Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Myria tidak menyangka putrinya akan tiba-tiba berkata seperti itu. Sambil menatap mata putrinya yang jernih dan cerah ... Dia seketika tertegun. Myria tiba-tiba menyadari bahwa putrinya, yang telah lama menderita penyakit jantung, memang lebih kecil dari anak-anak seusianya, meskipun kini sudah berusia enam tahun. Ketiadaan sosok ayah membuat hati sang anak menjadi sensitif. Dia perlahan mulai menyadari bahwa kalimat "Papa pergi ke tempat yang sangat jauh" yang sering diucapkan Myria hanyalah kebohongan baik hati yang tidak lagi bisa dipertahankan seiring bertambahnya usia. Di dalam laci Myria, ada sebuah foto dirinya bersama Yavin. Putrinya pernah melihat foto tersebut. Namun, Myria tidak menyangka, anak sekecil putrinya bisa mengingatnya hingga sekarang. Foto itu diambil saat dia dan Yavin masih SMA. Dalam foto tiga siswa peringkat teratas, bagian siswa ketiga telah dipotong oleh Myria. Dia juga tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari, di kota ini, dia akan bertemu kembali dengan Yavin sambil membawa putrinya. Tiba-tiba, sopir bus menginjak rem mendadak. Tubuh Myria tercondong ke depan, dia refleks melindungi putrinya di pelukannya. Setelah dua detik terdiam, dia berkata pelan, "Bukan." "Tapi, Om itu mirip sekali dengan Papa ... " Myria terdiam lagi sesaat, lalu menjawab, "Hanya mirip saja ... " Setibanya di rumah. Myria mengetuk pintu rumah Bu Imelda di lantai bawah. Bu Imelda tinggal sendiri di sana, dikenal sebagai orang yang eksentrik di area perumahan ini. Dua tahun lalu, saat Myria mengurus pendaftaran TK untuk putrinya, dia mengalami kendala administrasi. Saat itulah, secara kebetulan, dia bertemu dengan Samuel Candra. Ayah Samuel sedang sakit parah dan tidak memiliki banyak waktu lagi. Dia ingin menikah kilat lalu segera bercerai, demi memenuhi keinginan sang ayah untuk melihat menantunya sebelum wafat. Karena Samuel akan pindah ke luar negeri untuk urusan pekerjaan, Myria pun setuju menikah dan bercerai kilat demi putrinya bisa masuk sekolah dan mendaftarkan putrinya ke dalam Kartu Keluarga. Mereka menemui ayah Samuel, dan malam itu juga sang ayah meninggal dunia. Bu Imelda tahu bahwa putranya menikah dan bercerai kilat, dia sangat marah. Namun, dia juga memahami niat baik sang anak, yang ingin ayahnya pergi tanpa penyesalan. Setelah perceraian, Samuel berangkat ke luar negeri, dan Bu Imelda tinggal sendiri di rumah itu. Melihat Myria membesarkan anak seorang diri, Bu Imelda mengizinkan mereka tinggal di loteng atas rumahnya. Myria tetap membayar sewa seperti biasa. Suatu kali, Bu Imelda tersedak saat makan kacang, dan Myria yang menyelamatkannya. Sejak saat itu, hubungan mereka menjadi lebih dekat. Rumah Bu Imelda adalah rumah tua usang dua lantai yang sempit, di dalam gedung tanpa lift dan tanpa biaya pengelolaan. Bu Imelda tinggal di lantai bawah. Di lantai atas, ada dua kamar dan sebuah teras kecil. Myria dan putrinya tinggal di sana. Mereka memiliki pintu masuk sendiri-sendiri. Myria masuk ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Di dalam kulkas, dia sudah menyiapkan pangsit beku sebelumnya, dan segera merebusnya. Bu Imelda masuk ke dapur dan berkata, "Fia sudah besar. Lebih baik segera lakukan operasi. Kalau kamu nggak punya uang, biar aku bantu. Anggap saja pinjaman." Myria tahu Bu Imelda memiliki sedikit tabungan. Namun, itu adalah dana darurat untuk masa tuanya. Jika semuanya dipinjamkan untuk operasi putrinya, di usia Bu Imelda yang sudah tua ini, bagaimana jika tiba-tiba terjadi sesuatu yang darurat? Myria sangat berterima kasih atas niat baik Bu Imelda, tetapi tetap menolak dengan lembut. ... Sore hari, Myria tiba di lantai 15 Gedung Paragon, di Studio Desain LM. Begitu masuk, rekan kerjanya yang bernama Rika Malik menghampiri dan berkata, "Kak Myria, Bu Intan minta kamu ke kantornya." Intan Levano adalah direktur desain sekaligus atasan langsung Myria. Saat Myria mengetuk dan masuk ke kantor, Intan sedang menelepon. Dia hanya melirik Myria dan memberi isyarat untuk menunggu. Myria menunduk dan melihat jam di pergelangan tangannya. Tiga belas menit berlalu sebelum Intan menutup telepon. "Myria, desain yang kalian serahkan terakhir kali ditolak oleh klien. Harus direvisi dan diserahkan sebelum minggu depan. Desain kalian terlalu konservatif, nggak menonjol. Tambahkan elemen yang lebih eksentrik, seperti polkadot, sulaman gelap, dan sebagainya. "Bu Intan, konsep merek 'Camelia' adalah elegan dan berkelas, targetnya pasar usia 30 ke atas. Kami sudah sesuaikan dengan masukan dari tim pemasaran dan penjualan." "Kamu direkturnya atau aku?" Intan memotong tajam, melirik Myria sejenak. Myria kembali ke meja kerjanya. Dia menyampaikan arahan revisi kepada rekan-rekannya. Terdengar keluhan serempak. Lulu Kirana, yang duduk di seberangnya, mengernyit sambil menggerutu, "Apa-apaan sih selera Bu Intan? Gaun bordir ditambah polkadot dan sulaman gelap? Merek ini kan konsepnya elegan, berkelas, dan alami. Seleranya malah kayak racun begitu." "Yang menderita lagi-lagi kita, para kuli desain. Selera anehnya selalu kita yang harus beresin." "Tapi kudengar Sabtu ini dia akan diwawancarai Sikari Fashion Media. Temanya 'Perjalanan Bangkitnya Desainer Terkemuka', terdengar glamor banget." "Dia jadi direktur desain LM cuma buat main-main. Partner LM, Pak Felix, kan teman satu lingkarannya." "Shhh, pelankan suara kalian." Myria bekerja sampai larut malam. Fia menelepon lewat video dari akun WhatsApp Bu Imelda, memberi tahu bahwa dia sudah makan malam. Rika yang lewat sempat menyapa Fia lewat layar, dan dalam hati tidak bisa menahan rasa terkejut. Sudah tiga tahun bekerja bersama, dan baru sekarang tahu bahwa Myria punya anak perempuan berusia enam tahun. Wajah Myria yang cantik dan penuh kolagen, semulus buah leci yang baru dikupas. Muda, cantik, fitur wajahnya lembut dan indah. Tampak seperti baru lulus kuliah. Tidak ada yang menyangka dia sudah punya anak enam tahun ... Rika menepuk bahunya dan berkata, "Sudah, kamu pulang dulu temani anakmu. Kami akan lembur setengah jam lagi lalu juga pulang." Saat ponselnya kembali berdering, Myria sudah berada di dalam MRT. Dia mengira itu pesan dari putrinya, tetapi ternyata dari seorang teman SMA. WhatsApp Myria tidak berisi kontak teman-teman sekelas SMA-nya. Dia telah memutus semua hubungan dengan masa lalunya. Satu-satunya teman SMA yang masih tersisa hanyalah satu orang ini. Naila Wesari mengirimkan pesan suara panjang. Myria mengubahnya ke teks. [Teman-teman sekelas SMA kamu ngadain reuni, si ketua kelas Tobby nggak bisa hubungi kamu, sampai cari aku buat tanya kabar kamu. Aku bilang nggak tahu. Tapi kamu tahu nggak gosipnya yang beredar sekarang apa? Mereka bilang kamu sudah mati ... Amit-amit! Tapi jujur saja, kamu sekarang berdiri di depan mereka pun mereka nggak bakal kenal. Kamu sekarang kurus dan cantik banget.] Rani seolah telah menghilang selama tujuh tahun. Tanpa jejak sedikit pun. Myria terdiam beberapa saat. Kemudian membalas: [Biarkan saja mereka anggap Rani sudah mati.] Tidak ada yang menyukai Rani. Bahkan Myria sendiri tidak menyukai dirinya yang dulu. Dia mengganti nama dan identitas, karena ingin benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada dirinya yang dulu. Naila mengirim pesan lagi: [Aku dengar, cuma dengar ya, Yavin juga bakal datang. Katanya dia sudah balik dari luar negeri. Kamu nggak mau pergi ... ? Tapi dengan penampilanmu sekarang, dia pasti nggak bakal kenal.] Naila adalah teman dari kelas sebelah saat SMA, mereka masih sesekali berhubungan. Myria bahkan menghadiri pernikahan Naila. Saat itu, Naila tidak mengenalinya sama sekali. Terkejut luar biasa. Gadis gemuk yang dulu, kini telah berubah menjadi sosok cantik dan menawan. Jari Myria berhenti sejenak, menatap nama itu. Dia ingin mengatakan bahwa dia sebenarnya sudah bertemu dengan pria itu. Namun dia hanya membalas dua kata. [Nggak pergi.]

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.