Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Saat bangun lagi, Lidya sudah berada di rumah sakit. Perawat sedang menyesuaikan infus di punggung tangannya. Melihat dia terbangun, perawat berkata, "Nona Lidya, Anda akhirnya sadar. Luka Anda cukup parah, dan perlu dirawat inap. Harus menghubungi keluarga juga untuk membayar biayanya ... " Lidya menatap kosong ke langit-langit, tanpa respons. Perawat mengulang lagi, "Nona Lidya ... " "Biayanya sudah saya bayar." Suara pria yang rendah, begitu familier sampai membuat jantung Lidya bergetar, terdengar di pintu. Lidya menoleh dengan cepat, dan melihat Jeremy dengan setelan hitam, tubuhnya yang tinggi dan ramping berdiri tegap di ambang pintu. Melihat pria itu, perawat dengan sadar diri segera keluar dari ruang rawat itu. Jeremy melangkah masuk. Tatapannya menyapu luka-luka yang diperban di tubuh Lidya, lalu pria itu mengangkat tangan, seolah-olah ingin menyentuh keningnya. Lidya memiringkan kepala menghindar. "Pak Jeremy sibuk dengan urusan besar, untuk apa repot-repot menjenguk seseorang yang nggak ada hubungannya?" Mendengar itu, gerakan Jeremy terhenti. "Kalau aku nggak datang, apa masih ada yang mau datang melihatmu?" Satu kalimat itu, seperti pisau paling tajam, dengan tepat menusuk titik terdalam hati Lidya. Benar, siapa lagi yang dia punya? Ibunya sudah tiada, ayahnya berat sebelah, ibu tirinya penuh kepura-puraan. Rumah itu sejak lama bukan rumahnya lagi. Lidya hanya bisa memakai sikap manja dan pemberontakan untuk menutupi dirinya, berpura-pura tidak butuh siapa pun, tidak peduli apa pun. Tiga tahun ini, Jeremy-lah yang selalu muncul saat dia membutuhkannya, membuatnya terbiasa bergantung, membuatnya salah paham bahwa dia telah menemukan tempat untuk pulang. Namun sekarang, orang yang mendorongnya kembali ke jurang adalah Jeremy. Hati Lidya nyeri sampai mati rasa. "Meski nggak ada yang datang, aku juga nggak perlu kamu urus. Bukannya kamu yang bilang hubungan kita sudah selesai? Pak Jeremy, aku nggak semurahan itu. Kamu bilang nggak menyukaiku, mana mungkin aku masih mengejar-ngejarmu?" Lidya menarik napas dalam, berusaha mempertahankan sisa harga dirinya, lalu melawan dengan kata-kata paling tajam. "Kamu nggak benar-benar percaya aku bilang aku jatuh hati, 'kan? Aku hanya asal ngomong. Kamu anggap aku teman tidur, aku anggap kamu alat pijat saja. Kemampuanmu juga cuma begitu! Nanti kalau aku sembuh, aku akan cari alat pijat yang lebih muda dan lebih bagus!" Jeremy menatap wajah Lidya yang pura-pura galak, padahal matanya sudah memerah. Alis pria itu tanpa sadar agak berkerut. Saat itu, seorang perawat mendadak masuk terburu-buru. "Pak Jeremy, Nona Yasmin sudah selesai pemeriksaan, dia sedang mencari Anda." Lidya langsung seperti kucing yang ekornya diinjak. "Cepat pergi ke sisi cinta pertamamu! Aku nggak butuh kamu di sini!" Jeremy menatapnya beberapa detik, lalu akhirnya berkata dengan nada dingin dan jauh. "Aku datang menjengukmu bukan karena hal lain." "Kamu sahabat Wilma. Dia menitipkan kamu padaku." Lidya akhirnya tidak bisa menahan diri lagi, dan tertawa. Dia tertawa sampai seluruh tubuhnya bergetar, menarik-narik lukanya hingga terasa perih. Namun, rasa sakit itu tidak sebanding dengan sesak di dadanya. "Jeremy, tenang saja ... " Dia menghentikan tawanya, mengangkat wajah penuh jejak air mata, tatapannya sedingin dan serapuh kaca yang retak. "Aku nggak akan salah paham sejauh itu." Jeremy merasakan sedikit getaran di hatinya. Di matanya yang dalam seperti melintas sesuatu yang sangat halus, terlalu cepat untuk ditangkap. Ini pertama kalinya dia melihat Lidya menangis. Dulu bahkan saat di ranjang disiksanya sampai tidak berdaya, Lidya paling-paling hanya memerah di ujung mata, menggigit bibir dengan keras, dan tidak pernah membiarkan air mata jatuh. Kini, melihat jelas jejak air mata di wajahnya, alis Jeremy berkerut lebih dalam. Jakunnya bergerak, seolah-olah ingin bicara, tetapi akhirnya pria itu tidak mengatakan apa-apa dan mengikuti perawat keluar dari kamar. Menatap punggungnya yang pergi tanpa ragu, Lidya akhirnya tahan lagi. Dia terkulai di ranjang, dan membiarkan air mata membasahi bantal tanpa suara. Dia pikir dia akan menangis lama. Namun, anehnya, air matanya segera habis. Yang tersisa hanyalah dingin yang mati dan sunyi. Beberapa hari berikutnya, Lidya sendirian di rumah sakit, mengurus dirinya sendiri. Saat ganti perban, rasa sakit membuat keringat dingin membasahi tubuhnya. Saat makan, rasanya hambar seperti mengunyah kertas. Sesekali, dia mendengar para perawat bergosip di lorong, mengatakan betapa beruntungnya Nona Yasmin di ruang VIP sebelah, bagaimana Pak Jeremy sangat perhatian, menyuapi makan dan minum secara langsung, menjaganya tanpa lelah di malam hari, seolah-olah takut wanita itu akan meleleh kalau tidak dijaga. Pernah suatu kali, Lidya melewati kamar itu. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, dia melihat Jeremy duduk di sisi ranjang, mengupas apel, sementara Yasmin bersandar di bahunya, tersenyum lembut. Pemandangan itu seperti paku panas yang menembus matanya, membuat dunia berputar hitam, dan jantungnya seperti diremas sampai kejang. Namun, Lidya tidak menangis. Keunggulan terbesar Lidya adalah dia bisa mencintai, dan dia juga bisa melepaskan. Mulai sekarang, dia tidak akan meneteskan satu tetes air mata lagi untuk Jeremy. Setelah keluar dari rumah sakit, hal pertama yang dia lakukan adalah mengurus visa. Dia tidak ingin tinggal lebih lama lagi di kota ini.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.