Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Suara itu bagaikan paku besi panas yang menusuk telinga dan jantung Brianna. Brianna memalingkan wajahnya yang sudah berlinangan air mata. Dia teringat dengan masa saat mereka pertama kali melakukannya. Di dalam kamar pengantin yang didekorasi dengan indah, Carlo bergerak dengan lembut dan terkendali. Pria itu terus bertanya apakah dia takut atau sakit ... seolah-olah dia adalah hal yang paling berharga di dunia ini. Hanya saja pada saat ini, pria itu malah melakukannya dengan wanita lain di hadapannya. Brianna ingin melarikan diri, tapi saat ini mereka sedang berada di jalan layang, dia sama sekali tidak bisa mendapatkan taksi. Dia hanya bisa berdiri di pinggir jalan seperti sampah yang dibuang, mendengarkan suara yang melukai hati dan membiarkan angin di musim gugur mengeringkan air matanya. 5 jam kemudian, kaca jendela mobil baru perlahan-lahan diturunkan, menunjukkan wajah Firlia yang memerah dan terlihat puas. Dia berkata sambil mengibaskan rambutnya dengan malas, "Masuklah, angin di luar sangat kencang." Brianna kembali duduk di dalam mobil dengan kaku. Aroma tubuh pria yang kuat bercampur dengan aroma parfum wanita membuat Brianna memejamkan matanya dengan kesakitan. Kemudian dia mendengar Firlia mengeluh dengan lembut. "Carlo ... kamu memasukkannya ke dalam .... Bagaimana kalau aku hamil?" Carlo terkekeh, lalu berkata dengan penuh harap dan kasih sayang yang belum pernah didengar oleh Brianna sebelum ini. "Kalau begitu lahirkan saja. Lahirkan anak yang mirip denganmu." Bum! Benak Brianna mengosong. Anak .... Dulu mereka juga pernah membicarakan masalah anak. Pada saat itu, Carlo sangat suka memeluknya dari belakang, lalu meletakkan telapak tangannya yang hangat di perut Brianna. Pria itu berbisik jika dia ingin memiliki dua anak di masa depan. Anak laki-laki untuk melindungi ibunya, sedangkan anak perempuan akan dimanja seperti tuan putri. Hanya saja, Carlo mengatakan jika dia akan terus memanjakannya. Tidak ada orang yang bisa dibandingkan dengannya. Janji yang lembut, bisikan yang penuh dengan cinta, hubungan romantis yang pernah mereka alami .... Semua ini sudah terasa begitu jauh seolah-olah hal itu terjadi di kehidupan selanjutnya. Saat Brianna sedang termenung, dia mendengar Firlia berkata, "Baiklah, kalau begitu kita lanjutkan kembali setelah pulang. Kali ini ... kamu bisa memasukkannya sebanyak yang kamu mau." Setelah kembali ke vila, mereka semakin melakukannya dengan berani. Ruang tamu, dapur, bahkan sudut di tangga ... juga menjadi medan perang mereka. Suara erangan terus memasuki pintu kamar sepanjang siang dan malam, menyiksa saraf Brianna. Sedangkan dia mengurung dirinya di dalam kamar. Lalu disiksa oleh kanker sepanjang hari dan malam. Dia memeluk toilet sambil memuntahkan darah. Suasana di dalam dan luar pintu sangat berbeda. Di luar pintu, terdapat teriakan yang penuh dengan kenikmatan dan kemungkinan munculnya kehidupan baru, sedangkan suasana di dalam pintu sangat sunyi dan hanya perlu menghitung mundur waktu menuju kematian. Pada hari ini, suasana di luar pintu akhirnya berhenti untuk sementara. Brianna menyeret tubuhnya yang lemah keluar dari kamar, lalu dia melihat Firlia sedang sibuk memasak di dapur sambil mengenakan celemek. Sedangkan pria itu sedang duduk di meja makan sambil membaca koran. Begitu melihat Brianna, mata Firlia langsung berbinar dan berkata, "Kamu muncul di saat yang tepat, aku baru saja memasak untuk Carlo. Bagaimana kalau kamu juga makan sedikit? Anggap saja ini sebagai hadiah dariku." Brianna menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu." Carlo menutup koran dengan keras, lalu berkata dengan ekspresi masam, "Brianna. jangan nggak tahu diri. Cepat datang ke sini." Brianna hanya bisa berjalan mendekat. Kebanyakan makanan di atas piring sudah gosong dan terlihat tidak enak untuk dimakan. Hanya saja, Carlo tetap memakannya dengan tenang. Firlia bertanya dengan penuh harap, "Apakah enak?" Pria itu meletakkan alat makannya, lalu mengusap kepala Firlia dengan penuh kasih sayang. "Enak." Jantung Brianna tercekat, kenangan masa lalu kembali memenuhi benaknya. Makanan yang pertama kali dimasak olehnya juga gosong, tapi pria itu tetap memakannya sampai habis. Carlo bahkan berkata sambil mengelus kepalanya, "Aku merasa semua masakanmu sangat enak." Tatapan lembut di mata pria itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya pada saat ini. "Kenapa kamu nggak makan?" tanya Firlia dengan penuh perhatian. Brianna mengambil alat makannya dengan terpaksa, lalu memasukkan makanan yang gosong ke dalam mulutnya. Hanya saja begitu ditelan, dia langsung merasakan rasa amis di tenggorokannya! Dia segera menutup mulutnya, lalu berbalik dan bergegas pergi ke kamar mandi. Brianna membungkuk di atas toilet, lalu terbatuk dengan keras. Darah langsung mewarnai air di dalam toilet menjadi warna merah. Brianna segera menekan tombol siram untuk menghilangkan darah di dalam toilet. Firlia mengikutinya ke kamar mandi dan bersandar di kusen pintu, lalu berkata dengan nada bicara yang sedih dan tajam, "Apakah masakanku seburuk itu sampai dimuntahkan olehmu? Brianna, apakah kamu punya dendam denganku?" Dia berkata sambil terisak. Carlo segera mendekat, ekspresinya langsung memasam saat melihat Firlia yang sedang menangis. Dia memeluk Firlia, lalu menghiburnya. "Jangan nangis lagi." Kemudian dia menatap Brianna dengan dingin. "Karena dia nggak suka makan, maka dia nggak perlu makan selama beberapa hari ini. Pengawal, patahkan rahangnya."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.