Bab 4
Suara DJ di dalam ruang VIP begitu keras sehingga orang di dalam toilet sama sekali tidak bisa mendengar teriakan minta tolongku.
Laki-laki mesum itu memanggulku dengan tubuhnya yang goyah sambil menggerutu, "Meski kamu dipesan Devan, kamu tetap cuma perempuan penghibur! Dia itu tipe pria yang cuma peduli baca buku dan jadi orang suci, mana mungkin dia melirik perempuan seperti kamu? Di matanya, kamu itu nggak punya masa depan, kotor, dan rendahan! Kamu masih berharap dia akan menolongmu?"
Seluruh tubuhku berusaha keras memberontak. Tinju-tinjuku menghantam tubuhnya bagaikan hujan yang jatuh bertubi-tubi.
Aku masih perawan. Aku tidak bisa membiarkan laki-laki menjijikkan seperti ini merenggutnya.
Melihat diriku hampir saja dibawa masuk ke dalam ruangan, sementara pintu toilet tetap tidak ada tanda-tanda akan terbuka, aku sudah tidak peduli apa pun lagi. Aku langsung membuka mulut dan menggigit telinga laki-laki mesum itu.
Terdengar suara erangan tertahan dari pria itu karena kesakitan. Detik berikutnya, tubuhku langsung dibanting ke lantai. Aku tidak punya waktu untuk merasakan seluruh rasa sakit yang menjalar dari benturan itu. Aku buru-buru merangkak bangun dengan tangan dan kakiku.
Namun sebelum aku sempat berdiri, laki-laki mesum itu sudah menarik rambutku dengan kasar dan menyeretku ke arah ruangan.
"Sialan, berani-beraninya kamu menggigitku! Dasar jalang! Lihat saja, malam ini akan kubuat kamu hancur!"
Aku diseret masuk ke dalam ruangan gelap itu. Dia bahkan belum menutup pintu, lalu langsung menampar wajahku dua kali. Tamparannya sangat keras sampai mulutku berdarah, dan kepalaku langsung terasa pusing.
Pandangan mataku sempat gelap beberapa detik. Gerakan pria itu semakin kasar dan tidak tahu malu. "Bisa meniduri perempuan seperti kamu adalah keuntungan besar bagiku!"
Ucapan menjijikkannya membuatku langsung sadar. Aku berusaha sekuat tenaga mencengkeram tangannya, mencoba menghentikan gerakannya.
Tapi kekuatanku jelas tak sebanding dengannya. Di saat itu, aku benar-benar merasa seperti ingin mati saja.
"Profesor Devan ... cepat keluar ... tolong aku ... "
Aku menangis dan memanggilnya berkali-kali dengan putus asa.
Aku tahu harapan itu sangat tipis, dan hampir tidak ada. Tapi di kepalaku saat ini, satu-satunya bayangan yang muncul hanyalah dirinya dan namanya.
Melihat aku menangis tersedu-sedu seperti bunga di hujan, si pria mesum itu justru semakin bersemangat. "Masih memanggil-manggil Profesor Devan? Bisa jadi dia sekarang sudah dikerubungi perempuan lain. Sebentar lagi dia akan mewarisi Grup Kardian. Berapa banyak perempuan yang ingin memilikinya? Kamu jelas nggak punya kesempatan itu. Tapi, kalau malam ini kamu melayaniku dengan baik, aku juga nggak akan menyia-nyiakanmu."
"Ah!"
Aku berteriak ketakutan, mengeluarkan jeritan yang memilukan.
Tiba-tiba, tubuhku mendadak ringan. Pria mesum itu terjatuh di sampingku sambil menutup bagian belakang kepalanya, menahan rasa sakit.
Aku masih belum tahu apa yang terjadi. Yang kulihat hanyalah dia masih berada terlalu dekat denganku, sehingga aku refleks menendang keras perutnya, hanya agar dia menjauh dariku.
"Tessa, jangan takut. Aku datang."
Sebuah suara lembut dan familier terdengar di samping telingaku. Dengan tubuh masih gemetar ketakutan, aku menoleh, dan melihat sosok yang sejak tadi aku harapkan muncul. Dia berdiri di sana seperti cahaya suci.
Dalam pandanganku yang samar, entah kenapa aku merasa raut wajahnya sangat familier.
"Profesor Devan, akhirnya kamu datang ... aku kira aku ... " Suaraku bergetar hebat, kata-kataku terhenti oleh isak yang tak bisa kutahan.
Dia mengamati tubuhku, lalu alisnya langsung berkerut tajam. Tanpa banyak bicara, dia melepas jasnya dan menyelimutiku dengan lembut.
"Seharusnya aku nggak pergi selama itu. Ini salahku. Aku telah membuatmu mengalami semua ini. Aku bawa kamu pulang, ya?"
Dia berkata pelan, nadanya lembut namun penuh penyesalan. Setelah itu, dia mengangkatku dari lantai.
Selama ini dia terlihat seperti pria yang lembut dan tampak seperti akademisi lemah. Namun saat berada dalam gendongannya, baru kusadari tubuhnya kuat dan berotot. Jelas dia bukan pria yang rapuh.
Dengan langkah besar dan aura dingin di seluruh tubuhnya, dia membawaku keluar dari ruang VIP. Belum jauh dari sana, seseorang langsung menyusul dan bertanya, "Ada apa? Apa yang terjadi?"
Profesor Devan tidak menjawab sepatah kata pun, namun ekspresinya membuat semua orang terdiam ketakutan. Seluruh kelembutan sebelumnya hilang, berganti dengan kemarahan yang mengerikan.