Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Tiga tahun menikah, Chivonia mencoba bunuh diri sebanyak 108 kali. Saat terbangun kembali, dia menemukan dirinya terbaring di menemukan rumah sakit dengan pikiran kosong. Sepasang suami istri paruh baya duduk di samping. Melihat wanita itu membuka mata, mereka langsung mengerutkan kening. "Mau buat onar sampai kapan?" "Sejak awal yang Stev cintai itu Scarlet. Kalau bukan salah masuk kamar karena mabuk, untuk apa dia menikahimu?" Wajah wanita itu terlihat kesal, "Wajar kalau dia nggak mencintaimu dan nggak mau pulang, kamu malah terus mengancamnya dengan bunuh diri. Lihatlah setiap percobaan bunuh dirimu selama ini, dia pernah peduli padamu nggak?" "Kalau bukan karena kamu putri kandung kami, kami nggak akan peduli padamu." Pria itu juga ikut mengeluh, "Kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan Scarlet." Chivonia menatap mereka dengan tatapan kosong. Chivonia telah kehilangan semua ingatan, bahkan dirinya siapa pun tidak tahu. Dia hanya bisa mengumpulkan kembali kehidupan yang tercerai-berai akibat omelan pasangan yang mengaku sebagai orang tuanya. Chivonia adalah putri sulung Keluarga Senor yang hilang dan diculik saat kecil. Setelah akhirnya ditemukan, dia menemukan keluarganya telah mengadopsi seorang gadis bernama Scarlet. Kini orang tua yang seharusnya menyayanginya hanya peduli pada putri angkat mereka. Tempat yang seharusnya menjadi miliknya telah ditempati oleh orang lain. Kemudian, Chivonia jatuh cinta pada Stevino, CEO Grup Pardis. Sayangnya pria itu hanya mencintai Scarlet. Hingga pada perjamuan itu, Stevino yang mabuk salah masuk kamar dan tidur dengannya. Setelah bergumul semalaman, Stevino terpaksa menikahi wanita itu dan malah bersikap sangat dingin serta jijik padanya. Kedua orang tua tidak mencintainya, suaminya juga sama. Chivonia hancur, tetapi tidak bisa mengubah apa pun dan hanya berulang kali bunuh diri untuk mendapatkan perhatian. "Oke, kami harus kembali dan masak untuk Scarlet." Pasangan itu berdiri, "Kamu tinggallah di sini dan renungkan perbuatanmu." Saat pintu bangsal tertutup, Chivonia merasakan sakit yang mendalam di hati. Dia tidak memiliki ingatan, tetapi keputusasaan ditelantarkan dunia terasa begitu nyata. Chivonia tidak mengerti bagaimana seseorang bisa mencintai putri angkat, alih-alih putri kandung sendiri. Pria bernama Stevino itu .... Dia jelas salah masuk kamar dan salah mengenali orang. Karena sudah menikah, mengapa pria itu tidak bisa memperlakukan Chivonia dengan baik? Mengapa malah membuat wanita itu ke situasi yang begitu menyedihkan dengan sikap cueknya? Chivonia tidak berani memikirkannya. Hanya mendengar kenangan-kenangan asing ini saja membuat hati terasa sakit seperti diiris pisau. Bagaimana dengan dirinya di masa lalu? Betapa putus asanya Chivonia, menghadapi situasi ini tanpa kasih sayang orang tua dan perhatian dari suami setiap hari? Chivonia perlahan berdiri dan mengurus prosedur pemulangannya sendiri. Namun saat berdiri di pintu masuk rumah sakit, dia tidak tahu harus ke mana. Chivonia tidak ingat di mana orang tuanya tinggal ataupun tempat tinggal keluarga Stevino. Yang lebih tragis adalah kedua keluarga itu tidak menerimanya. Keributan tiba-tiba terjadi di pintu masuk rumah sakit. Chivonia mendongak dan melihat seorang pria jangkung melangkah ke arahnya sambil menggendong sosok ramping. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi dengan bahu tegak dan terlihat sangat tampan. Setiap langkah diambil dengan sangat tegas. Wanita dalam pelukannya dilindungi dengan hati-hati, wajah yang pucat menempel di dada pria itu. Dia menatap wanita itu dengan sorot mata lembut, lengan dikepalkan dengan posesif, bahkan langkah pun tanpa sadar menjadi lebih ringan karena takut menyakitinya. "Minggir!" Suara pria itu pelan, tetapi membuat semua orang langsung bubar. "Ya ampun, itu Stevino?" bisik seseorang di belakang. "Siapa lagi di Kota Narden yang punya aura seperti ini? Dia begitu tampan sampai kakiku jadi lemas ...." Chivonia membeku di tempat. Jadi ini suaminya, Stevino. Mungkin yang ada di pelukan pria itu adalah adik angkatnya, Scarlet. Saat melewati Chivonia, pria itu tanpa sadar menghentikan langkah. Sepasang mata hitam pekat menyapu Chivonia, sedingin es yang menyayat kulit. Namun beberapa detik kemudian, Stevino mengalihkan pandangan dan membawa orang dalam pelukan ke ruang gawat darurat. Tubuh Chivonia yang lemah agak menggigil. Dia tidak menyusul, masih mempertimbangkan langkah selanjutnya .... Detik berikutnya, langkah kaki terdengar di belakang. Saat berbalik, Chivonia melihat Stevino kembali. Stevino mencengkeram pergelangan tangan Chivonia dengan kuat hingga dia meringis. "Darahmu RH-negatif?" Tanpa menunggu jawaban, dia menarik wanita itu ke ruang pengambilan darah. "Scarlet mengalami pendarahan hebat akibat kecelakaan mobil. Bank darah rumah sakit sangat butuh. Donorkan darahmu untuknya." "Aku ...." Chivonia hendak berbicara ketika Stevino tiba-tiba mencengkeram bagian belakang kepalanya. Pria itu mencondongkan tubuh dan menciumnya. Ciuman itu dingin dan singkat, langsung terlepas begitu bersentuhan. "Sekarang sudah bisa donor nggak?" tanya pria itu dengan suara rendah, sorot matanya kosong. Sebelum Chivonia sempat menjawab, dia didorong masuk ke ruang pengambilan darah. Di luar, celoteh para perawat terdengar jelas. "Itu Bu Chivonia yang mencoba bunuh diri 108 kali? Kudengar pertama kali dia mencoba bunuh diri karena ingin dicium Pak Stevino, kedua kali karena ingin kencan, ketiga kali karena ingin tidur bersama ... dia selalu ditolak, benar-benar nggak punya malu." "Sekarang akhirnya Pak Stevino menciumnya, tapi itu untuk membuatnya mendonorkan darah kepada Nona Scarlet ...." "Dia pasti senang sekaligus patah hati, 'kan? Senang akhirnya dicium oleh Pak Stevino, tapi sedih karena itu demi orang lain ...." Chivonia berbaring di kursi pengambilan darah. Melalui jendela kaca, dia melihat Stevino berdiri di samping kasur Scarlet. Jari-jari ramping itu menggenggam tangan Scarlet yang pucat dengan lembut, lalu membungkuk untuk mengecup punggung tangan Scarlet. Anehnya, Chivonia tidak merasa senang maupun sakit hati. Rasa sakit akibat jarum yang menusuk pembuluh darah bagaikan selubung tipis, bahkan emosi yang paling memilukan pun tersamarkan oleh hilangnya ingatan. Ternyata melupakan segalanya adalah berkah dari langit. Setelah mendonorkan 400cc darah, Chivonia terlihat pucat dan penglihatannya menjadi gelap. Dia bergumul cukup lama, akhirnya memilih untuk berjalan ke hadapan Stevino. "Stev, bisa beri tahu ... alamat rumah kita? Sebagai gantinya, aku bisa memberimu hadiah." Stevino mengerutkan kening. "Apa lagi yang kamu rencanakan? Sudah begitu sering bunuh diri sampai lupa di mana rumahmu?" "Nggak, aku hilang ingatan ...." "Sopir sudah di depan pintu," sela Stevino, "Suruh dia antar kamu pulang." "Terima kasih," kata Chivonia dengan lembut, "Aku akan menyiapkan hadiahnya." "Nggak perlu," kata Stevino dengan ketus, "Aku nggak tertarik dengan hadiahmu, kamu juga nggak perlu berusaha menyenangkanku." Chivonia menunduk, senyuman samar tersungging di sudut bibirnya. Benarkah? Namun kamu akan menyukai hadiah ini. Setelah masuk ke dalam mobil, Chivonia mencari nomor pengacara di buku alamat ponselnya dan mengirim pesan. [Halo, aku mau cerai dan memutuskan hubungan dengan orang tua. Tolong bantu aku siapkan surat cerai serta surat pemutusan hubungan orang tua.]
Bab Sebelumnya
1/20Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.