Bab 7
Fabian tidak ingin memperumit keadaan.
"Jangan bilang kamu sayang untuk memberikannya? Bukannya kamu bilang Kakak layak mendapatkannya?"
Strategi memancing emosi itu berhasil. Mirna mengurungkan niatnya untuk menyelidiki dan lanjut menandatangani dokumen itu.
Namun, sorot matanya penuh ejekan.
"Fabian, dulu kukira kamu nggak serakah, nggak suka berebut. Nggak kusangka kamu ternyata juga seperti ini, tampak serakah dan menjijikkan."
Setelah berkata begitu, dia menandatangani dokumen terakhir.
Namun, Fabian tidak menanggapi. Dia langsung mengambil berkas-berkas itu dan naik ke atas.
Tatapan yang dulunya penuh cinta, lalu berganti menjadi sedih dan kecewa, kini hanya menyisakan ketenangan.
Entah kenapa, hati Mirna merasa tertekan, seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan darinya.
Dia berniat mengejar Fabian untuk bertanya langsung, tetapi tangan Felix lebih dulu menariknya, jari-jarinya bahkan menggelitik lembut telapak tangannya.
"Terima kasih, Mirna. Kalau kamu muak melihatnya, bagaimana kalau kita keluar makan bersama?"
Pak Harlan dan Bu Hilda segera tahu diri. "Urusan sudah selesai, kami juga akan pergi. Kalian nikmatilah waktu kalian berdua."
Tanpa memberi wanita itu kesempatan menolak, Felix menggandeng tangan Mirna dan melangkah keluar.
Dalam hati, Felix sudah bertekad, malam ini dia harus 'mendapatkan' Mirna.
Dia harus membuat hubungan ini nyata, dan akan lebih baik lagi kalau sampai punya anak.
Dengan begitu, Mirna tidak akan menolaknya lagi dan akan memberinya status sebagai suami.
...
Hari-hari berikutnya, Mirna sibuk menemani Felix syuting drama pendek.
Sementara itu, Fabian juga menjalani hidup yang sangat bermakna.
Pertama-tama, dia mengantar surat cerai ke kantor catatan sipil, dan resmi mendapatkan akta cerai.
Lalu, dia menjual semua properti dan toko yang telah diterimanya, dan mendirikan Yayasan Amal Bintang.
Dia menganggap yayasan itu sebagai bentuk kontribusi sosial, mengumpulkan pahala sebanyak mungkin.
Di dunia asalnya, Fabian memiliki sepasang orang tua yang sangat menyayanginya. Sayangnya, dalam pemeriksaan kesehatan rutin, dia didiagnosis mengidap penyakit mematikan yang tidak bisa disembuhkan.
Karena terguncang, dia kabur keluar rumah dan tertabrak mobil, dan kedua kakinya harus diamputasi.
Orang tuanya menanggung kesedihan besar dan dengan cepat menjadi kurus dan tua.
Jadi, ketika Sistem datang kepadanya, Fabian langsung menyetujuinya.
Jika berhasil menyelesaikan misi ini, keinginannya adalah kembali ke dunia asalnya dengan tubuh yang sehat.
Sayang, dia selalu saja kurang satu langkah.
Mengingat bahwa dia akan kembali ke tubuh yang sakit dan cacat, Fabian mengenakan kacamata hitam dan masker, lalu mulai berjalan-jalan dan menikmati dunia.
Hari-hari di mana dia bisa berlari dan melompat seperti ini terasa sangat berharga baginya.
Sampai akhirnya, tibalah hari terakhir sebelum dia pergi.
Awalnya, Fabian berencana naik kapal layar untuk melihat burung-burung camar di laut. Namun, tiba-tiba dia menerima telepon dari asisten Mirna.
Pak Jodi mengatakan bahwa Mirna meminta Fabian untuk hadir dalam sebuah jamuan makan, katanya, untuk membicarakan film dan peran baru.
Namun, Fabian akan segera pergi, dan peran apa pun tidak lagi berarti baginya. Dia menolak tanpa ragu.
Pak Jodi tampak serbasalah. "Bu Mirna sudah bilang untuk memakai cara yang baik dulu. Kalau kamu nggak setuju ... maka aku terpaksa ... "
Fabian hanya bisa tersenyum pahit. Dia teringat adegan saat dipaksa menyerahkan naskah.
Dia juga teringat pertemuan pertamanya dengan Mirna, yang terjadi di sebuah jamuan makan seperti ini.
Baiklah, kalau memang harus berakhir, biarlah berakhir di tempat yang sama seperti saat dimulai. Anggap saja sebagai siklus yang tuntas.
Fabian mendorong pintu ruang VIP, dan mendapati hanya Felix yang ada di sana.
"Fabian, sampai kapan kamu mau menempel pada Mirna? Dia mencintaiku, kamu tahu berapa banyak posisi yang kami coba tadi malam? Kami bahkan ... "
Melihat arah pembicaraan menjadi cabul, Fabian langsung memotong dengan dingin.
"Kamu mengundangku ke sini hanya untuk mengatakan ini?"
Sebenarnya tidak perlu repot, karena setelah malam ini, dia akan pergi.
"Tentu nggak cuma itu."
Felix menyeringai dingin. Sorot matanya penuh kebencian, seperti ular berbisa yang menjulurkan lidahnya, begitu dingin dan menyeramkan.
"Menurutku, seseorang harus bisa mengandalkan dirinya sendiri. Daripada menunggu kamu menyerah, lebih baik aku usir kamu sendiri. Itu lebih aman."
Tiba-tiba, seorang pria kekar berotot masuk dari luar dan langsung memegangi tangan Felix.
Gerakannya ringan, tetapi Felix berteriak seolah-olah disiksa secara brutal.
"Aaaah! Jangan perlakukan aku seperti ini! Aku nggak mau rebutan lagi! Aku akan simpan rasa sukaku pada Mirna sendiri, tolong jangan sakiti aku!"
Di detik berikutnya, pintu terbuka keras. Mirna masuk dengan mata memerah.
"Lepaskan dia!"
Melihat wanita tangguh dunia bisnis itu, pria berotot itu segera mundur.
"Mirna, untung kamu datang menyelamatkan aku."
Felix langsung memeluknya, menangis tersedu-sedu.
"Tadi waktu Fabian mengajakku makan, aku sangat senang. Tapi, nggak kusangka dia begitu membenciku, sampai mau menghancurkan aku dengan cara seperti ini ... "
Fabian refleks menjelaskan. "Pak Jodi yang menghubungiku, katanya ada jamuan makan ... "
Namun, Pak Jodi tampak bingung. "Saya nggak melakukannya. Saya hanya mengikuti perintah Bu Mirna. Kalau dia nggak menyuruh, saya nggak akan bertindak."
Suhu di mata Mirna langsung turun hingga titik beku. Dia tidak mau mendengar penjelasan lagi, dan hanya menatap Fabian dengan penuh kebencian.
"Kamu sebegitu bencinya pada Kak Felix? Bahkan pakai cara sekeji ini? Aku sudah memperingatkan kamu, kalau kamu menyakiti Kak Felix lagi, aku nggak akan biarkan kamu lolos."
Dia memeluk Felix erat-erat, lalu memberi perintah dingin pada pria berotot itu:
"Apa pun yang tadi mau kamu lakukan pada Kak Felix, lakukan saja pada Fabian."