Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Melihat telepon yang sudah terputus, aku agak terkejut. Kakaknya? Kakak siapa? Sebenarnya aku kemarin malam mengobrol apa dengannya? Minum alkohol memang berbahaya. Aku tidak akan minum lagi! Di sekolah, Marcel dikenal sebagai anak dari keluarga kaya. Saat awal semester, ibunya juga pernah datang memberi hadiah, tapi aku menolaknya. Saat melihat rumah mereka, hatiku tak bisa menahan rasa cemas dan tegang. Begitu aku turun dari mobil, pintu rumah terbuka dari dalam. Aku belum sempat melihat siapa pun, tapi sudah terdengar suara muridku. "Bu Melia!" Marcel berlari keluar dan masih mengenakan seragam sekolah. Rambutnya pendek dan rapi, dengan tinggi badan 188 cm, membuatnya terlihat seperti tipikal pemuda yang energik. Melihat tidak ada orang lain di dalam rumah, aku bertanya pelan, "Apa orang tuamu tahu tentang les tambahan ini?" Entah apa yang membuatnya begitu senang, tapi dia tersenyum sampai matanya seperti menyipit. "Urusan belajarku ini kebanyakan diurus oleh kakakku. Tapi saat ini, di perusahaannya sedang ada urusan mendadak, jadi aku nggak tahu apa dia akan pulang malam ini." Begitu aku ingin bertanya siapa kakaknya, Marcel sudah mengajakku masuk ke dalam rumah. Di sekolah, aku mengajar matematika, jadi les tambahan yang kuberikan juga matematika. Sebenarnya, aku pernah mengajar Marcel saat kelas 10, dan waktu itu nilainya masih cukup baik. Namun, ketika aku mengambil alih kelas 12 tahun ini, hasil tes awal matematikanya hanya sekitar tiga puluh hingga empat puluh poin. Tapi sejak awal semester hingga sekarang, dan dalam dua bulan terakhir, nilai semua pelajarannya meningkat dengan signifikan terutama matematika. Itulah sebabnya, meskipun aku mabuk ketika dia menelepon tadi malam, aku tetap mengangkat teleponnya. Bagaimanapun juga, siswa kelas 12 menghadapi tekanan yang lebih besar, baik secara fisik maupun psikologis. Jadi, pergantian guru secara mendadak tentu akan memberi dampak tertentu bagi mereka. Saat ini, aku sedang menjelaskan sebuah soal sulit kepada Marcel. Tiba-tiba, pintu di belakang kami terdorong dari luar. Kami berdua menoleh. Begitu melihat siapa yang masuk, aku terkejut. Darahku seolah-olah mengalir deras, tangan dan kakiku terasa mati rasa. Marcel yang pertama berseru, "Kakak, kamu sudah pulang!" Aku pun langsung tersadar. Namun, saat melihat dia semakin dekat, jantungku berdegap kencang sampai terasa ingin melompat keluar dari dada. Ternyata orang yang datang adalah profesor yang beberapa hari lalu aku temui saat menemani tamu di Klub Gempita, Devan Kardian. Aku baru ingat saat Marcel menelepon tadi dan membicarakan les tambahan, aku merasa ada sesuatu yang sangat penting terlupakan. Ternyata ini dia. Malam tadi sebelum aku kehilangan kesadaran, aku juga sempat berpikir kenapa nama mereka berdua begitu mirip. Saat Devan mendekat, Marcel segera memperkenalkanku. "Kakak, ini Bu Melia, wali kelasku." Seperti biasanya, Devan mengenakan setelan jas rapi, bahkan sepatu kulitnya pun tampak sempurna. Tatapannya tenang, matanya berhenti di wajahku tanpa ada emosi berlebih, seolah dia tidak mengenaliku. Memang wajar jika dia tidak mengenaliku, karena saat aku kerja di Klub Gempita aku sengaja memakai riasan tebal, cahaya di ruangan juga redup, dan dia minum banyak alkohol. Dengan sedikit rasa berharap, aku melihat dia mengulurkan tangan ke arahku. "Halo, Bu Melia." Aku segera bangkit dan menjabat tangannya. "Ha ... halo." Saat tangan kami bersentuhan, entah kenapa aku merasa Devan menatapku dengan cara yang agak aneh. Seperti yang kuduga, dia memiringkan kepalanya dan bertanya dengan suara berat. "Bu Melia, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Hatiku tercekat, dan pandanganku secara refleks menghindar. "Ng ... nggak ... sepertinya kita belum pernah bertemu."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.