Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Di dalam kantor departemen arsitek institusi desain. "Kenapa kamu ingin mengundurkan diri?" "Alasan pribadi." Si kepala departemen menggaruk-garuk rambutnya yang tipis dengan ekspresi penuh penyesalan. "Sebenarnya setelah kamu pulang kali ini, pihak institusi berencana untuk menjadikanmu wakil kepala departemen." Tiga tahun yang lalu, Aleya dengan sukarela mengajukan diri untuk pergi membantu pembangunan di Benua Afrido walaupun harus berhadapan dengan berbagai risiko seperti perang, virus dan perseteruan lokal. Tidak hanya itu, Aleya juga bekerja lebih keras daripada rekan-rekan prianya selama tiga tahun itu. Itu karena Aleya ingin mempercepat progres pembangunan agar bisa lebih cepat berkumpul kembali dengan suami dan anaknya, meskipun hanya sedikit. Namun, sikap teguh Aleya membuat si kepala departemen hanya menghela napas. "Baiklah." Aleya memegang surat pengunduran dirinya sambil mengenang kerja kerasnya sepanjang siang dan malam. Bohong apabila Aleya mengatakan dia tidak merasa sayang. Namun, sekarang sepertinya tidak ada alasan lagi bagi Aleya untuk tinggal. Di sisi lain, sahabat karib Aleya, Karina Puspita, justru merasa sangat senang. Karina muncul tepat pukul tujuh malam di pintu masuk institusi desain. Dia mengenakan gaun yang sangat terbuka sambil bersandar pada mobil Ferrari merahnya yang mencolok. Karina melambai-lambaikan tangannya dengan heboh sambil memanggil Aleya. "Bukannya kamu lagi berlibur di Benua Erpia?" tanya Aleya dengan ekspresi kikuk. "Aku langsung pulang begitu mendengar kabar yang sangat bagus ini." "Memangnya ada penerbangan yang secepat itu?" "Pesawat pribadi dong!" Karina pun membelalakkan matanya dengan kaget. "Aleya, kamu kenapa? Sudah terbiasa hidup susah? Kenapa pertanyaanmu aneh begitu?" Aleya tersenyum getir dan Karina langsung menepuk mulutnya sendiri, lalu buru-buru meralat ucapannya, "Tapi, sekarang kamu bisa berhenti dan kembali ke jalan yang benar. Itu juga hal baik." "Ayo, hari ini aku yang traktir! Kita harus merayakan kamu yang akan segera lepas dari penderitaan dan kembali ke dunia gemerlap yang penuh kemewahan!" Karina sudah melihat-lihat secara daring, lalu mengeluh tidak ada makanan enak di kota kecil ini. Kapan-kapan mereka harus kembali ke Negara Maldifa dan makan enak di sana. Pada akhirnya, Karina memilih sebuah restoran yang harga per menunya sekitar satu juta. Dalam perjalanan, Karina terus mengeluh bahwa bagaimana ayahnya membawa pulang beberapa anak haramnya selama beberapa tahun terakhir. Karina juga menceritakan bagaimana ibunya dengan tegas dan kejam membereskan anak-anak haram itu. Para selingkuhan ayahnya dari berbagai negara sampai tidak berani macam-macam. Bahkan ayah Karina yang kaya raya dan suka bermain wanita itu menjadi pria baik-baik untuk sementara waktu. "Kalau ayahku nggak diatur, bisa-bisa ada PBB pribadi di keluargaku!" Akhirnya, Karina menghela napas. "Sebenarnya ayahmu terhitung orang yang cukup bertanggung jawab di kalangan ini. Dia impoten setelah kecelakaan itu, jadi apa masalahnya kalau menikahi pengasuhnya? Bagaimanapun juga, yang bisa dia andalkan untuk ke depannya hanya kamu seorang. Kalau ibumu ... " "Kalau aku jadi kamu yang memiliki kerajaan bisnis sebesar itu untuk diwarisi, aku pasti akan sangat bahagia." Namun, Aleya hanya diam dan akhirnya Karina mengatupkan bibirnya. "Lea, berhentilah bersikap naif. Apa kamu akan bahagia menghabiskan hidupmu bersama pria yang nggak punya uang? Kamu sudah mencoba jalan itu dan bagaimana hasilnya?" Bagaimana hasilnya? Sepanjang perjalanan, Aleya terus memikirkan hasil dari keputusannya. "Ayo pergi, kenapa kamu malah melamun?" Karina memarkir mobilnya, lalu menarik Aleya yang hanyut dalam lamunan. Karina memperhatikan Aleya yang sedang menatap sebuah mobil dengan begitu serius hingga matanya tidak berkedip, lalu bertanya dengan bingung. "Apa istimewanya mobil ini? Nanti setelah kamu kembali, akan kubelikan mobil yang sama seperti punyaku. Pasti ada banyak orang yang memandangimu." Karina tidak tahu bahwa ini adalah mobil Haris. Masalahnya, tadi sore Haris baru saja mengirim pesan WhatsApp kepada Aleya. Haris mengatakan bahwa ada masalah terkait proyek perusahaan dan dia harus lembur malam ini. Benar saja, Aleya bisa melihat bayangan Haris dan putra mereka di dekat jendela restoran. Kedua orang itu duduk di hadapan Malena yang sedang memakai topi ulang tahun. Mereka bertiga tampak tersenyum dengan bahagia, lalu hendak memotong kue di tengah. Malena memberikan ponselnya ke pelayan dan mereka bertiga membuat tanda "peace" ke arah kamera. "Umurmu berapa, Dik?" "Lima tahun!" Si pelayan mengembalikan ponsel itu sambil tersenyum. "Anaknya sudah sebesar ini, tapi hubungan Bapak dan Ibu tampak sangat akur." Kuping Malena sontak memerah, dia buru-buru menjelaskan dengan gelisah, "A ... aku bukan ... " Haris tertawa menyela Malena dan memberikan sepotong kue. "Ayah, kok kita nggak merayakan ulang tahun Bibi Lena di rumah seperti dua tahun lalu?" Belum sempat Haris menjawab, Aldino sudah melanjutkan dengan kesal, "Aku tahu, ini pasti karena Ibu pelit!" "Jangan bilang begitu," kata Malena sambil tersenyum, tetapi sorot tatapannya terlihat sangat kecewa. "Ibumu sudah pulang, jadi tugas Bibi juga selesai." "Nggak boleh! Sejak kecil Bibi Lena yang menidurkan dan menyuapiku! Punya hak apa Ibu mengusir Bibi mentang-mentang sudah pulang!" Hati Aleya terasa sangat pedih. Jika bukan karena Haris menangis mengatakan dia bangkrut dan dililit utang, mana mungkin Aleya tega meninggalkan Aldino yang baru dua tahun untuk pergi jauh ke Benua Afrido sendirian? "Tapi ... " "Kamu nggak perlu berhenti kerja," kata Haris dengan tegas. "Sebelum dia pergi, aku akan memberimu cuti berbayar. Sekalian agar luka bakar di pergelangan tanganmu sembuh." "Hah?" Malena sontak terkejut. "Nona Aleya akan pergi dinas lagi?" "Hore!" sorak Aldino dengan gembira. "Jadi, kapan Ibu pergi?" "Sebentar lagi," jawab Haris sambil tersenyum. Ya, sebentar lagi. Paling lama dalam sebulan. Tidak jauh dari sana, Aleya mendengar pembicaraan mereka. Rasa dingin menjalari tubuhnya dan membuat bulu kuduknya bergidik. Karina sudah sangat familier dengan situasi seperti ini, jadi dia bertanya dengan santai, "Perlu pengacara?" "Nggak usah." Aleya memaksakan seulas senyuman. Aleya sudah menyiapkan surat cerai. Dia hanya menginginkan kebebasan.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.