Bab 5
Begitu Chivonia berbicara, seluruh tempat menjadi hening.
Mata semua orang terbelalak, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Ternyata Chivonia yang telah berjuang mati-matian demi Stevino bilang dia tidak lagi menyukainya?
Tatapan semua orang tertuju pada Chivonia dengan wajah terkejut. Hanya Stevino yang berdiri di hadapannya dengan setelan rapi memasang wajah dingin dan acuh tak acuh. Sorot matanya tanpa emosi.
"Sudah berapa kali kamu mencoba jual mahal?" Suaranya rendah, membawa sindiran yang jelas, "Sudah kubilang, nggak ada gunanya mengacau."
Dia mencondongkan tubuh ke depan dengan bibir tipis terbuka dan setiap kata diucapkan sangat tegas seolah ingin menghancurkan sisa-sisa harga diri Chivonia.
"Aku benar-benar nggak menyukaimu."
Begitu mendengar ini, akhirnya para tamu di sekitar tersadar dari keterkejutan mereka dan bisikan-bisikan pun berdatangan.
"Makanya, mana mungkin Nona Chivonia tiba-tiba nggak suka Pak Stevino lagi?"
"Benar, dia pernah mencoba bunuh diri 108 kali cuma agar Pak Stevino lebih perhatian padanya."
"Ck, ck, kasihan sekali ...."
Chivonia mengepalkan tangan. Kukunya menancap di telapak tangan, tetapi dia tidak merasakan sakit.
Dia membuka mulutnya, ingin mengulangi ucapannya ....
Kalau dirinya tidak sedang jual mahal dan benar-benar tidak mencintai Stevino lagi.
Namun sebelum Chivonia sempat berkata apa-apa, Pak Sofyan menyela dengan kasar, "Maaf, semuanya. Kami gagal membesarkan putri kami hingga melakukan hal tercela seperti mencuri!"
Dia melambaikan tangan dengan ketus sebelum berkata kepada para pengawal, "Pengawal, masukkan dia ke dalam ruang pendingin hotel dan biarkan dia membeku semalaman untuk agar bisa sadar!"
Pupil mata Chivonia menyusut dan dia langsung mendongak. "Sudah kubilang aku nggak mencuri ...."
Namun, tidak ada yang mendengarkan penjelasannya.
Dua pengawal melangkah maju dan mencengkeram pergelangan tangan Chivonia dengan kasar. Dia meronta mati-matian, tetapi tiba-tiba rasa sakit yang tajam menusuk tengkuknya.
Batang besi pengawal itu mengenai Chivonia, membuatnya terhuyung mundur dan pandangan menjadi gelap.
Detik terakhir sebelum pingsan, dia bertemu pandang dengan Stevino.
Pria itu berdiri di sana, menatapnya dengan wajah acuh tak acuh.
Setelah itu, Chivonia terbangun oleh hawa dingin yang menusuk.
Embun beku membekukan bulu mata. Napasnya seperti kabut putih, anggota tubuh membeku kaku hingga darah juga terasa membeku.
Suhu ruang pendingin itu minus 30 derajat dan dia hanya mengenakan gaun tipis, kulit yang terbuka sudah membeku menjadi ungu.
"Aku nggak boleh mati ...." Chivonia berjuang keras untuk bergerak, "Aku nggak boleh mati ...."
Dokumen imigrasi akan segera selesai.
Chivonia harus meninggalkan tempat ini.
Sebentar lagi, dia bisa memulai hidup baru.
Dengan seluruh kekuatan, Chivonia merangkak ke pintu ruang pendingin. Jari-jari yang ungu karena membeku menggedor logam berat itu dengan putus asa.
"Tolong ... tolong ...."
"Ada orang nggak ... tolong aku ...."
Suara Chivonia serak, tetapi tidak ada jawaban dari seberang sana.
Sampai ....
"Jangan gedor lagi."
Suara tawa lembut terdengar dari luar.
Chivonia membeku.
Itu Scarlet.
"Sekarang semua orang sedang merayakan ulang tahunku, siapa yang sempat peduli padamu?" Scarlet terkekeh, nadanya penuh dengan kesombongan, "Oh iya, ada yang lucu ...."
"Hari ini juga ulang tahunmu, 'kan?"
"Sayangnya nggak ada yang ingat."
Chivonia menggigit bibir kuat-kuat, aroma darah memenuhi mulutnya.
"Aku menjadi pusat perhatian di ruang perjamuan mewah, sementara kamu kedinginan di sini ...." Scarlet terkekeh, "Chivonia, terus kenapa kalau kamu gadis kaya raya? Terus kenapa kalau aku anak yatim piatu yang diadopsi dari panti asuhan?"
"Kamu masih jauh lebih rendah dariku."
Chivonia memejamkan mata, rasa manis yang amis menggenang di tenggorokan.
Tiba-tiba ponsel Scarlet berdering.
Dia seolah sengaja menekan tombol pengeras suara agar Chivonia bisa mendengar suara di telepon dengan jelas.
"Scarlet, ke mana saja kamu?"
Itu Stevino.
Suara pria itu rendah dan lembut, penuh kasih sayang yang belum pernah didengar Chivonia sebelumnya.
"Aku merasa agak pusing ...." Suara Scarlet langsung melemah, "Aku di ruang istirahat ...."
"Tunggu, aku akan segera ke sana."
Panggilan telepon berakhir dan keheningan kembali menyelimuti ruang pendingin itu.
Mendengar suara lembut Stevino saat berbicara kepada Scarlet, Chivonia perlahan memejamkan mata. Entah mengapa dia tiba-tiba teringat hari-hari panjang yang ditulis di buku hariannya.
Di halaman-halaman yang menguning, tulisan tangan itu kabur oleh air mata. Setiap goresan merupakan jejak keputusasaan yang diukir oleh tangannya sendiri.
Chivonia menulis tentang Stevino yang merayakan ulang tahun Scarlet, memesan seluruh restoran putar hanya agar dia bisa menyaksikan hujan.
Chivonia menulis tentang bagaimana ketika Scarlet demam, Stevino selalu berada di sisinya sepanjang malam, bahkan melewatkan upacara penandatanganan surat peresmian perusahaan.
Dia menulis tentang betapa hangatnya tatapan pria itu saat menatap Scarlet, tetapi menjadi dingin saat menatap dirinya.
Selama itu, Chivonia seperti figuran yang menyedihkan, bersembunyi dalam bayang-bayang sambil menyaksikan mereka jatuh cinta.
Untung saja kini akhirnya Chivonia tidak lagi mencintainya.
Kesadaran ini membuat Chivonia mengerutkan kening dan dia pun jatuh ke dalam kegelapan total.