Bab 9 Tidak Sayang Nyawa?
Saat tangan Nadine bergerak dari belakang leher ke depan, dan hendak menyentuh jakun pria itu, tubuh pria di bawahnya tiba-tiba menegang. Lalu, Nadine merasakan lehernya menegang, dan dicekik oleh kekuatan yang begitu kuat.
Segalanya berhenti seketika, seolah-olah permainan telah berakhir.
Napas Nadine seketika terhenti. Nadine merasa seluruh tubuhnya lemas, hanya matanya saja yang terbelalak. Dia ingin membuka mulutnya untuk mengambil napas, tetapi tenggorokannya tersumbat rapat. Rasa sesak segera menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ravin mencekik leher Nadine yang ramping itu dengan satu tangan, seakan sedang mencengkeram seekor kucing liar. Lalu, dia berkata dengan suaranya yang serak, "Demi tidur denganku, kamu bahkan nggak sayang dengan nyawamu lagi?"
Kedua tangan Nadine berusaha keras ingin melepaskan cengkeraman pria itu, tetapi tidak berhasil melonggarkan sedikit pun. Wajah putihnya memerah karena kekurangan oksigen. Cahaya matanya pun perlahan meredup.
Saat ini, Nadine merasakan dengan jelas ancaman kematian yang semakin dekat.
Nadine yakin sekali pria ini bisa saja mencekiknya sampai mati, semudah mematikan seekor semut.
Ravin mendekatkan wajah Nadine ke arahnya. "Kamu mati-matian mendekatiku, sebenarnya apa yang kamu inginkan dariku?"
Jari-jari Ravin sedikit mengendur, memberi Nadine sedikit ruang untuk menjawab. Setelah terengah-engah untuk beberapa saat, Nadine akhirnya bisa mengeluarkan suara, "Pak Ravin, aku hanya ... menyukaimu."
Ravin menggerakkan sudut bibirnya dan tersenyum mengejek. "Nggak mau jujur, mau cari mati ya? Kalau gitu, aku akan mengantarmu."
Detik berikutnya, Nadine merasa lehernya hampir benar-benar patah.
"Aku bilang ... "
Saat jari-jari Ravin mengendur, Nadine merasa lehernya seolah sudah putus. Seluruh tubuhnya lemas tak berdaya. Dia terbatuk cukup lama, dan matanya memerah seperti kelinci.
Ravin menyalakan rokok lagi sambil menunggu batuk Nadine reda.
Nadine perlahan-lahan bangkit dari sofa, lalu menundukkan kepala dan berkata dengan hati-hati, "Aku sadar ini semua salahku karena menyukaimu tanpa izin. Aku tahu kamu punya prinsip. Aku mengerti alasannya, tapi aku nggak bisa mengendalikan diri ... "
Suara Nadine tercekat oleh isak tangis. Melalui tatapan yang agak menunduk, Nadine melihat Ravin menarik napas dalam-dalam. Rokok yang baru dinyalakannya hancur menjadi dua bagian di sela jari-jarinya.
Nadine mengedipkan matanya. Tubuhnya dengan refleks mundur dua langkah. Seluruh ototnya menegang. Kemudian, terdengar suara tajam Ravin di telinganya. "Bisnis memang lagi sulit sekarang, bahkan pelacur pun sudah mulai berbicara tentang cinta? Memangnya kamu pantas?"
Kata-kata ini benar-benar kejam. Nadine merasa seperti sedang menelan ribuan jarum perak, rasanya benar-benar sakit.
Nadine tidak tahu definisi pelacur itu seperti apa. Sebulan terakhir ini, dia memang bersama Kak Sabrina menemui berbagai macam pria. Dia menemani mereka makan, main biliar, diskusi bisnis, minum, bernyanyi dan tertawa bersama. Setiap kali bercermin, Nadine pun merasa jijik pada dirinya sendiri. Sebenarnya tidak berlebihan juga jika menyebutnya pelacur.
Namun, saat dicemooh langsung di hadapannya, terutama ketika memikirkan pupus sudah harapannya pada Ravin hatinya terasa sedih dan ingin menangis rasanya.
Kali ini Nadine tidak bisa berpura-pura lagi, air matanya langsung menggenang di pelupuk matanya.
Meski begitu, Nadine tetap memaksakan diri untuk menyelesaikan aktingnya. "Maaf, Pak Ravin. Aku tahu aku salah, aku nggak pantas dan nggak seharusnya menginginkanmu. Tapi ... aku nggak sehina yang kamu katakan. Aku memang pernah menjalin hubungan dengan Niko sebelumnya. Hingga saat ini, dia adalah satu-satunya pria yang aku miliki. Kalau kamu merasa jijik padaku, aku terima, tetapi tolong jangan hina aku. Malam ini pertama kalinya aku berani mendekati pria yang aku suka. Tapi, aku nggak akan pernah melakukannya lagi kelak."
Mata Nadine berkaca-kaca, tetapi dia berusaha menahan air matanya. Tatapannya tampak sangat memelas, seperti anak kucing atau anjing kecil yang diperlakukan tidak adil di pinggir jalan, tetapi tetap diam saja.
Dengan sepasang mata inilah, Nadine membalas tatapan dingin Ravin. Bibir merahnya yang lembab itu bergetar, lalu dia berkata, "Pak Ravin, sampai jumpa."
Usai berbicara, Nadine langsung berbalik dan berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Pintu ruangan itu dibanting dengan keras. Ravin duduk di sofa. Tatapannya yang suram itu menatap pintu ruangan dengan lekat. Napasnya sampai tersengal-sengal untuk beberapa saat.
Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Donny melangkah masuk sambil tersenyum, lalu mengamati Ravin dari atas ke bawah. "Ada apa ini? Belum sampai sepuluh menit? Kenapa gadis itu pergi sambil menangis?"
Ravin mengembuskan napas perlahan. "Memang kamu lihat dia menangis?"
Donny menggoda Ravin, "Ada belasan pasang mata di ruangan ini yang melihat gadis itu menangis histeris, mengenaskan banget deh pokoknya. Memangnya kamu apain dia? Gila, peluang sudah di depan mata gini, kamu malah nggak melakukan apa-apa? Yang sebelumnya sih ya sudahlah ya, tapi yang ini menurutku masih lumayan, beneran nggak sesuai seleramu?"
Di bibir Ravin masih ada bekas liur yang tadi ditinggalkan gadis itu, yang sampai sekarang masih terasa basah.
Ini pertama kali dalam hidupnya, Ravin dicium paksa oleh seorang wanita. Hatinya merasa sangat tidak nyaman. Dia lalu melirik Donny dengan sinis, "Kamu sih memang nggak pilih-pilih, apa pun diembat."
Donny tersenyum penuh makna. "Jangan bilang begitu, tapi aku sih benar-benar tertarik pada gadis ini. Wajahnya imut, bokongnya bulat, main biliarnya juga jago. Menurutmu, kalau aku mengajaknya berkencan lain kali, dia bakal datang nggak?"
Tatapan Ravin menjadi gelap. Dia sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Donny.