Bab 5
Setelah kembali ke kamarnya, Julie memaksa untuk menelan banyak obat.
Dia meraba belakang telinganya, lalu ujung jarinya dipenuhi darah segar.
Suara dokter terngiang di kepalanya. "Nona Julie, sebenarnya banyak kondisi memburuk karena emosi pasien. Kamu harus menjaga kestabilan emosi, tetap optimis dan bekerja sama dengan pengobatan."
Optimis? Mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan.
Julie berusaha keras untuk tidak memikirkan ucapan Victor. Dia bersandar di bantal dan memejamkan mata.
Hingga langit mulai cerah, dia tetap tidak tertidur.
Mungkin karena efek obat, pendengarannya sedikit pulih.
Menatap cahaya tipis matahari yang menembus jendela, Julie terdiam cukup lama.
"Hujan reda."
Alasan yang membuat seseorang menyerah, tidak hanya satu.
Semua itu adalah akumulasi hari demi hari. Akhirnya, cukup masalah sepele yang berupa kalimat dingin atau hal kecil yang tampak sepele ....
Hari itu, Victor tidak keluar.
Sejak pagi, dia duduk di sofa sambil menunggu Julie minta maaf. Dia menunggu Julie menyesal.
Tiga tahun menikah, Julie bukannya tidak pernah marah.
Namun, setiap kali selesai menangis dan marah, tidak lama kemudian dia pasti minta maaf.
Kali ini, Victor berpikir tidak akan ada bedanya.
Dia melihat Julie selesai bersiap. Dia keluar dengan pakaian gelap yang biasa dia kenakan sambil menyeret sebuah koper. Di tangannya, ada selembar dokumen.
Saat Julie menyerahkan dokumen itu, Victor baru sadar di bagian atas tertulis kata Surat Cerai.
"Victor, kapan saja kamu ada waktu, hubungi aku."
Julie mengatakan kalimat sederhana itu, lalu menyeret kopernya keluar rumah.
Di luar, langit cerah.
Sesaat, Julie merasa seolah dirinya baru terlahir kembali.
Victor menggenggam surat cerai itu. Dia terpaku di sofa ruang tamu.
Dia tidak tersadar dari keterkejutannya dalam waktu lama.
Setelah bayangan Julie benar-benar hilang dari pandangan, dia tersadar bahwa wanita itu telah pergi.
Namun, rasa jengkel itu hanya sebentar. Kemudian, rasa itu segera berganti dengan ketidakpedulian. Dia tidak menganggap kepergian Julie sesuatu yang serius.
Baginya, cukup dengan satu telepon, satu kalimat, Julie pasti akan kembali patuh ke sisinya. Julie akan lebih penurut dari sebelumnya.
Kali ini, pasti juga sama.
Hari itu adalah akhir pekan saat berziarah.
Setiap tahun di waktu seperti ini, Victor selalu membawa Julie pulang ke rumah leluhur untuk sembahyang.
Setiap kali, mereka pasti tidak bisa menghindari tatapan aneh dari para kerabat Keluarga Luliver.
Hari ini, akhirnya hanya dia seorang diri.
Victor justru merasa lebih senang. Dia menyetir menuju rumah lama sendirian.
Sepanjang jalan, dia ditemani semilir angin. Hatinya terasa enteng seperti belum pernah sebelumnya.
Keluarga Luliver adalah keluarga besar. Setiap tahun di waktu seperti ini, banyak kerabat datang kembali untuk sembahyang. Ditambah sanak saudara dari cabang lain, jumlahnya tidak kurang dari lima sampai enam ratus orang.
Hanya kerabat seumuran dengan Victor saja ada tujuh sampai delapan puluh orang. Banyak di antaranya cerdas dan berbakat.
Di antara mereka, Victor bisa menonjol dan menjadi pemimpin keluarga. Terlihat jelas, dia bukan orang biasa.
Dia berkuasa, keras dan kejam. Bukan hanya generasi sebayanya, bahkan para sesepuh pun segan padanya.
Meskipun segan, pembicaraan di belakang tetap tidak sedikit.
Dulu, pria kebanggaan keluarga, ternyata juga pernah tertipu. Dia bahkan menikahi seorang istri dengan gangguan pendengaran ....
Di rumah lama.
Ibunya, Yanny, sejak pagi sudah memberi perintah pada para pelayan.
"Ingat, kalau Julie datang nanti, jangan biarkan dia masuk ruang tamu."
Jika bukan karena aturan keluarga Luliver bahwa istri cucu sulung wajib hadir saat sembahyang, Yanny sama sekali tidak akan mengizinkan Julie tampil di depan umum.
Namun, kali ini, Julie ternyata tidak datang.
Para kerabat yang hadir pun heran. Biasanya, Julie selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Dia sibuk menyenangkan hati semua orang.
Namun, hari ini, dia benar-benar tidak muncul?
Yanny sedang bercakap dan tertawa dengan beberapa nyonya kaya. Saat mendengar Julie tidak datang, dia langsung mengerutkan alis cantiknya.
Acara sembahyang sebesar ini, apa Julie kira bisa datang atau tidak sesuka hatinya?
Dia mendekati Victor, lalu bertanya dengan suara pelan, "Victor, di mana Julie?"
Victor sedang mengobrol dengan beberapa teman lamanya. Mendengar pertanyaan itu, sorot matanya langsung menjadi masam.
"Dia ribut minta cerai, lalu kabur dari rumah."
Begitu kalimat itu terucap, sekeliling langsung terdiam. Semua orang terbelalak dengan tidak percaya.
Yanny lebih terkejut lagi.
Di dunia ini, selain orang tuanya, tidak ada yang lebih mencintai Victor daripada Julie.
Tujuh tahun lalu, Victor hampir ditusuk orang, Julie mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya.
Empat tahun lalu, saat mereka bertunangan, Victor pergi ke Negara Dabai untuk urusan bisnis dan mengalami kecelakaan.
Semua orang mengira Victor sudah mati. Hanya Julie yang tidak mau percaya. Dia langsung pergi mencarinya.
Di kota asing itu, Julie mencarinya selama tiga hari penuh. Saat dia menemukannya, dia malah disalahkan karena dianggap ikut campur ....
Bahkan setelah menikah, entah saat Victor sakit, dirawat atau dalam urusan sehari-hari. Sampai pada orang-orang di sekeliling Victor, termasuk sekretaris maupun asistennya, Julie selalu bersikap hati-hati. Dia takut menyinggung siapa pun.
Selama ini, Julie seakan tidak bisa hidup tanpa Victor. Setelah Gavin meninggal, dia malah berani mengajukan cerai dan memilih meninggalkannya ....
Kenapa?
Yanny tidak mengerti. Namun, dia lega karena Julie sudah melepaskan putranya.
"Wanita seperti dia memang tak pantas tampil di depan orang banyak. Cerai lebih baik."
"Dia sama sekali tak pantas untukmu."
Begitu Yanny bicara, orang lain pun langsung ikut menimpali.
"Benar, Victor itu muda dan berbakat. Masa depannya cerah. Semua itu terbuang gara-gara Julie."
"Setiap kali melihat Julie, aku merasa dia sama sekali tak seperti putri keluarga terpandang, tak punya selera dan tak punya moral. Lagi pula, dia tuli. Pak Victor masih bertahan dengannya, itu saja sudah harus membuat mereka bersyukur."
"... "
Acara sembahyang pun berubah menjadi ajang menghina Julie.
Dia seakan-akan adalah orang yang penuh dosa besar.
Mereka, termasuk Yanny, lupa saat Gavin masih hidup dan posisi Victor belum stabil, ada begitu banyak anak dari keluarga kaya yang ingin menikahi Julie.
Mereka juga lupa, orang yang pertama kali mengusulkan pernikahan antar keluarga adalah Keluarga Luliver.
Dulu, orang-orang Luliver hanya berani membicarakan Julie di belakang karena Victor. Sekarang, mereka berani terang-terangan bergosip.
Victor seharusnya merasa puas. Namun, entah kenapa, semua suara itu terdengar menusuk di telinganya.
Setelah sembahyang selesai.
Victor segera menyetir pergi dari rumah lamanya.
Saat kembali ke Vila Glendale, langit sudah mulai gelap.
Setelah Victor membuka pintu, dia refleks melemparkan mantel ke dekat pintu. Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada yang datang.
Dia mendongak, lalu melihat ruang tamu yang gelap dan sunyi. Saat ini, dia baru tersadar Julie benar-benar sudah pergi ....
Dia mengambil mantelnya lagi dengan kesal. Dia mengganti sendal rumah, lalu melemparkan mantel itu ke mesin cuci.
Entah kenapa, hari itu dia merasa sangat lelah.
Victor pergi ke ruang penyimpanan anggur. Dia berniat mengambil botol untuk merayakan kepergian Julie.
Namun, saat tiba di sana dan melihat pintunya terkunci rapat, Victor baru sadar dia tidak punya kuncinya!
Victor tidak suka ada orang asing masuk rumah, jadi di vila itu hanya ada pekerja paruh waktu. Dia tidak memiliki pembantu tetap.
Sejak Julie menikah masuk ke rumah ini, semua urusan selalu dia tangani sendiri.
Victor kembali ke kamar, lalu mencari ke sana kemari. Dia tetap tidak menemukan kunci ruang anggur.
Dia mengambil ponsel dan menyalakannya dengan kesal.