Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Pada hari pemilihan penari utama di kelompok tari, entah siapa yang menaruh jarum halus di dalam sepatu dansa Wulan, sehingga dia gagal ikut kompetisi. Setelah keluar dari rumah sakit dengan perban di kaki, Wulan langsung mendengar kabar bahwa Tina Estiawan memenangkan lomba itu. Dia nyaris menggertakkan giginya, tetapi juga sadar bahwa di dunia ini tak ada kesempatan untuk mengulang. Setibanya di depan teater, Wulan baru hendak masuk ketika terdengar suara pria yang sangat dikenalnya. Dia berhenti melangkah, berusaha mencari arah datangnya suara itu. "Tina, aku sudah bantu kamu mendapatkan posisi utama, apa kamu nggak berencana kasih aku sedikit hadiah?" "Tapi ... kalau Kakak tahu apa yang kamu lakukan ... " "Lalu kenapa? Cepat atau lambat, Wulan akan jadi istriku. Sekalipun dia tahu aku yang melakukannya, apa dia bisa membunuhku?" "Tina Sayang, cepat angkat roknya, aku sudah menahan diri terlalu lama." Tangan Wulan yang memegang tongkat tidak bisa berhenti bergetar. Karena suara pria itu bukan suara orang lain, melainkan suara tunangannya selama enam tahun, Sigit. Dengan bertumpu pada tongkat, Wulan melangkah perlahan menuju pintu samping teater. Begitu melewati sudut, dia melihat sebuah mobil mewah yang bergoyang pelan, pintunya tidak tertutup rapat. Tina terbaring di kursi belakang, sementara Sigit menindihnya dan mencium dengan penuh nafsu, tubuh mereka saling menempel tanpa jarak. Wulan bahkan bisa melihat lidah mereka saling menjulur dan tubuh bagian bawah yang saling bertautan ... Benar-benar menjijikkan. Jantung Wulan seolah-olah hendak melompat keluar dari dada. Dia terus menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri. Namun, entah dia membuka mata atau memejamkannya, adegan itu tetap melekat di benaknya. Karena dia tidak bisa menenangkan, dia pun tidak memaksakan diri. Wulan langsung mengangkat tongkatnya dan menghantamkannya dengan keras ke arah mobil itu. Sigit berteriak, dan saat tatapan mereka bertemu, semua kebuasan di matanya lenyap. Dia buru-buru menarik celananya. "Wulan ... Wulan, kenapa kamu ada di sini." Wulan dan Sigit tumbuh besar bersama sejak kecil, dan di hari ulang tahun Wulan yang ke-18, mereka bertunangan. Wulan masih ingat, tiga hari setelah ibunya meninggal, ayahnya sudah tidak sabar mengajak selingkuhan dan anaknya, Tina, tinggal di rumah. Saat itu, hanya Sigit yang tetap berada di sisinya. Pria itu berdiri bersamanya, melawan seluruh dunia. Namun kini, dia bahkan telah kehilangan Sigit. Wulan membelalakkan matanya agar air matanya tidak jatuh. Dia tidak mau mempermalukan diri di depan Sigit. "Sigit, jelaskan apa yang sedang kamu lakukan ini." "Apa kamu masih ingat bahwa aku ini tunanganmu!!" Meski berusaha terlihat kuat, suara Wulan tetap bergetar ketika berbicara. Tina berlutut di kursi mobil, sengaja memperlihatkan bungkus alat kontrasepsi yang sudah dibuka. Namun, wajahnya dibuat tampak sangat lemah. "Kak, jangan marah, aku ... aku dan Sigit nggak ada apa-apa ... " "Benar, Wulan, aku tadi hanya ingin menakut-nakutinya, benar-benar nggak terjadi apa-apa. Aku dan kamu tumbuh besar bersama, di hatiku tentu hanya ada kamu." Di wajah Sigit masih tersisa senyum sembrono. Dia melangkah mendekati Wulan, mencoba menggenggam tangannya, tetapi tangannya hanya menggapai udara. Wulan tertawa dingin. "Menakut-nakutinya? Sigit, aku hanya cedera kaki, bukan buta! Kalian bahkan sudah main di mobil, masih mau menganggapku bodoh?" Senyum Sigit membeku sesaat. "Aku nggak ... " Wulan tidak ingin mendengar pembelaannya lagi, dan berbalik hendak pergi, tetapi Sigit menarik pergelangan tangannya dari belakang. "Wulan, apa pun yang kamu pikirkan, aku nggak selingkuh!" Melihat tatapan mengejek Wulan, Sigit tetap memaksakan diri berkata, "Aku ... aku pakai pengaman! Aku dan Tina nggak benar-benar berhubungan, itu nggak bisa disebut selingkuh." Wulan hampir tertawa karena ucapan tidak tahu malu itu. Gadis itu menarik napas panjang. "Baik, kalau itu yang kamu pikirkan, nggak ada lagi yang bisa kukatakan." "Tapi, kamu tahu betapa pentingnya posisi penari utama itu bagiku, tapi tetap kamu berikan pada Tina, dan kamu bilang hatimu hanya untukku?" "Sigit, kamu benar-benar membuatku kecewa." Setelah mengatakan itu, Wulan menepis tangannya dan langsung pergi. Saat itu juga, dia akhirnya membiarkan air matanya jatuh. Ibu Wulan dulunya adalah penari utama di kelompok tari itu, dan Wulan berjuang selama ini untuk mengikuti jejak ibunya. Sigit tahu semua itu, tetapi tetap saja melakukan hal seperti itu. Dia menangis sepanjang jalan pulang ke apartemennya. Sigit meneleponnya berkali-kali, tetapi Wulan tidak menjawab satu pun. Malam itu, hujan deras turun di luar, lalu pesan dari teman Sigit masuk. [Nona Wulan, sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan Sigit? Dia sudah minum banyak tanpa bicara. Kamu tahu 'kan, perutnya lemah, nggak tahan alkohol.] [Meski dia membuatmu marah, apa kamu tega melihat dia merusak tubuhnya seperti ini?] Wulan menatap layar ponsel, di foto latar belakang terpampang dirinya dan Sigit yang tersenyum cerah menghadap kamera. Mungkin ... mungkin dia seharusnya memberi Sigit kesempatan lagi. Mereka sudah bersama begitu lama. Selama Sigit mau menjelaskan dengan baik dan menjaga jarak dari Tina, dia bisa berpura-pura tidak ada yang terjadi. Lagi pula, kalau bukan karena Sigit, mungkin dia sudah mati sejak lama. Setelah mengambil keputusan itu, Wulan segera berangkat ke ruang privat di klub tempat Sigit berada. Hujan yang begitu lebat membuat kakinya basah kuyup ketika tiba, perban di lukanya terkena air hingga terasa gatal. Namun, sebelum Wulan masuk ke dalam, dia mendengar namanya disebut. "Sigit, kamu yakin Wulan akan datang? Bagaimanapun, dia itu putri keluarga kaya. Kalau sampai dia memaafkan kamu, bukannya itu terlalu memalukan?" "Aku mengenalnya, dia pasti datang. Putri keluarga kaya? Tanpa aku, dia bukan siapa-siapa." Nada mengejek dalam suara Sigit membuat tangan Wulan membeku di udara. "Tapi, bicara soal itu, Tina itu bahkan nggak punya setengah dari kecantikan Wulan. Apa sih yang kamu lihat darinya?" "Dia liar, nggak seperti Wulan yang pura-pura suci. Aku sial, bertahun-tahun pacaran, tapi mau mencium pun harus menunggu izinnya." Jadi, itu alasannya. Jadi, hanya karena itu. Wulan bahkan tidak tahu bagaimana dia meninggalkan klub itu. Saat tersadar, dia sudah berdiri di depan pintu vila. Pesan dari teman Sigit terus masuk, membuatnya jengkel. Dia langsung mematikan ponselnya. Pelayan menyambutnya masuk. Pria yang seharusnya disebut ayahnya ini masih duduk di sofa memainkan ponsel. Begitu melihat Wulan, alis pria itu berkerut penuh rasa muak. "Buat apa kamu datang?" "Aku tahu kamu nggak ingin melihatku, aku juga nggak ingin melihatmu." "Aku datang untuk memberi tahu, aku bersedia menikah dengan putra Keluarga Silendra."
Bab Sebelumnya
1/21Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.