Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Myria menggandeng putrinya dan berjalan pergi. Putrinya masih sempat menoleh dan melambaikan tangan ke arah Yavin. Seorang rekan kerja Yavin menghampirinya sambil tersenyum dan bertanya, "Adik sepupumu? Gadis kecil itu mirip banget sama kamu. Anggota keluargamu semuanya memang berwajah rupawan, ya." "Mirip kah?" Yavin mengangkat alis. Saat dia menoleh lagi, Myria dan gadis kecil itu sudah berjalan cukup jauh. Jika dia benar-benar punya putri sebesar itu, Bu Ratna pasti akan senang bukan main. Namun, itu jelas mustahil. Meskipun begitu, dia merasa gadis kecil itu memang sangat menggemaskan. Yavin tiba-tiba teringat pada Aurel, dan perasaannya jadi sedikit rumit. ... Dalam perjalanan pulang. "Mama, Moka masih ada di mobil Om Dokter itu." "Moka?" Myria baru sadar, itu adalah anak anjing kecil berwarna krem yang diselamatkan putrinya di tengah lalu lintas. Mengingat betapa berbahayanya situasi tadi, dia langsung bersikap serius dan menegur, "Fia, kamu nggak boleh melakukan hal berbahaya seperti itu lagi." "Aku tahu, tapi mobil Om Dokter itu jalannya pelan. Aku bukan ditabrak. Aku jatuh sendiri karena kaget." "Itu juga nggak boleh," ujar Myria sambil mengusap rambut putrinya. Nama panggilan putrinya adalah Fia, diambil dari kata "afiat" yang berarti "sehat". Fia adalah segalanya bagi Myria. "Tapi Mama, Moka masih ada di mobil Om Dokter yang mirip Papa." "Fia, kamu nggak boleh bilang ke orang lain kalau dokter itu mirip Papa. Karena ... dokter itu pasti nggak akan senang. Karena ... kita harus menghormati orang lain." Myria merasa cemas, ucapannya mulai tidak beraturan. Bahkan dia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskannya, untungnya Fia mengangguk patuh. Myria pun memeluk putrinya. Kebohongan ini rasanya seperti benang kusut yang makin ditarik makin kusut. Dia tidak mungkin kembali ke Yavin hanya untuk meminta anak anjing itu. Terlebih lagi, dia tinggal di rumah Bu Imelda. Di perumahan lama, suara anjing bisa mengganggu tetangga. Meskipun Myria tidak merasa Yavin adalah orang yang penuh kasih, dia merasa Yavin sepertinya tidak begitu membenci anjing. Dia pernah membawa anjing liar yang malang dan memohon agar Yavin mau menampungnya untuk sementara. Saat itu, Yavin menolak dengan nada dingin. Kecuali saat di ranjang, Yavin selalu bersikap dingin dan menjaga jarak dari siapa pun. Bahkan terkadang, ucapannya juga cukup tajam. "Fia, kalau kamu sudah selesai operasi dan tubuhmu sehat, Mama akan bekerja keras, beli rumah sendiri, dan kita akan pelihara seekor anjing, gimana?" "Tapi nanti anjing itu bukan Moka." Suara putrinya pelan, tetapi menancap dalam di hati Myria. Pukul sembilan malam. Myria menemani putrinya menggambar untuk tugas sekolah. Fia menggambar seekor anak anjing kecil berwarna krem, sangat lucu. Myria tidak tahan lagi. Dia mengambil ponsel, mencari kartu nama itu, dan menelepon Yavin. Dia ingin meminta kembali Moka. Nomor kontak yang tertera di kartu nama seharusnya nomor kerja Yavin. Dalam tujuh tahun terakhir, ini adalah kali kedua dia menelepon Yavin. Yang pertama adalah enam tahun lalu, saat dia terbaring lemah di rumah sakit karena pendarahan hebat. Malam itu, dia menelepon dan mendengar suara yang rendah beratnya, [Halo, siapa ini?] Hanya mendengar suara itu saja, Myria langsung menutup telepon. Kini, dia berdiri di balkon, menatap ke ruang tamu di mana putrinya duduk menonton TV. Dia menutup pintu balkon, bersandar dengan punggung rampingnya. Dia menatap angka-angka di layar, ragu-ragu, lalu menekan tombol panggil. Telepon berdering tiga kali, lalu tersambung. Yang menjawab adalah seorang wanita. Suaranya lembut dan merdu. [Halo, cari Yavin, ya?"] Darah di tubuh Myria seolah membeku seketika. Dia menggenggam ponsel, tenggorokannya kaku, tidak bisa bicara. Wanita itu kembali berkata "Halo?" beberapa kali. Myria akhirnya menemukan suaranya. "Maaf, saya salah sambung." [Nggak salah sambung kok. Kamu cari Yavin, 'kan? Dia lagi mandi, nanti aku minta dia telepon balik kamu.] Yang menutup telepon lebih dulu adalah Myria. Punggung ramping wanita itu bersandar pada pintu, lalu perlahan meluncur turun dan berjongkok. Sekarang pukul sembilan malam. Suara di telepon tadi, pacarnya? Dengan wajah dan latar belakang seperti Yavin, mustahil dia kekurangan perempuan di sekelilingnya. Myria menarik napas dalam-dalam, wajah indahnya tampak sedikit lelah. Dia duduk di ambang pintu, menatap cahaya bulan yang redup di luar jendela. Myria tahu, dia seharusnya tidak terlalu memikirkan kehidupan Yavin. Tujuh tahun telah berlalu. Kehidupan yang mereka jalani bagaikan dua dunia yang sangat berbeda. Mungkin, dia sudah lama melupakan sosok bernama Rani. Atau mungkin, pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis gemuk adalah aib memalukan bagi pria sekelas dia. Jika bukan karena Myria dulu menggunakan urusan Tiana untuk mengancamnya, mana mungkin Yavin mau berpacaran dengannya? Myria mengalami sedikit hipoglikemia. Saat berdiri, jemarinya mencengkeram erat gagang pintu. Dia memejamkan mata sambil mengatur napas. Kepalanya terasa berputar, dan kakinya terasa lemas. Dia menjadi kurus setelah melahirkan. Berat badan yang turun membuatnya mengalami masalah gula darah rendah. Saat terlalu lelah, cemas, atau tegang, gejalanya muncul. Tiba-tiba, ponsel di tangannya bergetar hebat di telapak tangannya. Myria menunduk. Di layar, nomor yang dia hubungi tadi muncul kembali. Yavin menelepon balik. Getaran ponsel membuat telapak tangannya mati rasa. Myria terpaku menatap angka-angka yang berkedip di layar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab. Di kediaman Keluarga Ronan. Lantai tiga. Yavin baru selesai mandi, mengenakan piama sutra hitam. Rambut pendeknya masih basah, wajahnya tetap tampan dingin. Dia melirik ke arah anak anjing kecil berwarna krem yang sedang meringkuk minum susu di lantai. Sambil menelepon, dia berjalan mendekat, melihat si anak anjing hampir masuk ke dalam mangkuk, dia lalu langsung mengangkatnya. Telepon tersambung. Yavin berkata, [Halo, siapa ini? Ada urusan apa?] Sekar tidak tahan dan berkata, [Pelan-pelan dong, kamu kasar banget.] Sekar mendekat, merebut anak anjing itu dari tangan Yavin dan menggendongnya. Myria mendengar suara perempuan itu dari seberang, dan kata-kata yang ingin dia ucapkan langsung tersangkut di tenggorokan. Dia mengira, Yavin sedang menggoda wanita itu. Mungkin baru saja tidur bersama, dan masih sempat menelepon sambil bercengkerama. Wajah Myria seketika menjadi pucat. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat. [Halo, kalau ada urusan langsung saja.] Yavin belum menutup telepon, suaranya datar. Dia mengira itu telepon dari pasien, karena nomor ini memang aktif 24 jam. "Ini saya, Pak Yavin. Apakah anjing putri saya tertinggal di mobil Anda?" Mendengar suara lembut wanita dari ponselnya, Yavin terdiam sejenak. Dia tidak tahu apakah karena akhir-akhir ini terus memikirkan Rani, pikirannya jadi kacau. Sesaat, dia merasa suara wanita ini terdengar sangat akrab. [Ya, ada di sini.] "Pak Yavin, apakah besok Anda ada waktu? Kita bisa janjian di suatu tempat. Putri saya sangat menyukai anjing itu ... " [Minggu depan saja. Besok saya harus ke Kota Andara. Nanti saya hubungi lagi.] "Baik." Myria menggigit bibirnya pelan. "Maaf sudah mengganggu." Dia hendak menutup telepon. Saat jemarinya mulai menjauh dari layar, suara berat Yavin terdengar lagi. [Namamu siapa? Biar aku simpan nomor ponselmu.] "Myria Nismara." [Maria? Miria?] Di samping, Sekar tidak tahan, melirik sinis ke arah adiknya dan berseru, [M-y-r-i-a! Myria! Kamu budek kah?] Di sisi lain, Myria dapat mendengar suara mengeluh manja wanita itu. Dia pun membayangkan sosok wanita itu pasti dari putri keluarga terpandang. Tanpa ragu, dia segera menutup telepon. Melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Setidaknya untuk saat ini, itu sangat berguna.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.