Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

"Hal itu nggak mungkin terjadi." Saat berbicara dengan Fanny, ekspresi dingin di wajah pria itu sudah menghilang. Dia menghiburnya dengan lembut. "Ucapan peramal itu belum tentu benar, dia pasti melakukan kesalahan." "Tapi dia adalah peramal yang terkenal di Kota Kahir, bagaimana mungkin dia bisa salah?" Fanny menangis dengan keras. "Kak, bagaimana ini? Aku benar-benar ketakutan." "Jangan nangis. Kamu nggak perlu khawatir, ada aku di sini," bisiknya. Kata-kata yang diucapkan dengan rendah ini selalu bisa meyakinkan seseorang. Begitu melihat pria yang terlihat sangat lembut dan sabar, Patricia menurunkan tatapannya untuk menyembunyikan emosi di matanya. Dulu Robert juga pernah memperlakukannya seperti ini. Pada saat itu dia merasa sangat bahagia karena memiliki kakak terbaik di dunia ini. Tidak peduli seberapa nakalnya Patricia, akan ada orang yang melindunginya. Hanya saja, Patricia baru menyadari jika kebaikan Robert hanya ditujukan untuk adiknya, bukan dirinya. Meskipun kenyataan ini menjadi sangat jelas melalui pengalaman kejam yang dialami oleh Patricia selama tiga tahun terakhir, hati Patricia masih terasa sakit begitu memikirkan hal ini. Patricia tidak membiarkan dirinya memikirkan hal ini, lalu mengabaikan emosi tidak berguna yang muncul di dalam hatinya. Suasana hati Fanny menjadi lebih tenang setelah dihibur oleh Robert. "Kamu dan anakmu akan baik-baik saja." Pria itu kembali berkata, "Aku akan minta Bu Ellen yang merupakan ahli kandungan untuk periksa kondisimu secara langsung dan mempertahankan kandunganmu." "Benarkah?" Fanny berteriak dengan terkejut, bahkan Patricia juga tanpa sadar melirik pria itu. Ellen merupakan pemimpin di bidang ginekologi, tidak ada orang di dalam negeri yang bisa menandingi keterampilan medisnya. Hanya saja usianya sudah tua, Ellen sudah pensiun pada dua tahun lalu dan tidak pernah muncul di depan umum lagi. Entah terdapat banyak orang yang menyayangkan keputusannya. "Benar." Saat mendengar Fanny berkata dengan senang, pria itu berkata dengan lembut, "Dengan adanya Bu Ellen, kamu nggak perlu khawatir lagi." "Baik!" Fanny berkata, "Terima kasih, Kak. Memang Kakak yang paling terbaik!" Robert berkata dengan penuh kasih sayang, "Siapa yang harus kuperlakukan dengan baik kalau bukan kamu?" "Itu ...." Fanny mendengus, lalu berkata, "Kakak cuma boleh memperlakukanku dengan baik di masa depan!" Robert menyetujui hal ini. Setelah memutuskan panggilan, tatapannya tertuju pada Patricia. Patricia bisa melihat tatapan lembut di matanya sudah menghilang, pria itu berkata dengan nada dingin, "Aku akan minta Bu Ellen untuk periksa kondisimu." "Nggak perlu!" Kelopak mata Patricia berkedut dengan keras. Jika Ellen memeriksa tubuhnya, maka kebohongannya akan terungkap. Mungkin karena Patricia sangat menolak hal ini, jadi Robert menatapnya dengan curiga. "Kamu sengaja panggil Bu Ellen untuk periksa kondisi Fanny." Patricia mengalihkan tatapannya, lalu berkata sambil mengerutkan bibirnya, "Siapa aku? Bagaimana mungkin aku bisa dibandingkan dengan nona muda Keluarga Lusna yang sebenarnya?" Entah kenapa ucapan ini membuat pria itu marah. Tatapan pria itu menggelap, lalu dia memaksa Patricia untuk menatapnya. "Dua hari lagi dia akan datang." Setelah mengatakan ini, dia mengambil mantel yang terjatuh di samping. Devi khawatir Robert akan membawa Patricia pergi, jadi dia menelan ludahnya, lalu melangkah maju dan berkata, "Pak Robert, kondisi Patricia nggak terlalu baik. Pihak rumah sakit menyarankannya untuk istirahat di rumah sakit selama seminggu untuk memulihkan dirinya." "Kondisi ginekologi sangat penting bagi wanita dan nggak boleh dianggap remeh." Setelah mengatakan ini, dia bertatapan dengan Patricia. Mereka berdua khawatir Robert tidak akan menyetujui hal ini. Pria ini sangat arogan, tidak ada orang yang bisa menggoyahkan keputusannya. Untung saja pria itu mengangguk. Patricia diam-diam menghela napas lega. Setelah pria itu pergi, Devi baru menepuk dadanya dan duduk di tempat tidur pasien. "Huh, orang itu sangat menakutkan." "Dia benar-benar mirip seperti orang gila." Patricia membenarkan pakaiannya, lalu menghampiri Devi sambil mengerutkan keningnya. Awalnya Patricia ingin menanyakan kondisinya, tapi Amelia meneleponnya pada saat ini. "Ibu." Sejak Fanny kembali ke Keluarga Lusna, Amelia jarang meneleponnya. Meskipun Amelia masih memedulikan Patricia, semua perhatiannya tertuju pada Fanny. Setiap kali Amelia meneleponnya, hal ini pasti berkaitan dengan Fanny. Meskipun terdengar tidak berbakti, Patricia merasa sedikit cemas jika melihat Amelia meneleponnya. Amelia tidak langsung berbicara, dia ragu-ragu sejenak sebelum berkata, "Patricia, pulanglah sekarang." Awalnya Patricia ingin mencari alasan untuk menolak hal ini, dia benar-benar tidak ingin kembali ke rumah Keluarga Lusna. Setiap kali kembali, Patricia merasa seperti dikuliti hidup-hidup. Dia kelelahan fisik dan juga mental, apalagi kondisinya sangat lemah sekarang. Hanya saja Amelia berkata, "Ada yang mau Ibu bahas denganmu." Nada bicara Amelia sangat serius, dia sama sekali tidak bisa menolak hal ini. Patricia mau tidak mau menyetujui hal ini. "Pasti nggak ada hal yang baik kalau paksa kamu pulang!" Devi mengeluh dengan tidak senang, kepalanya sangat sakit begitu memikirkan masalah di Keluarga Lusna. Patricia mendesah dengan tidak berdaya. "Ibuku suruh aku pulang, aku nggak bisa nggak pulang." Devi tidak memiliki pilihan lain selain membantu Patricia mengatur proses untuk rawat inap, lalu membiarkannya keluar dari rumah sakit. Setengah jam kemudian, Patricia tiba di rumah Keluarga Lusna. Di tengah perjalanan, Amelia mengirim pesan pada Patricia beberapa kali, seolah-olah sangat cemas. Patricia khawatir terdapat hal yang mendesak, jadi dia berlari sampai sedikit terengah-engah. Setelah melihat Amelia duduk di sofa seperti biasanya, Patricia baru menghela napas lega. "Ibu, ada apa panggil aku pulang?" tanyanya pada Amelia sambil berdiri. Saat ini di Keluarga Lusna, Patricia tidak ada bedanya dengan tamu, dia langsung merasa cemas begitu masuk ke dalam. Biasanya Amelia akan menarik Patricia duduk di sisinya, tapi hari ini tidak. Wajah Amelia dipenuhi dengan kekhawatiran, dia mengabaikan Patricia, lalu menatap Fanny yang duduk di seberangnya. "Kamu bilang kamu nggak bisa mempertahankan anakmu, lalu hal ini berkaitan dengan Patricia?" Amelia berkata, "Sekarang Patricia sudah datang, kamu bisa katakan dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Nggak boleh terjadi sesuatu padamu dan anakmu!" Saat melihat hal ini kembali berkaitan dengan Fanny, tidak terdapat gejolak apa pun di dalam hati Patricia. Hanya saja hal ini berkaitan dengan kandungan Fanny, Patricia benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukan wanita itu. "Ibu, peramal di kuil pernah bilang kalau aku sulit punya anak. Ibu tahu, 'kan?" Fanny menatap Patricia dengan tatapan tidak bersahabat, lalu berkata pada Amelia. Amelia mengangguk, dia menggenggam tangan Fanny sambil menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Ini semua adalah salah Ibu. Kamu harusnya diberkahi dengan umur yang panjang, punya anak dan cucu yang banyak, serta menjalani kehidupan yang makmur ...." "Ibu!" Fanny menyela ucapannya dengan tidak sabar, lalu menunjuk Patricia dengan marah. "Hal ini nggak ada hubungannya denganmu, Patricia-lah yang mencelakaiku!" "Apa?" Amelia berkata dengan terkejut, "Ke ... kenapa kamu bisa bilang seperti ini?" Reaksi pertama Amelia adalah melindungi Fanny, lalu menatap Patricia dengan waspada. Hati Patricia terasa sangat sakit saat melihat tatapannya. Reaksi alam bawah sadar manusia sama sekali tidak bisa berbohong. "Aku nggak melakukan apa pun." Patricia berusaha untuk menahan rasa sedihnya. Meskipun Patricia sudah berusaha bersikap seolah-olah tidak terjadi apa pun, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. Fanny berdiri, lalu mendorongnya dengan keras. Patricia langsung terjatuh ke lantai. "Kamulah pelakunya!" Fanny menunjuk hidung Patricia, lalu berkata dengan marah, "Aku sudah tanya dengan peramal, dia bilang kalau kamu adalah pembawa sial dan rebut keberuntunganku!" "20 tahun yang lalu, kamu rebut keluargaku dan semua yang harusnya milikku. Selama kamu masih hidup, hidupku akan penuh dengan penderitaan. Aku nggak cuma nggak bisa punya anak, aku juga akan sendirian di masa tuaku!" "Kenapa bisa seperti itu!" Amelia berdiri dengan terkejut. Fanny menatapnya dengan mata yang memerah. "Ibu, tolong usir dia dari Kota Kahir demiku!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.