Bab 1 Siapa Namamu?
Sejak memasuki ruang VIP, Nadine Arista sudah duduk di bangku yang terasa dingin selama sepuluh menit.
Di sampingnya, duduk seorang pria yang dikenal dengan nama Ravin Alvaro.
Sebelum datang ke sini, Sabrina sempat berpesan pada Nadine, semakin berkuasa seorang pria, semakin tinggi pandangannya terhadap dunia luar.
Seorang bangsawan sejati seperti Ravin, bahkan mungkin tak akan jatuh cinta pada pandangan pertama, meski dewi sekalipun turun ke bumi.
Apalagi Nadine bukanlah dewi, dan dia juga tak bisa disebut sangat cantik. Seperti yang dikatakan Sabrina, wajah Nadine sekilas terlihat polos, tetapi jika diperhatikan lebih saksama, justru memancarkan sebuah pesona yang bisa memikat pria.
Saat ini, di ruang VIP yang luasnya lebih dari dua ratus meter persegi, puluhan pria dan wanita berkumpul. Beberapa wanita yang datang bersama sudah menyalakan rokok untuk pria di samping mereka, ada juga yang mulai meminum anggur saling berhadapan, sementara yang lainnya sudah tak ragu untuk mulai meraba-raba ...
Sejak Nadine melepas jaketnya, dia duduk tegap di samping Ravin. Sesekali, matanya mencuri pandang pada pria itu, hanya sekilas lewat sudut mata.
Ravin memiliki bahu lebar dan tubuh kekar. Bahkan ketika duduk dengan kaki terbuka, keunggulan tinggi badan dan postur tubuhnya yang luar biasa masih tampak jelas, jauh melebihi pria pada umumnya.
Ravin mengenakan pakaian serba hitam dari atas hingga bawah. Lengan kemejanya digulung beberapa kali, memperlihatkan kulit sawo matang yang tampak kokoh, dengan urat biru samar yang melintasi garis otot yang jelas.
Dua siku pria itu bersandar di lutut, sementara kedua tangan yang berotot itu tampak sibuk. Satu memegang rokok, dan yang satunya lagi memegang ponsel, sesekali melirik layar yang terus bergerak.
Nadine tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang.
Ternyata, Ravin sedang memantau pergerakan saham. Di layar ponselnya, warna hijau mendominasi, namun jumlah kerugiannya sudah mencapai angka delapan digit.
Sebagai seseorang yang mempelajari keuangan, Nadine memberanikan diri untuk membuka percakapan dengan suara pelan. "Hari ini aku juga mengalami kerugian cukup besar. Sepertinya, keberuntungan finansial kita semua lagi buruk."
Ravin, yang seolah baru saja menyadari keberadaan Nadine, tiba-tiba menoleh ke arahnya.
Tatapan pria itu begitu dalam dan dingin, membuat hati Nadine bergetar.
Matanya yang hitam pekat menatap wajah Nadine selama beberapa detik, kemudian perlahan menyusuri dari dagunya, turun sedikit demi sedikit.
Nadine merasakan pipinya mulai memerah, tetapi dia berusaha keras untuk tetap tenang.
"Rugi berapa banyak?"
Ravin mengalihkan pandangannya, suaranya berat dan dingin.
Nadine berkata, "Dua juta lebih."
Ravin tak bisa menahan diri untuk menggerakkan sudut bibirnya, tersenyum dengan sedikit ejekan. Namun, senyum itu justru memberikan sedikit kehangatan pada wajahnya yang semula begitu dingin.
Nadine ikut tersenyum tipis dan menambahkan, "Ah, itu cuma akun virtual, untungnya aku nggak punya uang untuk main."
Ravin tertegun sejenak, lalu mematikan layar ponselnya dan melemparnya ke atas meja marmer dengan suara "plak" yang keras. Begitu berbalik, ekspresinya langsung kembali suram.
"Kamu sengaja buat aku kesal ya?"
Ravin menggertakkan giginya dan sengaja menurunkan suaranya. Akan tetapi, dia tidak terlihat benar-benar marah.
Nadine tahu, dia telah berhasil menarik perhatian pria itu.
Dengan sedikit menghindar, Nadine menjawab dengan nada serius, namun tegang, "Nggak, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kalau nggak percaya, aku bisa tunjukkan."
Nadine berdiri, lalu membungkuk untuk mengambil jaket yang tergeletak di sofa.
Hari ini, Nadine mengenakan kemeja putih pendek yang sederhana, dipadukan dengan celana jeans ketat.
Ketika Nadine berbalik, garis pinggang dan pinggulnya yang ramping, serta bentuk tubuhnya yang terlihat jelas karena dibalut celana jeans ketat, langsung terpampang di depan pria itu.
Nadine sengaja berhenti beberapa detik, lalu membuka layar ponselnya. Setelah itu, dia berbalik dan kembali duduk.
Dengan serius, Nadine menggeser layar untuk menunjukkan sesuatu kepada pria itu. Namun, ketika dia menoleh, napas panas pria itu sudah menyentuh telinganya.
"Siapa namamu?"
Tubuh Nadine seketika terasa kaku, berusaha keras menahan diri untuk tidak menghindar. Diam-diam, dia mengatur napasnya, belum sempat membuka mulut, tiba-tiba dia merasakan panas yang menjalar dari punggung bawah.
Punggungnya sontak menghindar. Gerakan itu jelas bukan dibuat-buat. Suaranya pun ikut menegang, "Nadine."