Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3 Dia adalah Wanitaku

Di dalam kepala Nadine, seolah-olah ada ledakan besar. Tubuhnya tegang, dan dia berusaha keras untuk melawan. Dia menoleh dan memohon, "Pak Ravin, jangan di sini." Raut ketakutan Nadine nyata, tak ada sedikit pun kepura-puraan. Namun, Ravin tetap tidak percaya. Dia ingin memastikan semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Cahaya di ruang biliar remang-remang. Tubuh Nadine terpapar dengan cara yang memalukan di depan Ravin. Bahkan dalam kegelapan, tatapan pria itu tetap tajam, seolah bisa menembus setiap lapisan dirinya. "Bokongmu cukup bulat juga ya." Pria itu mendengus sambil telapak tangannya yang panas menyentuh kulit lembut di hadapannya. Perkataan Ravin ini semakin memantapkan niat Nadine untuk melangkah maju. Nadine memejamkan mata. "Pak Ravin, jangan ... " ucapnya dengan nada memelas, suaranya ini mampu membuat darah setiap pria yang mendengarnya berdesir lebih cepat. Sabrina pernah mengingatkan bahwa dalam momen seperti ini, kata "jangan" dari seorang wanita justru bisa membuat pria yang tadinya tidak tertarik menjadi tergerak. Benar saja! Tak lama setelah itu, Nadine merasakan sesuatu. Mendengar suara kancing logam itu terlepas, Nadine menggertakkan giginya dengan keras. "Bang!" Suara keras terdengar. Saraf-saraf Nadine rasanya seolah pecah dalam sekejap. Belakangan, baru dia sadar, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Niko berdiri di ambang pintu, matanya membelalak, menyaksikan pemandangan yang tak pernah dia bayangkan. Kedua matanya memerah, dipenuhi amarah yang membakar. Bahkan, terlintas dalam pikirannya untuk membunuh Ravin. Ravin menarik tangannya dari tubuh Nadine, lalu mengancingkan celana yang sudah setengah terlepas. Dengan nada dingin, dia berkata, "Kedatanganmu malam ini memang untuk menggangguku?" "Dia adalah wanitaku." Beberapa kata itu meluncur keluar satu per satu dari mulut Niko. Pembuluh darah di dahi Niko menonjol tajam, otot-otot lengannya terlihat membengkak, seolah darah yang mengalir memicu ledakan emosi yang tak bisa dibendung. Jika pria di depannya bukan Ravin, tinju Niko pasti sudah melayang. Ravin menyampingkan tubuhnya, menatap Nadine dengan mata menyipit, penuh sindiran. Dengan suara yang penuh ancaman, dia berkata, "Nggak pernah pacaran?" Nadine berbalik menatap Niko, lalu berkata dengan santai, "Pak Niko, aku sudah menolakmu berkali-kali. Kenapa kamu masih terus menggangguku? Setahuku, kamu sudah punya tunangan. Ada kalanya, ada beberapa hal yang nggak seharusnya diucapkan sembarangan. Aku cuma mahasiswi biasa yang nggak punya latar belakang apa pun, dan aku nggak mau cari masalah." Nadine tahu betul bahwa Niko pasti takut pada tunangannya. Jika tidak, saat tunangannya yang bernama Sandra Watson datang mencari Nadine, Niko tidak akan langsung melarikan diri ke luar negeri dan bahkan menghindar untuk bertemu dengannya untuk terakhir kali. Nadine berbicara sambil tangannya diam-diam merapikan celananya. Niko menatapnya dengan tatapan penuh kebencian, matanya merah menyala, seolah bisa meledak kapan saja. Jakunnya bergerak naik turun, namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Nadine menoleh, dengan lembut menyentuh Ravin, lalu berkata pelan, "Pak Ravin, ayo kita pindah ke tempat lain." Ravin hanya tersenyum samar, menatap Nadine sekilas sebelum melangkah keluar. Ketika Nadine mengikuti, dia sengaja berputar dan berjalan ke sisi lain Ravin untuk menghindari Niko. Nadine merasa cemas. Dia melihat Ravin sudah melangkah satu kaki keluar. Namun, tiba-tiba, suara berat dan serak dari belakang memecah ketegangan itu. "Dia sudah bersama denganku setengah tahun. Aku bahkan bisa memegang tahi lalat di bokongnya tanpa perlu melihatnya. Kalau Pak Ravin nggak jijik, anggap saja ini hadiah untukmu. Cuma seorang wanita saja, aku sudah bosan tidur dengannya." Langkah pria di depannya tiba-tiba berhenti. Wajah Nadine berubah pucat seketika. Dengan gemetar, Nadine menarik pelan lengan baju Ravin, lalu berbisik memohon, "Pak Ravin, jangan percaya dia." "Pergi!" bentak Ravin. Sejak pertama kali melihat kemunculan Niko, Nadine sudah tahu, malam ini semuanya akan gagal. Padahal tinggal selangkah lagi. ... Nadine diseret paksa oleh Niko keluar dari ruang VIP di lantai atas dan dipaksa masuk ke kursi penumpang mobil. Pintu mobil terkunci dengan suara "klik", dan sesaat kemudian, Ferrari biru itu mengeluarkan suara mesin yang menggelegar, melesat pergi seperti api yang tak terkendali. Sebelum malam ini, Nadine sempat berpikir bahwa dia tidak akan pernah bertemu dengan Niko lagi seumur hidupnya. Nadine hanya menjalin hubungan dengan Niko selama setengah tahun. Namun, tunangan Niko malah mencarinya ke sekolah dan menamparnya dua kali di depan umum. Tak hanya itu, tunangannya juga memperingatkan bahwa jika Nadine terus mengganggu Niko, dia akan memastikan bahwa hidupnya berakhir dengan cara yang mengenaskan. Namun, saat itu, Nadine tidak tahu dari mana datangnya keberanian itu. Dia tetap menelepon Niko untuk bertanya langsung mengapa dia menipunya. Bahkan, Nadine nekat pergi ke perusahaan dan rumah Niko untuk mencari keberadaannya. Akhirnya, ancaman Sandra benar-benar menjadi kenyataan. Ibunya diperkosa oleh seorang pria di desa, sementara ayahnya, dalam upaya membela, secara tidak sengaja membunuh pelaku dan melukai beberapa preman desa. Akhirnya, tiga bulan yang lalu, dia dieksekusi mati. Kematian saja tidak cukup menghukum Nadine, keluarga mereka juga dijatuhi kewajiban untuk membayar ganti rugi sebesar empat miliar. Nadine, yang berusia 21 tahun, tidak pernah membayangkan bahwa sebuah hubungan bisa menghancurkan seluruh keluarganya. Nadine pernah membayangkan bagaimana jadinya jika dia bertemu Niko lagi di kehidupan ini, apakah dia akan langsung menikamnya dengan pisau. Tangan Nadine terulur dan jatuh di atas tas kanvas. Lewat kain tipis itu, dia meraba-raba kontur gagang pisau.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.