Bab 6
"Kontrak rumah?" Nada Arga terdengar dingin, penuh dengan kecurigaan.
"Arga ... " Salsa tiba-tiba menyandar ke dadanya, suaranya lembut dan lemah. "Aku pusing. Bau rumah sakit bikin aku nggak nyaman. Kita pulang saja, ya ... sekalian antar Aluna. Nggak baik membiarkan dia pulang sendirian."
Ucapan itu seketika memotong pertanyaan Arga dan sekaligus menutup kesempatan Aluna untuk menjelaskan.
Perhatian Arga langsung tertuju pada Salsa. Melihat wajahnya yang pucat, dia pun mengesampingkan kecurigaannya pada dokumen tadi. "Baik, kita pulang sekarang."
Dia merangkul Salsa dan melangkah pergi. Sambil berjalan, dia menoleh ke Aluna dan berkata dengan nada tegas yang tak bisa ditolak. "Kamu ikut."
Aluna menggenggam erat dokumen di tangannya dan menatap punggung mereka. Akhirnya, dia hanya bisa mengikuti mereka tanpa sepatah kata pun.
Dari kursi belakang mobil, Aluna menyaksikan sendiri betapa perhatiannya Arga pada Salsa.
Dia dengan telaten membantu Salsa menyesuaikan bantal sandaran, menggenggam tangannya yang agak dingin di telapak tangannya sambil mengembuskan napas hangat, lalu berbisik pelan menanyakan apakah suhu AC-nya sudah sesuai.
Perhatian sedetail itu belum pernah Aluna terima sebelumnya.
Dulu, Arga memang memanjakannya, tetapi lebih ke posesif dan semena-mena. Saat sedang senang, Arga bisa saja memberinya bintang-bintang di langit; namun ketika tidak sabar, dia bisa mengabaikannya begitu saja.
Arga tidak pernah memperlakukan Aluna seperti Salsa sekarang, yang dijaga dengan penuh kehati-hatian, diperhatikan setiap saat, seolah sedang menjaga sebuah harta yang berharga.
Aluna diam-diam menarik kembali pandangannya, lalu menatap ke luar jendela, ke arah pemandangan jalanan yang melesat mundur dengan cepat.
Tak apa.
Dengan adanya seseorang yang bisa mengendalikan Arga, membuatnya menahan diri dan berhenti melakukan hal-hal ekstrem itu, Jordan seharusnya juga bisa merasa tenang.
Bisa dibilang, tugasnya pun telah selesai, meski dengan cara yang berbeda.
Mobil melaju memasuki jalan tol lingkar kota.
Tiba-tiba, dari depan terdengar rintihan Salsa yang terdengar agak tidak normal.
"Hmm ... Arga ... panas sekali ... " Suara Salsa berubah menjadi desahan, tangannya terus-menerus menarik kerah pakaiannya sendiri, sementara pipinya memerah dengan rona yang tidak biasa.
Arga segera menyadari ada yang tidak beres dan menahan tubuhnya. "Salsa? Ada apa denganmu?"
"Aku nggak tahu ... rasanya panas sekali dan nggak nyaman ... seperti ada semut merayap di dalam tubuhku ... " Pandangan Salsa mulai kabur, napasnya kian tersengal, dan dengan tak berdaya, dia merapat masuk ke pelukan Arga.
Wajah Arga langsung menggelap. Dia segera menepikan mobil ke bahu jalan darurat.
Dia menangkup wajah Salsa dan memeriksanya dengan saksama. Tatapannya seketika menjadi dingin dan tajam. "Siapa yang memberimu obat?"
Salsa menggeleng polos, air mata mengalir turun. "Nggak ada ... nggak ada yang memberiku obat ... hanya saja saat naik mobil tadi, aku merasa aroma parfum di saku jasmu harum sekali, jadi ... jadi aku menyemprotkannya sedikit ke tubuhku ... "
Sambil berkata begitu, dia merogoh saku dalam jas Arga, lalu menyerahkan sebuah botol kaca kecil ke tangannya.
Aluna melirik sekilas, dan jantungnya langsung berdegap keras.
Itu sama sekali bukan parfum.
Itu adalah obat perangsang!
Dulu, saat mereka masih bersama, Arga memiliki hasrat yang kuat dan stamina yang luar biasa. Aluna pun sering kali tidak sanggup mengimbanginya. Dia bahkan beberapa kali sampai pingsan di saat mereka tengah berhubungan intim. Saat itulah, Arga menggunakan benda ini agar Aluna bisa lebih larut dan bercinta lebih lama.
Jelas Arga juga mengenalinya. Wajahnya seketika berubah sangat pucat.
Efek obat ini sangat kuat, dan terlebih lagi hanya bisa diredakan lewat hubungan intim.
Salsa sudah begitu tersiksa hingga mulai terisak pelan, dan tubuhnya bergerak gelisah tanpa sadar.
Arga melirik arus kendaraan yang melaju kencang di luar mobil, lalu menatap Salsa di dalam pelukannya yang kesadarannya kian memudar. Hampir tanpa ragu, dia segera mengambil keputusan.
Dia membuka pintu kursi pengemudi dan menoleh ke arah Aluna. "Kamu yang nyetir."
Aluna tertegun sesaat, lalu seketika memahami maksudnya.