Bab 12
"Raina!"
Mata Kezia seketika memerah.
Dia sudah mengalah begitu banyak, kenapa Raina tetap mau menyakiti Ibu yang paling dia sayangi!
Raina tidak hanya tidak takut, dia bahkan tertawa senang.
"Kak Kezia marah? Tapi bukannya yang kubilang itu kenyataan? Kakak-Kakak dan Ayah merasa Kak Kezia mencelakai Ibu, sedangkan aku ...."
Raina tersenyum dengan penuh makna.
Kezia tiba-tiba merinding, mata yang tersenyum itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Sebagai anak yang didanai orang tuanya, kenapa Raina berharap ibunya cepat meninggal?
Terpikirkan sesuatu, Kezia langsung gemetar.
"Kematian ibuku ada hubungannya denganmu?"
Baru saja selesai bicara, Kezia menyangkal dirinya sendiri. "Nggak, waktu itu kamu masih sangat kecil."
Mungkin saja ada orang yang memang jahat sejak lahir.
Melihat Kezia seakan-akan sudah mau gila, Raina semakin sombong.
Mendengar suara tawa Raina, Kezia langsung memaksa dirinya tenang.
Dia menatap mata Raina yang angkuh sambil berkata, "Sekarang kamu datang mencariku karena Reynald mengabaikanmu?"
Dalam sekejap, senyuman di wajah Raina langsung menghilang.
Kelihatannya dia benar.
Kezia mengalihkan pandangannya, lalu merapikan sketsanya dan melirik ke pintu.
Thomas yang diam-diam menguping dari luar bertatapan dengannya, dia pun terkejut lalu lari ke bawah.
Melihat orang itu sudah pergi, Kezia tertawa lagi.
"Kelihatannya kamu masih saja sangat gelisah. Mendapatkan hal yang bukan milikmu dengan cara haram, kamu pasti merasa nggak tenang, takut mereka akan lepas dari tanganmu?"
"Diam kamu!" Ekspresi Raina langsung berubah.
Dia mengepalkan kedua tangannya lalu menggertakkan giginya. "Jangan harap bisa mengadu domba hubunganku dengan mereka. Sekarang kamu yang dibuang sama mereka."
Kezia mengangkat bahunya tidak peduli. "Aku nggak peduli."
Melihat ekspresi Kezia yang datar, kebencian di mata Raina semakin jelas.
Namun, Kezia merasa ironis melihat perubahan Raina ini.
Dulu dia sangat iri dengan Raina, karena Raina bisa mendapatkan semua yang dia inginkan dengan mudah.
Namun sekarang, waktu dia sudah tidak menginginkan apa pun, dia menyadari kalau Raina juga gelisah.
Kezia maju selangkah untuk mendekati Raina.
Raina langsung berubah tegang. "Kamu mau ngapain?"
Dia menunduk melihat perut Raina lalu berkata secara perlahan, "Jangan ganggu aku lagi, kalau nggak aku juga akan membalasmu. Bagaimanapun juga, aku ini sudah mau mati."
Raina langsung melangkah mundur.
Tidak bisa, dia tidak boleh membiarkan Kezia menang!
Raina pun tertawa.
"Siapa bilang aku nggak tenang? Kamu sudah menghilang selama ini, Reynald sama sekali nggak mencarimu. Kamu mau coba dengar apa katanya tentang kamu yang menghilang?"
Begitu mengungkit Reynald, hati Kezia kembali terasa sakit.
Melihat rasa sakit di mata Kezia, Raina akhirnya tertawa.
Raina mengeluarkan ponselnya dan menelepon Reynald.
Berbeda dengan panggilannya yang tidak pernah diangkat, baru berdering tiga kali, panggilan Raina sudah diangkat.
"Raina, ada apa?"
Mendengar suara Reynald yang lembut, Kezia langsung menunduk.
Tangannya mencengkeram sudut meja di depannya.
Raina melirik Kezia dengan sombong.
"Katanya Kak Kezia menghilang, kamu sudah menemukannya?"
Suara Reynald langsung berubah dingin. "Hilang ya sudah, nggak usah dicari."
"Tapi Kak Kezia itu istrimu, kamu nggak mau coba mencarinya?"
"Nggak usah."
Reynald kembali menolak.
Raina sangat puas dengan jawabannya, sedangkan wajah pucat Kezia membuatnya refleks tertawa.
"Reynald, aku sedang menonton badut, aku pergi dulu."
Setelah mengakhiri panggilan, Raina mengangkat alisnya sombong.
"Bagaimana? Sudah kubilang di hati Reynald hanya ada aku. Kak Kezia yang kusayang, kalaupun kamu mati di sini, Reynald juga nggak peduli."
Kezia menutup matanya, menghirup napasnya untuk mengatur emosinya.
Rasa sakit di lambungnya membuatnya tidak peduli dengan kesedihan di hatinya. Tak lama kemudian, emosinya sudah dikendalikan.
Raina meliriknya dengan sinis lalu pergi dengan emosi menggebu-gebu.
Mendengar langkah kaki yang menjauh, Kezia akhirnya kehilangan tenaga dan langsung terjatuh duduk di lantai.
Kata-kata Reynald tadi masih bergema di otaknya.
Dia menghilang, Reynald sama sekali tidak berencana mencarinya.
Bahkan hanya demi menjaga nama baik Keluarga Geraldi, dia seharusnya pura-pura mencarinya, 'kan?
Ternyata Reynald sudah membencinya sampai seperti ini?
Sementara Raina, setelah turun ke bawah, dia berbisik sesuatu ke telinga Thomas.
Thomas kembali menunjukkan ekspresi ragu.
Raina langsung menaruh sebuah kartu bank ke tangan Thomas.
"Harusnya kamu juga tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu juga nggak mau ayahku datang mengajarimu, 'kan?"
Begitu Noah diungkit, ekspresi Thomas langsung berubah.
Keesokan harinya.
Di dalam vila.
Kezia yang baru saja menyimpan semua sketsanya tiba-tiba merasa rasa sakit yang amat sangat di lambungnya.
Perlahan-lahan, rasa sakit ini semakin kuat.
Gubrak!
Semua barang di meja jatuh karena dia, dia juga jatuh dari kursi ke lantai.
Sakit sekali!
Meski beberapa hari ini lambungnya selalu sakit, tidak pernah sesakit ini.
Seakan-akan dia akan segera mati.
Setelah itu, dia mencium aroma amis darah yang sangat pekat.
Kezia mengulurkan tangannya ke bagian yang terasa basah dan panas, lalu mengangkat tangannya ke depan matanya.
Ada darah!
Kemudian, dia menunduk melihat ke bawah.
Seperti dugaannya, bagian celana di antara kedua kakinya ternodai darah.
"Ah!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan pembantu.
Kezia mengangkat tangannya dengan susah payah ke arah pembantu itu.
"Tolong aku ...."
Pembantu itu langsung berlari menghampiri Kezia, lalu melihat ke arah dia berdarah, tidak tahu harus bagaimana.
"Nona Kezia, kenapa bisa begini?"
Kezia menggenggam pergelangan tangan pembantu itu dan berkata dengan serak, "Tolong panggilkan ambulans."
Pembantu itu malah menggeleng dengan mata merah. "Sebelumnya Pak Theo sempat berpesan, tanpa izinnya, kami nggak boleh menghubungi orang luar."
Mendengar itu, Kezia merasa kepalanya pusing.
Theo jelas-jelas sedang mencegahnya kabur dengan bantuan dari luar.
Heh ....
Dengan kondisinya seperti ini, dia mau kabur ke mana?
Tidak lama kemudian, otaknya langsung kembali jernih.
Kezia berkata sambil menahan rasa sakit, "Telepon Theo."
Pembantu itu baru sadar kembali dan segera menelepon Theo.
Tak lama kemudian, terdengar suara kesal Theo dari telepon. "Ada apa?"
Pembantu itu melihat Kezia lalu berkata, "Pak Theo, Nona Kezia berdarah, tolong cepat panggilkan ambulans untuknya."
"Tunggu di sana!"
Theo segera mengakhiri panggilan.
Satu jam kemudian,
Theo datang bersama Raina.
Matanya menatap ke pembantu itu lalu melihat Kezia yang berusaha menahan rasa sakit.
"Aktingmu bagus juga."
Akting?
Kezia mendongak, melihat mata Theo yang penuh dengan kebencian, dia tiba-tiba tertawa.
Rasa sakit di hatinya lebih kuat dari yang di lambungnya, membuatnya semakin mati rasa.
Theo tiba-tiba mengalihkan pandangannya.
Untuk sesaat, dia bisa-bisanya mengkhawatirkan si pembawa bencana yang mencelakai ibunya.
"Kak Theo, aku tetap di sini saja untuk menjaga Kak Kezia."