Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Biasanya, meski tanpa alat bantu dengar, dia masih bisa mendengar suara pelan. Julie meraba bangkit, lalu mengambil obat di meja samping dan menelannya. Dia merasa pahit dan getir. Sejak kemarin, setelah meninggalkan Vila Glendale yang dia tinggali tiga tahun terakhir. Dia kembali terlebih dulu. Namun, baru sampai di depan rumah, dia mendengar percakapan ibu dan adiknya, Samuel. "Kenapa dulu aku melahirkan anak tak berguna seperti dia? Tiga tahun, Victor sama sekali tak pernah menyentuhnya!" "Sampai sekarang, dia bahkan belum bisa disebut wanita seutuhnya. Dia masih berani mau cerai." Ucapan Poppy yang marah itu menusuk hati Julie seperti belati. Julie tidak mengerti. Di mata ibunya, seperti apa wanita yang dianggap utuh? Apakah harus dicintai suami? Atau melahirkan anak? Perkataan Samuel bahkan lebih menyakitkan. "Kakak tak seperti anggota keluarga Purnama. Aku dengar, cinta pertama Victor sudah kembali. Meski tak cerai, dia juga akan diusir." "Kalau begitu, lebih baik kita pikirkan masa depan. Bukankah istri Pak Lindra baru mati? Kakak memang punya masalah pendengaran, tapi untuk menikah dengan kakek berumur delapan pulun, itu masih lumayan ...." Mengingat kembali ucapan itu, mata Julie tampak kosong. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkannya. Saat ponselnya berbunyi, dia mengira itu dari Victor. Ternyata saat dibuka, dari pengacaranya, Morgan. Morgan mengirim pesan padanya. [Julie, aku sudah menyerahkan surat peralihan aset pada Victor, tapi sikapnya tidak baik. Ke depannya, lebih baik kamu pikirkan dirimu sendiri.] Julie membalasnya. "Terima kasih, aku akan melakukannya." Pesan itu terkirim. Julie termenung. Julie berpikir, menyerahkan aset yang tersisa pada Victor bukan karena dia mulia. Namun, karena dia tidak ingin berutang terlalu banyak pada Victor .... Sayangnya, dia tidak bisa menyerahkan aset sebesar yang pernah disepakati dalam perjanjian pra-nikah. Mungkin seumur hidup, dia harus menanggung cap menipu pernikahan. Dua hari tanpa makan apa pun, Julie bahkan tidak merasa lapar. Hanya saja, sekelilingnya terlalu sunyi. Terasa sunyi hingga tampak menakutkan. Dia sudah memakai alat bantu dengar dan meminum obat, tapi kenapa masih tidak bisa mendengar apa pun? Dia khawatir Victor menelepon untuk menentukan waktu mengurus perceraian. Namun, dirinya tidak mendengarnya. Julie naik taksi menuju rumah sakit terdekat. Dokter melakukan pemeriksaan dasar. Ternyata, liang telinganya masih ada darah yang mengering. Hari itu, dokter melakukan perawatan. Pendengaran Julie pun sedikit membaik. "Apa yang terjadi? Sudah berapa lama penyakitmu ini?" Julie menjawab dengan jujur, "Sejak lahir, aku sudah punya gangguan pendengaran." Melihat gadis muda di depannya, dokter terkejut. Julie baru dua puluhan tahun. Dia masih di usia terbaik. Saat masuk tadi, Julie sama sekali tidak terlihat sedang sakit. Dia hanya merasa sangat disayangkan. "Jujur saja, kalau begini terus, kamu mungkin benar-benar akan tuli." "Nanti, bahkan dengan alat bantu dengar pun tak akan berguna lagi." Harapan di mata Julie lenyap. Tenggorokannya seolah tersumbat kapas, hingga terasa sesak. Dia tidak berbicara dalam waktu lama. Dokter menoleh ke pintu. "Kamu datang sendiri? Mana keluarga atau temanmu?" Keluarga? Julie teringat pada ibunya yang membencinya, adiknya yang ingin menikahkannya dengan kakek tua dan suaminya, Victor yang membencinya selama lebih dari tiga tahun. Terakhir, ingatannya berhenti pada tatapan enggan ayahnya, Gavin, sebelum meninggal. "Ayah tak rela pergi .... Kalau Ayah pergi, bagaimana dengan Julie ...." Julie baru mengerti. Dulu, setelah ayahnya kecelakaan dan tubuhnya penuh alat medis, meski kesakitan, dia tidak rela pergi. Ternyata karena jika dia pergi, Julie tidak akan punya keluarga lagi .... Julie menahan rasa pahit di tenggorokannya, lalu berkata pada dokter, "Sudah mati." ... Saat keluar rumah sakit, gerimis kembali turun. Di Kota Torun, tahun ini hujan terasa lebih sering dari biasanya. Di depan rumah sakit, orang-orang berlalu-lalang berpasangan atau berkelompok. Hanya Julie yang sendirian. Dia melangkah ke tengah hujan. Dia tidak tahu harus ke mana. Membayangkan mungkin dia tidak bisa mendengar lagi nanti, Julie membeli tiket ke luar kota dan pergi ke desa. Dia ke rumah Marry, pengasuh yang selalu menjaganya dulu. Saat tiba, sudah pukul sembilan malam. Julie berdiri di depan rumah bata tua itu. Dia tidak berani mengetuk pintu dalam waktu lama. Selama ini, demi mengurus Victor dengan baik, setiap kali bertemu Marry dia selalu terburu-buru. Saat dia masih ragu, pintu tiba-tiba terbuka dari dalam dan cahaya hangat memancar keluar. Marry melihat Julie. Seketika, wajah tua yang ramah itu dipenuhi rasa gembira. "Julie ...." Menatap senyum hangat Marry, hidung Julie terasa perih. Dia merangkul wanita tua itu. "Tante Marry ...." Karena kondisi tubuhnya, Marry tidak pernah menikah dan tidak punya anak sendiri. Bagi Julie, dia lebih dekat dibanding ibu kandungnya sendiri. Marry seakan merasakan sakit dan sedihnya. Lalu, dia menepuk bahunya dengan lembut. "Julie, ada apa denganmu?" Julie jarang menunjukkan sisi rapuhnya. Terakhir kali, dia seperti ini ketika Gavin mati. Julie menggeleng. "Tak apa-apa. Aku cuma kangen sama Bibi, kangen ...." Marry melihat dia enggan bercerita, jadi tidak bertanya lebih jauh. "Aku juga kangen sama kamu." Marry melihat Julie basah kuyup. Dia segera menariknya masuk ke dalam rumah dan menyuruhnya mandi air hangat dulu Malam itu. Julie bersandar di pelukan Marry, seolah kembali ke masa kecilnya. Saat Marry merangkulnya, dia baru sadar tubuh Julie sangat kurus. Dia hampir tidak memiliki daging sama sekali. Tangannya menyentuh punggung Julie yang tinggal tulang. Dia tidak henti gemetar, tetapi dia memaksa dirinya tetap tenang. "Julie, Victor baik sama kamu?" tanyanya hati-hati. Mendengar nama Victor, tenggorokan Julie terasa sakit. Dia refleks ingin berbohong lagi pada Marry. Dia ingin mengatakan Victor baik padanya .... Namun, dia tahu Marry tidak bodoh. Karena sudah memutuskan pergi, dia tidak mau menipu dirinya, apalagi menipu orang yang benar-benar menyayanginya. "Orang yang dia suka sudah kembali. Aku siap melepaskannya, cerai dengannya." Marry tertegun. Dia tidak percaya. Dulu, Julie berkali-kali bilang ingin hidup bersama Victor sampai tua. Melihat Marry tidak menjawab, Julie memeluknya erat sambil berbisik. "Bibi Marry, bolehkah aku seperti Bibi?" Tidak menikah. Selamanya sendirian. Seperti kata Victor, sebatang kara sampai mati. Jika bisa memilih dicintai, siapa yang mau memilih kesepian? Marry mendengar kata-kata Julie, hatinya perih. "Gadis bodoh, jangan bicara begitu." "Hidupmu masih panjang. Meski cerai dengan Victor, masih akan ada orang lain yang mencintaimu dan sayang padamu." Julie mengangguk pelan. Suara berdengung di telinganya menutupi suara penghiburan Marry. Mencintai sepihak lebih dari sepuluh tahun. Dia paling tahu betapa berat dan sulitnya mencintai seseorang. Dengan dirinya yang seperti ini, bagaimana pantas dia menerima cinta orang lain? Air mata mengalir dan membasahi bantalnya. Keesokan harinya. Julie membuka mata dengan linglung. Dia bingung kenapa dia ada di sini.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.