehingga Luna gagal. Jadi penjelasannya tidak akan ada gunanya.
Siska menunjuk Luna, lalu menghardik Sania, "Lihat kakakmu! Dia begitu pengertian! Kamu sudah memperlakukannya seperti itu, dia masih membelamu!"
"Dia begitu baik padamu, bagaimana kamu tega memperlakukannya seperti ini? Di mana hati nuranimu?"
Baik padanya? Huh ....
Kalau bukan karena kejadian sebelumnya, Sania mungkin benar-benar mengira kalau Luna adalah kakak yang baik!
Sebelum Sania sempat bicara, pertanyaan Siska kembali meledak. "Kalau kamu bersikeras bilang bukan kamu membicarakan apa pun di depan Produser Harvey, aku tanya, untuk apa kamu ke sana?"
Tenggorokan Sania tercekat, suaranya terdengar pelan. "Aku bisa saja ke sana karena kami berteman, jadi pergi mengobrol dengannya atau bisa juga karena dia mengundangku melihat studio rekaman."
"Ada seribu alasan kenapa aku bisa ada di sana. Tapi kenapa Ibu berpikir aku ke sana untuk mencelakai Kakak?"
Saat mengatakan ini, Sania menatap Luna. "Apa Kakak yang bilang begitu pada Ibu?"
Seketika wajah Luna menunjukkan ekspresi terluka. "Sania, kamu ... kamu bahkan mencurigaiku? Aku ... aku ...."
Siska semakin marah. "Cukup! Di saat seperti ini kamu malah masih ingin mencoba menimpakan kesalahan pada kakakmu! Kalau bukan karena teman kakakmu kebetulan melihatmu bertemu Produser Harvey, kita pasti masih ditipu olehmu!"
Mendengar itu, mata Sania sedikit menyipit.
Ternyata benar, Luna yang menghasut ibunya.
Siska maju meraih baju Sania, menariknya mendekat dan berkata tegas. "Minta maaf! Kamu harus membungkuk minta maaf pada kakakmu! Lalu pergi temui Produser Harvey, suruh dia undang kakakmu kembali!"
Setiap kata Siska seperti pisau yang menusuk hati Sania.
Ibunya memang berat sebelah seperti ini.
Padahal ....
Padahal Sania adalah putri kandungnya, sedangkan Luna hanyalah anak angkat Keluarga Ravan ....
Sania menundukkan kepala, menarik napas panjang dan akhirnya berkata dengan suara rendah, "Mau Ibu percaya atau nggak, aku nggak melakukan hal itu."
"Hal yang nggak aku lakukan, aku nggak akan aku, apalagi minta maaf."
"Kamu ... kamu!" Mendengar itu, Siska semakin marah dan tangannya terangkat lagi.
Luna buru-buru menahannya dan segera berkata, "Ibu! Jangan! Jangan pukul Sania! Aku sudah memaafkannya! Tenanglah, Ibu!"
Urat di pelipis Siska menegang karena marah. Dia menunjuk Sania dan berteriak, "Sania! Kalau kamu nggak mau minta maaf pada kakakmu, jangan kembali ke rumah ini lagi!"
Mendengar itu, Sania langsung mendongak dan menatapnya dengan tidak percaya.
Pada akhirnya, ibunya tetap tidak percaya padanya.
Dia tidak akan minta maaf.
Tidak mungkin.
Raut wajah Sania kembali tenang. Dia berbalik dan pergi, tanpa berkata apa-apa lagi.
Melihat itu, pupil mata Luna mengecil.
Sania ternyata tidak mau tunduk?
Kalau dulu, begitu mendengar ancaman ibunya, dia pasti sudah minta maaf.
Tapi kali ini ....
Siska juga terkejut. Dia pikir Sania akan tunduk, tapi tidak diduga ....
Dia merasa sangat malu seperti ditampar.
Amarah Siska membuncah, dia bergegas ke meja mengambil tutup cangkir, lalu melemparkannya sekuat tenaga ke punggung Sania!
"Buk!"
Tutup cangkir itu menghantam tulang belikat kanan Sania.
Sania tidak menyangka ibunya bisa melakukan hal seperti itu. Rasa sakit membuat tubuhnya terhuyung ke depan.
Dia hampir jatuh, tapi akhirnya berhasil berdiri stabil lagi.
Rasa sakit di bahunya sangat menusuk. Tapi rasa sakit itu tetap tidak ada apa-apanya dibanding luka di hatinya.
Luna pura-pura terkejut, berseru kaget sambil menutup mulutnya, "Sania! Kamu nggak apa-apa?"
Siska masih menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Dia menatap punggung Sania dengan dingin dan mengancamnya. "Pergi! Kalau kamu berani, pergi saja! Jangan pernah kembali!"
Mendengar kata-kata itu, mata Sania seketika memerah.
Dia menahan air mata dengan susah payah dan berjalan keluar dengan mantap dan penuh tekad.
"Sania!"
"Biarkan dia pergi! Aku mau lihat seberapa keras kepalanya dia!" Suara Siska yang kejam terdengar dari belakang.
Keluar dari vila dan kembali ke dalam mobil, air mata Sania akhirnya tidak bisa ditahan lagi, mengalir deras dari matanya.
Dia mengangkat tangan, menekan bagian dadanya.
Bagian itu terasa perih.
Seperti ada sebilah pisau yang terus mengiris dagingnya.
Kenapa dia harus diperlakukan seperti itu?
Dia adalah putri kandung ibunya! Kenapa ibunya tidak mau memberinya sedikit saja kepercayaan?
Apa karena dia tidak tumbuh besar di sisi ibunya sejak kecil?